Laporan
Diskusi Panel Kompas-LMI
“Menyuburkan
Kembali Rahim-rahim Kepemimpinan Nasional”
Sistem Penggodokan Kepemimpinan Nasional
|
KOMPAS,
22 Januari 2016
Pemimpin sejati yang
mumpuni, di tiap negara-bangsa, adalah produk seleksi kumulatif berjenjang
yang bertemu dengan penyerbukan silang antarsistem habitat penggodokan
kader-kader pemimpin.
Setiap sistem habitat
penggodokan kepemimpinan menerapkan tradisi penggemblengan yang khas. Tradisi
penggodokan kepemimpinan dalam rahim ranah adat dan lembaga agama di
Minangkabau dan Bugis, misalnya, jelas berbeda dengan tradisi dalam rahim
makrokosmos budaya dan penghayatan agama di Jawa dan Sunda. Setiap komunitas,
lembaga adat, dan lembaga agama dari sekitar 690 suku Nusantara punya tradisi
penggodokan kepemimpinan sendiri.
Indonesia sebagai
negara-bangsa sesungguhnya bertopang pada ke-690-an suku dan budaya Nusantara
yang tersebar dari Merauke hingga Sabang. Inilah yang menginspirasi Bung
Karno memperkenalkan istilah ’suku-bangsa’ sebagai konsep penghubung antara
’bangsa’, sebagai konsep dan satuan politik, dengan ’suku’ sebagai konsep dan
satuan sosial-budaya.
Menurut Bung Karno,
dengan menggunakan metafora ’meja’ (Yudi Latif dalam Negara Paripurna, 2011),
kebangsaan ibaratnya adalah ’daun-meja’, yang memerlukan kaki-kaki ’suku’
(sikil = kaki, Jawa) sebagai tumpuan. Nilai-nilai kegotongroyongan,
religiositas, dan kerukunan sosial yang saling asih, asah, dan asuh menjadi
rujukan sekaligus saripati ideologi Pancasila.
Tidak hanya itu.
Negara-bangsa Indonesia juga sejak awal mengandalkan benih-benih kader
kepemimpinan dari rahim-rahim sosial-budaya suku-suku dominan, yaitu Jawa,
Sunda, Minang, Madura, Bali, Bugis, Minahasa, Ambon, Banten, Melayu, Batak,
Aceh, Betawi, Dayak, Sasak, Bima, dan keturunan Tionghoa. Suku-suku ini
sangat menonjol menyumbangkan tokoh-tokoh pemimpin nasional dalam hampir
semua bidang kehidupan utama mulai politik, ekonomi, diplomasi,
militer-pertahanan, sampai kesusastraan dan kepujanggaan.
Negara-bangsa
Indonesia adalah puncak pematangan terakhir sekaligus pengguna utama (end-user) dari kader-kader pemimpin
yang sebelumnya telah lulus proses penggodokan dalam tradisi-tradisi yang
dikelola baik oleh komunitas adat/suku, agama, universitas, perusahaan,
pelatihan kemiliteran, juga organisasi massa dan partai politik.
Dalam delapan abad
terakhir, sistem penggodokan kepemimpinan nasional telah jatuh-bangun pada
era: (1) peletakan fondasi, (2) formatif, (3) pemekaran, (4) penghancuran (5)
penistaan sistem, dan (6) peremajaan.
Era peletakan fondasi
Setidaknya sejak abad
ke-13, di Nusantara telah mapan sejumlah tradisi penggodokan kepemimpinan
tradisional, hasil penyerbukan silang adat lokal dengan agama. Kadar
legitimasi para pemuka adat, agama, dan kerajaan berbanding lurus dengan kadar
wawasan, pengetahuan, dan penghayatan norma-norma dan etika tata
pemerintahan. Di atas fondasi nilai, moral dan etika itulah kewibawaan
pemimpin tradisional ditegakkan.
Proses penggodokan
kader- kader pemimpin mengandalkan sistem dan mekanisme kelisanan yang
bertumpu pada kepatuhan magang, nyantri, dan peniruan mimikri. Jati diri
kepemimpinan tradisional ini sangat personal dan patriarkhal.
Rahim-rahim
kemasyarakatan Minang, Aceh, Banten, Bali, Bugis, dan Ternate adalah beberapa
contoh rahim-rahim yang paling berhasil menyerbuksilangkan tradisi adat
dengan agama dalam wadah kerajaan. Seorang pemimpin tradisional saat itu
semakin kokoh wibawa kepemimpinannya bila ia berhasil mendapatkan legitimasi
dari paling kurang dua dari tiga landasan legitimasi ini.
Literasi dan
kesusastraan, terutama yang lisan, berkembang dengan pesat di berbagai
kerajaan. Media penyampaian lewat pantun, gurindam, dan petatah- petitih,
baik dalam perjamuan kekerabatan terbatas maupun perjamuan umum. Tradisi
kesusastraan lisan ini dengan sendirinya memacu warganya mengasah diri dalam
kefasihan artikulasi publik. Inilah keterampilan dasar yang sangat
instrumental bagi kader pemimpin.
Karakter dan sistem
penggodokan kepemimpinan tradisional-patriarkhal kemudian kian mendapat tandingan,
tetapi sekaligus juga diperkaya, oleh perjumpaan-perjumpaan kemaritiman, baik
dengan sesama rahim sosial-budaya Nusantara maupun rahim-rahim mancanegara.
Perjumpaan dengan rahim budaya mancanegara meningkat ketika beberapa usaha
penerbitan muncul di Medan, Semarang, Batavia, dan Surabaya. Walaupun masih
dalam oplah terbatas, usaha yang dimulai warga keturunan Tionghoa itu menjadi
tonggak awal sejarah pencerahan warga.
Politik Etis dalam
bidang edukasi, irigasi, dan emigrasi pada hampir dua dekade pertama abad
ke-20 adalah momentum kebangkitan kaum terdidik. Kaum terdidik baru umumnya
terdiri dari putra-putri aristokrat lokal, disusul putra-putri pemuka adat,
agama, dan orang kaya lokal.
Para putra-putri
ini—bersama-sama dengan putra-putri peranakan asing Barat dan Timur yang
terdidik—saling berbaur dalam lingkungan kelas menengah baru. Inilah cikal
bakal perintis kemerdekaan yang ditempa dan dibekali perangkat berpikir,
teknis-administratif organisasional, perluasan cita-cita ideologis, dan
gagasan-gagasan terobosan.
Pada titik waktu ini,
para calon pemimpin bangsa siap terjun ke arena pergerakan. Bermunculanlah
berbagai organisasi massa dengan beragam basis keanggotaannya yang terbuka.
Sejumlah persyarikatan khusus dalam bidang ekonomi dan budaya juga dibentuk.
Dalam bidang politik, Lima Serangkai: Haji Agus Salim, Bung Hatta, Sutan
Sjahrir, Tan Malaka, dan Bung Karno, berupaya sungguh-sungguh mendidik kader
politik yang berkarakter. Khusus Bung Karno, ia pernah membuka dan mengajar
kelas-kelas pelatihan politik.
Berlandaskan
nilai-nilai luhur adat dan agama, mereka mengagregasikan permasalahan pokok
bangsanya dan mengartikulasikannya dalam rapat-rapat organisasi maupun massa
rakyat. Era formatif kepemimpinan bangsa ini berjalan 25 tahun menjelang Proklamasi
Kemerdekaan.
Era pemekaran
Pemimpin sejati
biasanya hanya muncul saat krisis turbulensi luar biasa, kata Arnold Toynbee,
sejarawan dan filsuf Inggris. Demikian pula dengan para pemimpin pembentuk
bangsa (the founding fathers and
mothers) Indonesia. Walaupun diselingi perselisihan ideologis cukup tajam
menjelang proklamasi, para pemimpin bangsa sejati ini berhasil membawa bangsa
melewati lima tahun perang kemerdekaan dan menjadi Negara Kesatuan kembali
pada 1 Januari 1950. Supremasi sipil berhasil dipertahankan hingga 5 Juli
1959.
Generasi pemimpin
perintis dan peletak fondasi negara-bangsa ini mampu menyelenggarakan
pemilihan umum pertama yang paling demokratis dan aman tanpa korban jiwa
tahun 1955. Walaupun demikian, kerangka bernegara konstitusional dengan
multipartai saat itu berimplikasi pada ketiadaan pemerintahan yang stabil.
Kabinet demi kabinet beruntun jatuh-bangun.
Kenyataan pahit ini
mencuatkan lagi perseteruan lama antara sipil dan militer. Kubu militer yang
terwakili dalam Konstituante hasil Pemilu 1955 dalam partai Ikatan Pendukung
Kemerdekaan Indonesia (IPKI) diperintah oleh Jenderal Nasution untuk
memboikot sidang Konstituante yang sedang memperdebatkan landasan ideologi
negara (Adnan Buyung Nasution, The
Aspiration for Constitutional Democracy in Indonesia, 1992).
Konstituante
digagalkan dengan sengaja oleh kubu militer. Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli
1959 adalah lonceng kematian sistem penggodokan kepemimpinan sipil sekaligus
tonggak berakhirnya supremasi kepemimpinan sipil di Indonesia.
Di era yang sama,
anak-anak yang dilahirkan pada 1940-an sedang beranjak dewasa dan sebagian
lagi sedang remaja pada 1950-an. Para remaja dan dewasa-muda ini sedang
giat-giatnya berkiprah di berbagai organisasi pelajar dan mahasiswa. Mereka
sangat melek informasi sekaligus melek politik, dan mengalami langsung
gejolak politik di masa Demokrasi Terpimpin di bawah Pemimpin Besar Revolusi.
Gejolak terutama
terjadi karena pertarungan sengit antara parpol dan ormas berideologi agama
di satu pihak berhadapan dengan kubu yang berideologi nasionalis dan
sosialis-komunis di pihak lain. Organisasi pelajar dan mahasiswa ini kemudian
menjadi tempat penggodokan pemimpin nasional. Hampir setiap organisasi
pelajar dan mahasiswa mengadakan kursus latihan kepemimpinan dan pesertanya
kemudian berkiprah dalam dua era berikutnya.
Mochtar Pabottingi
dengan tepat menyimpulkan, era penghancuran sistem rekrutmen dan penggodokan
pemimpin nasional secara demokratik mulai di era Orde Lama dan diteruskan
secara lebih sistematik, masif, dan sistemik pada era Orde Baru. Seluruh
investasi sistem kelembagaan kepemimpinan dihancurkan. Termasuk tradisi
penggodokan kepemimpinan milik komunitas adat dan organisasi keagamaan,
organisasi pelajar dan mahasiswa, serta organisasi masyarakat sipil, semua
dikooptasi dan dimandulkan Orde Baru.
Partai politik
”disederhanakan”, dikurangi lewat fusi sehingga tinggal tiga. Tangan rezim
Orba selalu mengintervensi proses kongres partai tertentu, bahkan proses
demokrasi internal dalam rekrutmen kader-kader partai diatur rezim dengan
berbagai cara. Bila ada partai yang menolak, rezim Orba tidak segan-segan
mengerahkan pasukan militer dan kelompok preman binaannya. Demokrasi dibunuh
di pilar utamanya: parpol.
Seperti ditegaskan
Daniel Dhakidae (Cendekiawan dan
Kekuasaan, 2003), negara fasis Orde Baru begitu pencemburu dan rakus
melahap semua pusat, cabang, dan ranting kekuasaan. Rahim militer, khususnya
Angkatan Darat, serta birokrasi adalah penyuplai utama robot-robot
”pemimpin”. Supremasi militer menjadi patokan aturan main dengan adagium:
seorang pemimpin sipil tidak boleh menjadi bintang cemerlang di cakrawala.
Sejumlah organisasi proxy diciptakan rezim Orba untuk
mengooptasi dan menjinakkan para tokoh adat, agama, serta para sultan.
Golkar, yang didanai oleh para pengusaha muda, taipan piaraan rezim Orba,
serta BUMN, menjadi operator utama rezim. Namun, Golkar saat itu lebih
merupakan partai penguasa, bukan partai yang berkuasa (political party of the ruler rather than a truly ruling party).
Era penistaan
Penghancuran sistem
rekrutmen dan penggodokan pemimpin sipil oleh rezim Orba sangat dahsyat dan
menyeluruh. Maka, walaupun sekarang sudah hampir dua dekade kita berada dalam
era pasca-Reformasi, jangankan membenahi, kerusakan malah menjadi-jadi.
Kerusakan sistemik
yang semakin parah ini, menurut Fachry Ali, menjadi tak terelakkan sejak
diambil-alihnya kepemimpinan negara-bangsa secara nista oleh para saudagar,
pengusaha, dan taipan piaraan Orde Baru. Nista demi nista ditimpakan ke
sekujur tubuh dan wajah lembaga-lembaga tinggi negara. Hukum pun digunakan
menutup praktik ekonomi-politik nista mereka.
Kuasa duit
menggantikan kuasa hukum. Demikian berkuasanya duit, sampai bukan saja proyek
pengadaan Kitab Suci dikorupsi, tetapi juga, menurut Abd A’la,
lembaran-lembaran rupiah turut berseliweran di arena muktamar ormas agama.
Sirnalah sudah respek
rakyat pada keseluruhan tatanan institusional negara-bangsa berikut para
elite dan pejabatnya. Politisi dan partai politik kian jadi sasaran pelampiasan
kekecewaan dan amarah rakyat. Saat yang sama, rakyat merindukan lahirnya
pemimpin mumpuni dari rahim Nusantara.
Banyak pihak berharap
semoga momentum pilkada serentak 9 Desember lalu menjadi tonggak sejarah era
peremajaan sistem pengaderan kepemimpinan lokal dan nasional. Koreksi
elektoral rakyat lewat pilkada serentak telah memunculkan sejumlah pemimpin
muda dan setengahnya adalah perempuan.
Kaum muda terbukti
berperan menentukan (Ben Anderson) sepanjang sejarah kelahiran negara-bangsa
Indonesia. Kaum muda abad ke-21 yang berkarakter lebih terbuka dan
kosmopolitan, sangat benci pada kemunafikan, akan menjadi tumpuan.
Walau demikian, ada
beberapa hal yang patut diwaspadai. Pertama, seperti dikemukakan Ninok
Leksono, terlacak kian meningkatnya baik frekuensi penggunaan
gawai-elektronik maupun waktu berselancar di dunia maya di satu pihak dan
kian berkurangnya waktu untuk membaca buku di kalangan generasi muda digital
masa kini. Generasi digital ini kian terpuruk dalam sindrom perhatian
terputus-putus berkelanjutan (continuous partial attention/CPA). Dalam jangka
panjang, hal ini dapat memengaruhi konsentrasi dan daya nalar generasi
digital.
Kedua, keyakinan
Margareta Astaman tentang ”aksi maya untuk hasil nyata” dari generasi digital
di media sosial perlu catatan. Pertama, dalam media sosial jarang terjadi
percakapan deliberatif terfokus dan substantif. Lalu lintas informasi dan
gagasan cepat, tetapi dangkal.
Kedua, pengangkatan
masalah publik di media sosial hanya mendapat sambutan bila masalah itu sudah
menggelisahkan nurani publik. Akhirnya, mobilisasi aksi maya disaring dalam
deliberasi kelompok sebaya di dunia nyata sebelum aksi nyata. Kelompok sebaya
berfungsi sebagai ”plausibility structure” , pihak yang perlu diajak bicara
dan dijadikan acuan preferensi.
Walau begitu, peran
media sosial sebagai jaringan ungkapan publik dan mobilisasi pencapaian
harapan (Manuel Castells, Networks of Outrage and Hope, 2012) semakin luas
dimanfaatkan. Jaringan media sosial efektif dalam kepedulian kemanusiaan dan
penelanjangan pejabat publik yang nista. Melalui fungsi khusus ini, media
sosial dapat mewaraskan dan meremajakan kepemimpinan negara-bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar