Dana
Ketahanan Energi
Dinna Wisnu
; Pengamat Hubungan Internasional;
Co-founder & Director Paramadina Graduate
School of Diplomacy
|
KORAN
SINDO, 30 Desember 2015
Pemerintah telah menetapkan bahwa pada bulan Januari 2016 akan
ada penurunan harga bensin premium menjadi Rp7.150/liter dan solar
Rp5.950/liter walaupun harga keekonomiannya menurut Menteri ESDM adalah
Rp6.950 untuk premium dan Rp5.650/liter untuk solar.
Harga menjadi naik dari keekonomian karena pemerintah memungut
dana ketahanan energi sebesar Rp200/liter untuk premium dan Rp300/liter untuk
solar. Dana pungutan ini yang kemudian menjadi kontroversi. Pemerintah
menggunakan dasar hukum UU No 30 Tahun 2007 tentang Energi yang mengatur
tidak hanya soal hubungan antara sumber daya alam, infrastruktur energi,
konsumsi, tetapi juga mengatur perihal kelestarian lingkungan.
Dengan kata lain energi tidak hanya bicara soal akses lebih
murah, tetapi juga ketahanannya di masa depan. Dana itu yang dipakai untuk
mendorong eksplorasi agar depletion
rate atau tingkat pengurasan cadangan energi (yang berasal dari sumur
minyak dan sumber lain yang tidak terbarukan) dapat ditekan. Hal itu juga
telah diatur di dalam Peraturan Pemerintah No 79 Tahun 2014.
Pemerintah pun berencana menggunakan dana tersebut untuk
menyubsidi harga listrik yang saat ini belum kompetitif karena harga produksi
khususnya dari sumber-sumber energi terbarukan belum murah bila dibandingkan
dengan sumber yang berasal dari energi fosil. Beberapa pihak menyatakan
sebaliknya. Undang-undang tersebut dianggap tidak memberikan wewenang apa pun
kepada pemerintah untuk menarik pungutan atas konsumsi BBM.
Seandainya ada pungutan, hal itu harus dilakukan melalui
peraturan pemerintah yang saat ini dianggap belum ada oleh sebagian pengamat.
Pungutan itu juga dianggap lebih tepat diberlakukan pada
perusahaan-perusahaan yang bekerja sebagai kontraktor sebagai kompensasi
kerusakan alam akibat eksplorasi energi yang mereka lakukan.
Kritik juga menyasar soal transparansi dari lembaga dan
penggunaan dana yang terkumpul apakah akan betul-betul digunakan untuk
eksplorasi dan penelitian menemukan energi baru atau tidak. Sebagian kritik
menilai waktunya tidak tepat untuk menarik beban pungutan di saat
perekonomian sedang melamban. Kritik-kritik terhadap dana ketahanan energi
harus dipandang sebagai umpan balik atas kebijakan pungutan dana ketahanan
energi itu yang dilakukan pemerintah.
Kritik tersebut secara mendasar mengindikasikan bahwa
kelestarian lingkungan atau lebih tepatnya saat ini pembangunan yang
berkelanjutan belum menjadi kesadaran bersama tidak hanya masyarakat umum,
tetapi juga tokoh politik atau tokoh masyarakat.
Artikel saya beberapa bulan lalu mengenai dinamika politik
internasional yang terpengaruh oleh teknologi baru eksplorasi minyak serpih (shale oil) telah mengangkat dilema
antara ketahanan energi dan kelestarian lingkungan, khususnya untuk negara
dunia ketiga.
Harga minyak dunia yang terus-menerus turun hingga berada di
bawah ongkos produksinya telah menguntungkan para konsumen karena dapat
menikmati harga bahan bakar yang lebih murah. Saya bisa membayangkan bahwa
stasiun pengisian bahan bakar umum mungkin akan kembali penuh di bulan
Januari seperti sebelum kenaikan harga bahan bakar tahun lalu.
Dari sisi APBN, turunnya harga bahan bakar juga menguntungkan
karena terjadi pada saat nilai mata uang kita melemah sehingga kita tidak
terlalu banyak”membakar” dolar untuk memenuhi konsumsi bahan bakar di dalam
negeri. Harga bahan bakar yang murah juga dapat menurunkan inflasi yang
sebagian besar juga disumbang oleh biaya transportasi.
Namun, di sisi lain, lingkungan menjadi terancam karena bahan
bakar yang murah mendorong konsumsi energi yang tidak terkontrol. Semakin
banyak bahan bakar yang dikonsumsi, semakin tinggi juga potensi pencemaran
lingkungan.
Di tingkat internasional, negara-negara yang mengandalkan
pemasukannya dari menjual bahan bakar energi fosil seperti Arab Saudi, Iran
atau Venezuela harus menggali lebih dalam dan menyedot lebih banyak minyak di
sumur mereka agar volume minyak mereka bisa lebih banyak dari biasanya agar
tertutup kerugian akibat harga minyak dunia yang turun.
Konsumsi bahan bakar fosil yang besar secara potensial juga akan
memengaruhi perubahan iklim dengan semakin banyak emisi karbon yang
dihasilkan dari pembakaran. Harga kerusakan lingkungan ini yang secara
filosofis dibebankan kepada konsumen bahan bakar fosil yang menggunakan
premium dan solar. Mengapa konsumen perlu dibebankan atas harga potensi
kerusakan lingkungan itu tidak lain karena bertujuan untuk mengontrol
konsumsi bahan bakar fosil.
Kita ingat pada saat harga bahan bakar mahal, seluruh rumah
tangga di Indonesia melakukan serangkaian efisiensi mulai dari mengandangkan
mobil mereka di garasi hingga pengurangan konsumsi listrik di dalam rumah.
Harga minyak yang tinggi juga menjadi faktor timbulnya industri transportasi
berbasis aplikasi teknologi sepertiGo- Jek, Grab-Bike, BluJek, Get Jek, Ojek
SyarI , Pro Jak, Lady-Jek.
Industri tersebut tumbuh karena kelas menengah bawah yang
biasanya menggunakan kendaraan roda empat tidak sanggup lagi membeli harga
bahan bakar yang tinggi. Harga minyak dunia yang tinggi juga membuka pasar
energi terbarukan seperti biofuel dari minyak kelapa sawit. Saat ini,
retribusi minyak kelapa sawit yang terkumpul di CPO Fund digunakan sebagian
untuk menyubsidi energi biofuel sebesar Rp2.600/liter agar konsumen tertarik
membeli biodiesel.
Selain menyerap CPO yang diproduksi di dalam negeri, kebijakan
biodiesel juga membuat harga minyak kelapa sawit stabil di pasar dunia.
Fakta-fakta tersebut memberikan gambaran bahwa secara umum energi yang
berasal dari fosil seperti minyak bumi atau batu bara yang berpotensi merusak
lingkungan masih lebih murah daripada energi terbarukan atau energi yang
ramah lingkungan seperti energi panas bumi (geothermal), sinar matahari (solar
fuel ) atau minyak nabati (biofuel).
Semakin murah harga minyak bumi, semakin besar pula potensi
kerusakan dan perubahan iklim yang terjadi di masa depan, padahal
mengandalkan sepenuhnya energi terbarukan juga tidak masuk akal karena
harganya terbilang mahal. Saya pikir memang tidak akan ada jalan keluar yang
membuat nyaman semua pihak saat ini dalam mengarahkan politik energi kita di
masa depan.
Ini bukan hanya masalah yang terjadi di Indonesia, tetapi juga
di banyak negara. Kita dapat melihat kembali bagaimana suhu Konferensi
Perubahan Iklim di Prancis bulan lalu menjadi panas dan terancam gagal karena
sulitnya menemukan konsensus bersama menurunkan suhu bumi antara menentukan
1,5 derajat atau 2 derajat.
Menjadi sulit karena setiap komitmen menurunkan derajat suhu
temperatur dunia artinya adalah mengurangi tingkat polusi yang berasal dari
operasionalisasi pembangkit listrik, kendaraan bermotor, pabrik- pabrik,
transportasi, dan industri lainnya. Apabila industri itu melamban,
kesejahteraan masyarakat juga menurun. Namun, di sisi lain, kita melihat di
masa depan, penggunaan energi terbarukan menjadi pilihan yang tidak bisa
dielakkan.
Apabila kita terus-menerus mencemari lingkungan, kerusakannya
akan semakin parah dan biayanya baik ekonomi atau politik juga semakin besar.
Kompetisi untuk menghasilkan teknologi yang ramah lingkungan akan menjadi
wilayah kompetisi baru. Negara yang dapat menguasai dan memproduksi teknologi
tersebut mulai dari perangkat rumah tangga hingga pembangkit energi akan
lebih dominan dalam percaturan politik internasional.
Kita juga melihat secara positif bahwa masyarakat Indonesia juga
semakin resilient (lentur) terhadap krisis. Harga bahan bakar yang tinggi
telah mendorong efisiensi dan inovasi dari berbagai pihak mulai dari
pemerintah daerah hingga UMKM dalam mendorong terciptanya lapangan pekerjaan
yang baru.
Saya membayangkan apabila kebijakan untuk ketahanan energi dan
kelestarian lingkungan ini menjadi paradigma pembangunan nasional yang
konsisten ke depan, para pelaku bisnis dan masyarakat bisa mulai berani
mengambil langkah-langkah inovasi atau terobosan yang lebih maju dan radikal
untuk berinvestasi.
Apabila kita lakukan itu mulai saat ini, kita mungkin akan jauh
lebih siap menghadapi kompetisi di pasar teknologi terbarukan di masa depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar