Aliran Modal dan Fundamen Ekonomi
Umar Juoro ; Senior
Fellow pada CIDES dan The Habibie Center
|
KOMPAS, 26 Januari
2016
Memasuki tahun 2016
nilai rupiah kembali terdepresiasi setelah melemah 11 persen pada 2015.
Dilihat dari fundamental ekonomi, kondisi Indonesia sebenarnya cukup baik:
pertumbuhan sekalipun melemah masih 4,7 persen, inflasi rendah 3,35 persen,
dan defisit transaksi berjalan 2 persen. produk domestik bruto juga tidak
buruk.
Jelaslah bahwa
volatilitas rupiah-sebagaimana juga
mata uang lain-lebih dipengaruhi aliran modal masuk dan keluar
daripada fundamental ekonomi.
Aliran modal dan rupiah
Tahun 2015 indeks
pasar modal melemah 14 persen, sejalan dengan pelemahan nilai rupiah.
Fenomena ini memperkuat pendapat bahwa nilai mata uang lebih ditentukan oleh
aliran modal daripada fundamental. Jika kita refleksi balik ke tahun 2011
ketika rupiah menguat (apresiasi) aliran modal masuk ke pasar keuangan juga
sangat besar sejalan dengan kebijakan Quantitative Easing Bank Sentral AS,
The Fed, yang mengalirkan dana besar ke pasar keuangan.
Aliran modal juga
berkaitan dengan pasar obligasi, untuk Indonesia adalah surat berharga negara
(SBN). Biasanya ketika aliran modal masuk untuk membeli SBN, maka rupiah
mengalami apresiasi dan sebaliknya jika terjadi penjualan SBN dan aliran
modal keluar, maka rupiah terdepresiasi. Namun sekalipun pasar modal dan
obligasi didominasi asing, di pasar obligasi SBN terjadi net beli (net buy), sedangkan di pasar modal
terjadi net jual (net sell).
Tekanan nilai tukar
mata uang juga semakin besar dengan semakin besarnya utang luar negeri suatu
negara. Semakin besar utang luar negeri, maka semakin tinggi volatilitas
nilai tukar mata uang yang bersangkutan. Utang luar negeri negara berkembang
naik dengan pesat sejak krisis keuangan dunia 2009. Utang 12 negara
berkembang, antara lain Tiongkok, Brasil, Turki, Rusia, termasuk Indonesia,
mencakup 70 persen dari total utang luar negeri, terutama swasta, sebesar 3,8
triliun dollar AS. Karena itu, mata uang negara-negara tersebut paling
volatil nilai tukarnya. Kebutuhan dollar untuk membayar bunga dan cicilan
utang menekan nilai tukar mata uang.
Utang luar negeri
Dengan kebijakan The
Fed menaikkan suku bunga, maka nilai tukar mata uang negara-negara dengan
utang luar negeri tinggi akan semakin tertekan. Utang luar negeri swasta
Indonesia 167,5 miliar dollar AS, lebih tinggi tinggi dari utang luar negeri
pemerintah. Padahal, tahun 2010 utang luar negeri swasta masih 83,8 miliar
dollar AS.
Utang swasta luar
negeri ini meningkat pesat sejak itu. Sering dinyatakan bahwa utang swasta
yang berjangka pendek tidak terlalu besar. Menurut data Bank Indonesia (BI)
sekitar 55,6 miliar dollar AS dan umumnya adalah back to back, yaitu antara
perusahaan induk dengan anak perusahaannya di Indonesia. Sekalipun demikian,
tetap semakin besar utang luar negeri suatu negara, baik swasta maupun
pemerintah, semakin besar pula volatilitas mata uangnya. Permintaan dollar AS
dari Pertamina untuk impor minyak dan BBM juga menambah tekanan terhadap
rupiah.
Dalam menghadapi
keadaan demikian, maka pilihan kebijakan bank sentral tidaklah banyak dan
tidak seefektif yang dikehendaki. Kebijakan moneter menentukan suku bunga dan
intervensi menstabilkan nilai tukar mata uang adalah yang tersedia. Namun,
menaikkan suku bunga pada saat ekonomi
melemah bisa semakin melemahkan ekonomi. Sedangkan kebijakan intervensi
sangat bergantung pada ketersediaan cadangan devisa yang pada umumnya sangat
terbatas.
Usulan berupa
pengendalian modal (capital control)
semakin kuat apalagi IMF tidak lagi menabukan pengendalian modal jika
dilakukan dengan efektif dan targetnya jelas. Pengendalian modal membuat
pasar keuangan tersegmentasi sehingga kebijakan intervensi bank sentral
menjadi lebih efektif.
Efektivitas birokrasi
Namun, kebijakan
pengendalian modal bergantung pada efektivitas birokrasi pelaksananya.
Kemungkinan untuk tidak efektif juga cukup besar, sehingga tidak mestabilkan
bahkan semakin melemahkan nilai tukar mata uang dengan besarnya aliran modal
keluar untuk menghindari pengendalian modal ini. Hal ini tentu berlawanan
dengan upaya mengembangkan sumber pembiayaan perusahaan berupa ekuitas
melalui pasar modal dan mengurangi ketergantungan utang.
Jelaslah bahwa tidak
ada kebijakan yang efektif untuk menstabilkan nilai tukar mata uang. Setiap
kebijakan mempunyai efek positif dan negatif terhadap stabilitas mata uang.
Oleh karena itu, kebijakan yang dipilih sangat bergantung pada kredibilitas
dan dinamika aliran modal.
Bagi Indonesia, saat
pelemahan ekonomi terjadi, menaikkan suku bunga untuk menstabilkan nilai
rupiah bukanlah pilihan. Bahkan desakan kuat dari berbagai pihak pada BI
adalah untuk menurunkan suku bunga acuan BI. Akan tetapi, penurunan suku
bunga akan semakin melemahkan nilai rupiah. Oleh karena itu, jika
kredibilitas kebijakan fiskal dan moneter baik, maka penurunan suku bunga
tidak akan memberi tambahan tekanan pada rupiah. Nilai rupiah sekarang ini
adalah menyimpang dari fundamentalnya (undervalued),
antara lain, penyebabnya terkait dengan kredibilitas kebijakan pemerintah.
Intervensi pasar
Kebijakan intervensi
di pasar uang tetap menjadi pilihan yang tentunya disesuaikan dengan
ketersediaan cadangan devisa. Hal ini telah dilakukan BI selama ini sekalipun
skalanya terbatas dengan cadangan devisa yang hanya sekitar 105 miliar dollar
AS.
Upaya meningkatkan
pasokan dollar AS dengan mengharuskan eksportir memasukkan penerimaannya ke
dalam negeri, tidak berpengaruh besar dalam meningkatkan pasokan dollar AS,
karena eksportir memasukkan penerimaannya ke dalam negeri
sesingkat-singkatnya.
Pengendalian modal
ramai dibahas, namun belum sempat kebijakan diterapkan, modal cepat lari
keluar jika mendengar rencana ini. Risiko instabilitas menjadi cukup tinggi.
Maka, langkah yang harus dilakukan terutama dalam pasar keuangan yang
demikian terbuka adalah menjaga keseimbangan terkait dengan aliran modal.
Karena itu, utang luar negeri, terutama swasta, perlu mendapatkan perhatian
khusus baik dari penentu kebijakan fiskal maupun moneter.
Peningkatan utang swasta
luar negeri meningkatkan ketidakstabilan dalam mata uang. Apalagi jika
terkait dengan kemungkinan naiknya penunggakan (default). Upaya pembatasan dan dorongan pada restrukturisasi
utang swasta yang terlihat akan bermasalah harus dilakukan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar