"Bumi Manusia" dalam Perspektif Bourdieu
Maman S Mahayana ;
Esais;
Penyair
|
KOMPAS, 24 Januari
2016
Bumi Manusia (BM)
karya Pramoedya Ananta Toer adalah novel sulung tetralogi Bumi Manusia
(1980), Anak Semua Bangsa (1980), Jejak Langkah (1985), dan Rumah Kaca
(1988). Tetralogi ini dapat dianggap sebagai-meminjam istilah Pram-karyatama
(masterpiece) dalam karier
kepengarangannya. Tahun 2008, BM memasuki cetakan ke-13, dan kini tentu sudah
melewati angka itu. Selain begitu banyak mendapat pujian, bahkan konon
mengantarkan Pram dicalonkan penerima Nobel Sastra, BM sudah diterjemahkan ke
berbagai bahasa asing. Dalam sejarah sastra Indonesia, BM dapat ditempatkan
sebagai salah satu novel terbaik Indonesia.
Meski demikian,
sebagai pembaca kritis, seyogianya kita terus coba mengkaji ulang dan
melakukan tafsir lain terhadapnya. Setidaknya, lewat perspektif baru, kita
akan menemukan banyak hal yang mungkin sebelumnya tak terungkapkan. Catatan
kritis Pierre-Felix Bourdieu (1930-2002) terhadap novel Sentimental Education karya Gustave Flaubert membuka cakrawala
baru bagi analisis teks sastra. Dengan begitu, gagasan filsuf yang
karya-karyanya kini paling banyak mendapat sorotan ilmuwan di dunia ini,
menawarkan pandangan lain dalam kritik sastra, terutama dalam kerangka
pendekatan sosiologis model Bourdieu.
Jika BM ditelisik
lewat gagasan Bourdieu, kekayaan makna apa lagi yang terungkapkan? Bagaimana
Pram menyusupkan ideologinya dan memainkan tokoh Nyai Ontosoroh, Minke,
Annelies, Robert Mellema, dan Herman Mellema dalam ruang sosial? Bagaimana
pula arena produksi kultural berkaitan dengan modal simbolis dan modal
kultural jadi pertempuran kepentingan Belanda, Indo, dan pribumi? Mengapa
kisahan BM sejak awal menegaskan problem kekerasan simbolik (symbolic violence) ditimpakan kepada
Nyai Ontosoroh dan Minke?
Modal kultural
Nyai Ontosoroh alias
Sanikem, perempuan Jawa, putri juru tulis Sastrotomo, berhasil menjadi
pengusaha perkasa dalam ruang sosial kolonialisme. Dalam usia 14 tahun, ia
dijual ayahnya, dijadikan gundik Herman Mellema. Berkat didikan Tuannya,
Nyai-sudah punya modal kultural-pengetahuan dan penguasaan bahasa Belanda.
Setahun berikutnya, mereka pindah ke Wonokromo, mendirikan Boerderij
Buitenzorg. Sejak itu, superioritas Herman surut ke belakang digantikan Nyai.
Bagaimana mungkin dalam usia kurang dari 20 tahun, Nyai memasuki arena
permainan-pribumi, Indo, dan Belanda-sebagai pemain yang legitim?
Nyai Ontosoroh
mengubur masa lalu untuk meraih sukses di masa depan. Tetapi, tak cukup
alasan proses penguasaan modal simbolik dilekatkan pada habitus Sanikem yang
dipingit sejak usia 13 tahun, dibenturkan Belanda totok. Pram tampaknya
sengaja mengangkat Sanikem secara hiperbolis. Pertama, untuk memasukkan
ideologi: Belanda totok versus perempuan Jawa. Kedua, untuk melegitimasi
pembalikan kekerasan simbolik dan perlawanannya.
Sebaliknya, Herman
Mellema, representasi Eropa, tergusur jadi pecundang. Ia mati di rumah
bordil. Hiperbolisme Pram menjerumuskan logika novel jadi sangat ideologis.
Penguburan kultur Jawa yang mengekang dan pembalikan status kapital,
Tuan-Nyai menjadi pekerja-manajer, menempatkan Nyai dapat mengatur dan
menjalankan permainannya dalam berhadapan dengan feodalisme Jawa (ayah) dan
kuasa kolonial Belanda (Herman). Pernikahan Annelies-Minke yang menyedot
perhatian masyarakat Jawa, Belanda, dan Eropa adalah puncak prestasi Nyai
Ontosoroh. Kembali tokoh hiperbolis Ontosoroh hadir mengartikulasikan
ideologi Pram.
Sejak awal Pram begitu
banyak mengungkapkan terjadinya kekerasan simbolik yang dilakukan Belanda
kepada pribumi. Nama Minke, misalnya, mengasosiasikan monyet, disematkan
gurunya: Meneer Rooseboom. Minke, pribumi satu-satunya di HBS, berada dalam
kepungan kekerasan simbolik (pelecehan dan diskriminasi). Meski begitu, ia
tetap tampil sebagai hero, pemenang dalam segala hal, berhasil dalam arena
intelektual dan sosio-kultural. Minke yang sempat dipecat dari HBS pada
akhirnya terpilih sebagai lulusan terbaik kedua se-Hindia Belanda dan pertama
se-Surabaya. Apa artinya itu? Minke berhasil mengalahkan feodalisme Jawa
(ayah), Indo (Suurhof dan Robert), dan Belanda-Eropa (teman dan beberapa
gurunya di HBS).
Kini mari kita lihat
tokoh Herman Mellema dan anaknya, Robert. Dikisahkan, sosok Herman berbeda
dengan Belanda totok lain. Bujangan, tidak suka tayub, rajin ke gereja, dan
marah ketika ia ditawari perempuan. Ia juga meminta agar kedua anaknya,
Annelies dan Robert, dibaptis secara Kristen- Protestan. Tetapi apa yang
terjadi? Kembali, hadir kekerasan simbolik. Pendeta menolak pembaptisan
Annelies dan Robert hanya lantaran ibunya pribumi. Herman Mellema sendiri
ternyata sudah beranak-istri di Belanda. Ia kabur dan menelantarkan Maurits,
anaknya. Tokoh inilah yang kelak menggugat harta kekayaan ayahnya, termasuk
hak asuh Annelies dan Robert. Pengadilan Belanda memenangkan gugatan Insinyur
Maurits. Pram tampak hendak menegaskan bahwa apa pun yang berkaitan dengan
Belanda pada dasarnya busuk. Bagi pribumi, kekerasan simbolik itu masuk ke
semua aspek kehidupan, termasuk agama.
Hiperbolisme terjadi
lagi ketika Pram hendak menjerumuskan Herman Mellema sebagai pecundang.
Ketika Insinyur Maurits datang melabrak ayahnya, Nyai balik mengusirnya.
Dalam pandangan Nyai kini, budaya Eropa yang diajarkan dan diagungkan Tuannya
tak lebih dari penghinaan dan pemerasan. "Begitu macamnya peradaban
Eropa yang kau ajarkan padaku berbelas tahun?" (BM, hlm. 146-147). Hanya
untuk menghina dan memeras! Sejak itu, Herman macam orang linglung. Ia berada
dalam genggaman Nyai. Belakangan, ia jadi penghuni rumah bordil Babah Ah
Tjong sampai tewas di sana. Robert juga terperosok masuk rumah bordil itu.
Hiperbolisme positif
dilekatkan pada ketokohan Minke dan Nyai, dan gambaran sebaliknya ditimpakan
kepada Herman Mellema dan Robert. Bahkan sebelum itu, Robert menunjukkan
kebiadabannya dengan memerkosa adiknya sendiri, Annelies.
Begitulah arena
perebutan kuasa: pribumi (Nyai-Minke) versus Belanda- Eropa (Herman dan
Robert) yang sampai tahap tertentu dimenangkan pribumi. Tetapi, ruang sosial
waktu itu berada dalam genggaman kolonial Belanda. Maka, kartu truf arena
permainan itu berada pada hukum kolonial. Lewat gugatan Maurits, pribumi
berhadapan dengan tembok besi. Mereka kalah. "Kita kalah Ma,"
bisikku. "Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya."
(BM, 534-5). Sebuah akhir yang dramatis.
Sesungguhnya, koalisi
habitus Nyai yang otodidak dan Minke yang HBS telah membangun kesadaran
tentang makna perlawanan bersama. Pram tak sekadar merepresentasikan arena
perlawanan, tetapi mengartikulasikannya sebagai perjuangan sebuah bangsa.
Jadi, hiperbolisme Pram terkait dengan ideologi kebangsaan. Stendhal
mengatakan, "Politik(: ideologi) dalam novel, ibarat letusan pistol di
tengah konser. Suara keras dan norak itu bisa mengganggu jalannya konser,
tetapi bisa juga menjadi bagian dari komposisi konser jika ia lesap dan
menyatu dengan irama segala macam bunyi musik itu." Hiperbolisme Pram
ibarat letusan pistol itu.
Uraian BM lewat
perspektif Bourdieu ini tentu masih sangat dangkal. Tetapi, penting artinya
gagasan Bourdieu digunakan sebagai model analisis terhadap khazanah
kesusastraan kita yang selama ini dikuasai strukturalisme. Randal Johnson
(PierreBourdieu, Arena Produksi Kultural, Terj. Yudi Santosa, Bantul: Kreasi
Wacana, 2015, hlm. vii) mengatakan, "Metode analitis Bourdieu menjadi
alternatif yang sangat bermanfaat bagi cara-cara analisis imanen-dari
Kritisisme Baru dan berbagai cabang formalisme hingga strukturalisme dan
dekonstruksi-yang mendominasi studi-studi sastra.." ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar