Jumat, 01 Januari 2016

Refleksi Maritim Akhir Tahun

Refleksi Maritim Akhir Tahun

  Siswanto Rusdi  ;  Direktur The National Maritime Institute (Namarin)
                                                KORAN SINDO, 31 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Hanya dalam hitungan beberapa hari ke depan kita akan meninggalkan 2015 menuju 2016. Tidak terasa perjalanan sang waktu begitu cepatnya. Bagi jagat kemaritiman nasional, pergantian tahun ini menandakan genap satu tahun program poros maritim pemerintah Presiden Joko Widodo.

Ada beberapa catatan terkait visi itu yang ingin penulis sajikan dalam tulisan ini sebagai refleksi maritim akhir tahun. Pertama, selama setahun poros maritim lebih merupakan gagasan yang polos dan baru belakangan dilengkapi. Ia ditawarkan oleh Dr Rizal Sukma kepada Presiden Joko Widodo ketika pilpres 2014.

Duta besar RI untuk Inggris Raya itu menerjemahkannya ke dalam bahasa Inggris dengan istilah global maritime fulcrum, tetapi yang lebih banyak dipergunakan berbagai kalangan adalah istilah global maritime axis .

Adalah Presiden Jokowi yang melengkapi kepolosan konsep poros maritim dalam Konferensi Tingkat Tinggi Asia Timur yang digelar di Kuala Lumpur November lalu. Mantan Gubernur DKI Jakarta itu menyebutkan, ada lima unsur dalam poros maritim, yakni diplomasi maritim, pertahanan maritim, sumber daya maritim, budaya maritim, dan infrastruktur maritim.

Dalam sebuah seminar yang diadakan oleh CSIS untuk memperingati setahun poros maritim beberapa waktu lalu yang penulis hadiri, salah seorang pembicara kunci Arif Havas Oegresono, Deputi Kedaulatan RI Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Sumberdaya, mengatakan bahwa lima unsur poros maritim yang disampaikan oleh Jokowi telah berkembang menjadi sepuluh unsur.

Dalam tulisannya tentang poros maritim di sebuah media nasional, Rizal mengatakan bahwa gagasan poros maritim yang dilontarkan Jokowi lebih utuh dibanding wacana yang ada sebelumnya karena ia memiliki tiga elemen dasar: sebagai sebuah cita-cita, sebagai doktrin, sebagai bagian dari agenda pembangunan nasional, dan cara/strategi untuk mewujudkannya.

Sebelum poros maritim muncul, Indonesia sebenarnya sudah memiliki konsep atau wacana kemaritiman pada level nasional. Ada wawasan Nusantara dan benua maritim untuk menyebut di antaranya. Wawasan Nusantara merupakan implementasi dari deklarasi Juanda yang dikumandangkan oleh Perdana Menteri Juanda pada 13 Desember 1957.

Mengusung gagasan bahwa perairan antarpulau merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Republik Indonesia dan karenanya Indonesia berhak penuh atasnya, gagasan Juanda merupakan ide yang amat brilian. Suara Juanda adalah suara mare closum pada saat dunia kala itu beranggapan bahwa laut teritori satu negara hanya sejauh 12 mil dari garis pantainya atau sejauh tembakan meriam.

Lewat dari jarak itu sudah merupakan perairan internasional (mare liberum). Pada 1982 pemikiran Juanda diterima oleh kalangan internasional dan diundangkan dalam United Nations Convention on the Law of the Sea. Silakan pembaca simpulkan apakah deklarasi Juanda itu tergolong doktrin atau cita-cita atau bukan.

Sejak kemunculannya hingga kini semua orang membicarakan poros maritim; ia menjadi topik utama dalam diskursus kemaritiman nasional. Sudah ratusan artikel, seminar dan FGD diadakan untuk membahasnya. Dan, sudah puluhan program yang dijalankan oleh kementerian dan lembaga dengan mencatut (baca: atas nama) poros maritim.

Namun, tidak demikian halnya dengan deklarasi Juanda dan dengan sendirinya wawasan Nusantara yang terdapat di dalamnya. Ia sepertinya sepi dari perhatian publik luas sejak awal keberadaannya, hanya bergaung di ruang-ruang kecil komunitas akademisi, peneliti, dan penggiat kemaritiman.

Hari Nusantaralah yang mengangkatnya agar tidak tenggelam ke palung samudera sejarah. Kedua, poros maritim tidak memiliki direktif yang jelas terkait pertanyaan dimulai dari mana upaya untuk mewujudkannya. Memang sejak dicanangkan, poros maritim telah dieksekusi oleh berbagai K/L. Hasilnya? Tumpang-tindih program tidak terhindarkan.

Dengan pelengkap yang ditambahkan oleh Presiden Jokowi, malah justru membuatnya makin melebar. Menurut informasi dari Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Sumberdaya, kini tengah disusun dua buku sebagai pedoman bagi seluruh pemangku kepentingan. Buku pertama akan berisi aspekaspek politis seperti geostrategi, geopolitik dan lain sebagainya, dan akan disusun oleh kementerian koordinator tersebut.

Sedangkan buku dua, memuat aspek-aspek teknis, akan disiapkan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Tahun 2014, ketika poros maritim baru seumur jagung, kementerian itu menggelar beberapa FGD untuk menyamakan persepsi, tepatnya mencari definisi, apa itu poros maritim (dan juga tol laut).

Penulis tidak mendengar hingga kini definisi yang tepat mengenai poros maritim dan kabarnya FGD yang diadakan gagal menemukan definisi yang diinginkan. Apakah dengan akan diterbitkannya kedua buku yang disebut di muka masalah definisi sudah tuntas dibahas? Semoga saja.

Persoalan definisi dan sejumlah persoalan lain yang melingkupi poros maritim berawal dari penggunaan istilah yang sangat out of the box sebagai salah satu ciri utama kepemimpinan Presiden Jokowi. Berpikir dengan gaya seperti itu tidak salah, hanya saja dalam dunia yang makin menyempit seperti saat ini penggunaan istilah yang tidak baku bisa kontraproduktif.

Dan, bidang maritim yang sejak awal sudah sangat mengglobal sudah memiliki berbagai istilah baku untuk seluruh aktivitasnya. Untuk menggambarkan sebuah pelabuhan atau negara (gabungan pelabuhan dan negara ini menjadi istilah port state) yang menjadi rujukan pelaku bisnis kemaritiman mondial misalnya, digunakan istilah international maritime center dengan elemen utamanya adalah hub and spoke.

Ini berarti setiap IMC adalah hub bagi daerah sekitarnya dan daerah sekitarnya adalah spoke. Yang menarik dari istilah IMC itu adalah kata port atau pelabuhan. Dalam bahasa lain, jika sebuah negara ingin menjadi hub (poros maritim walaupun tidak ekuivalen), maka yang pertama menjadi titik pangkalnya adalah pelabuhan. Bukan yang lainnya.

Pelabuhannya haruslah dibuat efisien dan efektif. Seluruh elemen nasionalnya mesti mendukung keberadaan pelabuhan itu dengan segenap upaya dan mengenyampingkan berbagai kendala yang dapat mengganggunya. Bagaimana dengan pelabuhan kita? Dalam setahun terakhir pelabuhan nasional telah berbenah diri dengan target dapat menyaingi pelabuhan-pelabuhan utama di kawasan.

Fasilitas baru dengan ukuran masif untuk negeri kita tengah dibangun. Sayang, upaya ini bisa jadi akan terganjal karena gerak politik oleh parlemen yang cenderung berlawanan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar