Refleksi
Perubahan Akhir Tahun :
Pertamina
dan Harga Minyak
Rhenald Kasali ; Pendiri Rumah Perubahan
|
KORAN
SINDO, 31 Desember 2015
Di akhir tahun ini saya ingin mengajak Anda merefleksikan
perubahan besar yang dampaknya ke mana-mana, yaitu: mengapa harga minyak
mentah di pasar dunia bisa turun begitu cepat?
Pada Oktober 2014, harganya masih berada di kisaran USD90 per
barel. Tapi lima bulan kemudian, persisnya Maret 2015— merujuk data
www.marketwatch. com—, minyak mentah sudah dijual pada kisaran harga
USD48/barel. Bahkan memasuki libur Natal 2015, harga minyak mentah turun lagi
menjadi tinggal USD37,91/barel. Apa penyebabnya? Saya ajak Anda untuk
melihatnya dari sisi pasokan. Banyak pandangan tertuju ke Amerika Serikat
(AS).
Penemuan teknologi fracking
membuat negara adikuasa itu mampu menggenjot produksi minyaknya secara
signifikan. Menurut Energy Information
Administration (EIA), sampai akhir 2014, produksi minyak AS sudah
mencapai 13,9 juta barel per hari (bph). Ini capaian yang luar biasa. Sebab
pada tahun itu, produksi minyak Arab Saudi masih berkisar 11,6 juta bph.
Jadi, dari sisi produksi AS sudah mengalahkan Arab Saudi. Maka, tak aneh
kalau Negeri Pam Sam itu kemudian mendapat julukan Saudi America.
Meningkatnya produksi minyak AS membuat dunia seakan kebanjiran
emas hitam. Apalagi pasokan minyak juga mengalir dari mana-mana. Di antaranya
dari Libya. Setelah jatuhnya Muammar Gaddafi, kalangan perminyakan menduga
Libya butuh waktu panjang untuk kembali ke pasar. Nyatanya tidak.
Menurut www.oilprice.com, kalau semula kalangan perminyakan
menduga produksi minyak mentah Libya hanya 150.000-250.000 bph, kenyataannya
kini sudah 810.000 bph. Bahkan tahun 2016 angkanya bakal naik lagi menjadi
1,2 juta bph. Pasokan minyak juga datang pasar gelap. Di antaranya dari
organisasi teroris dunia, Islamic State
of Irak and Syria (ISIS).
Di Irak dan Suriah, ISIS menguasai 11 ladang minyak. Sebagai
ilustrasi, volume produksi dua ladang minyak dan gas di Irak yang kini
dikuasai ISIS mencapai 25.000 bph dan 40.000 bph. Itu belum termasuk dari
ladang minyak ISIS di Suriah, yang volume produksinya jauh lebih besar.
Sepanjang 2014, kalangan analis menduga nilai penjualan minyak ISIS di pasar
gelap sudah mencapai USD500 juta.
Faktor berikutnya adalah dua negara utama OPEC, Arab Saudi dan
Kuwait, tak bersedia memangkas produksinya. Ini mereka lakukan untuk menjaga
penerimaan negaranya dan mempertahankan pangsa pasarnya, terutama di Asia.
Jadi, dari sisi pasokan saat ini, dunia betul-betul kebanjiran minyak.
Bagaimana potretnya dari sisi permintaan? Sebaliknya,
permintaannya malah melemah. Permintaan dari China dan India menurun. Selain
itu sejumlah negara di Asia, seperti Indonesia dan Malaysia, juga memangkas
subsidi BBM-nya. Padahal selama 2012, negara-negara itu paling banyak
mengalokasikan anggaran untuk subsidi. Indonesia mengalokasikan 3% dari
PDB-nya, Malaysia 2,3%, Thailand 2,6%, Vietnam 2,5%, dan India 2,3%.
Pemangkasan subsidi membuat harga BBM di negara-negara itu naik sehingga
permintaan akan minyak menurun.
Sejuta Barel
Kombinasi dua faktor itulah yang membuat harga minyak belakangan
merosot terus. Bahkan harga saat ini belum lagi mencapai titik yang terendah.
Persoalannya bagaimana kita di Indonesia menyikapi kondisi yang semacam ini?
Saya sebetulnya agak bergidik ketika masih sering mendengar bahwa sampai hari
ini kita masih menyimpan mimpi memproduksi minyak hingga 1 juta bph.
Mimpi ini sudah digadang-gadang sejak lama. Bahkan semasa negara
ini masih dipimpin Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), saat harga minyak begitu
tinggi dan subsidi begitu besar dengan demand yang selalu naik. Mimpi itu
memang tak pernah menjadi kenyataan. Maklum, sejak 2000, volume produksi
minyak negara kita mulai bergerak turun dan terus berlanjut hingga kini.
Pada 2012, misalnya, volume produksi minyak kita hanya 762.000
bph. Lalu pada tahun-tahun berikutnya berfluktuasi. Sempat turun, lalu naik,
dan turun lagi. Namun angkanya tak pernah mencapai 800.000 bph. Apalagi
investasi besar-besaran tak banyak kita lakukan. Teknologi eksplorasi dan
eksploitasinya pun begitu kita kembangkan. Setiap orang boleh bermimpi.
Hanya saja saya berharap semoga mimpi produksi minyak 1 juta bph
tidak menjadi kenyataan pada hari-hari ini. Lebih baik kita cari energi
alternatif yang lebih murah, efisien, dan ramah lingkungan. Mungkin kalau
lima tahun lagi, bolehlah. Mengapa? Saat ini jelas harga minyak terus
bergerak turun. Tapi, bukan hanya itu. Sejumlah analis menyebutkan bahwa
dalam dua-tiga tahun ke depan harga minyak masih akan terus merosot hingga
mencapai USD20/barel.
Proyeksi harga minyak mentah serendah itu tentu menjadi mimpi
buruk bagi para pelaku industri perminyakan. Para kontraktor migas yang
beroperasi di negara kita, misalnya, sudah kepayahan. Mereka kemudian memilih
melepas saham yang dimilikinya ke pihak lain atau mencari mitra baru. Sampai
November 2015 setidak-tidaknya sudah ada lima kontraktor yang melepaskan
sahamnya.
Strategi
Pertamina
Bagaimana dengan Pertamina? Bagaimana BUMN itu mesti mengambil
sikap dalam kondisi seperti sekarang ini? Pertama , kita mesti memiliki
pandangan yang sama bahwa kondisi sekarang ini memang merupakan masa-masa
yang sulit bagi industri perminyakan. Bukan hanya di Indonesia, tetapi juga
dunia.
Kedua , yang juga mesti diingat—ini prinsip dasar setiap
pemimpin bisnis, baik pada tingkat individu maupun korporasi—bahwa di dalam
setiap kesulitan selalu tersembunyi peluang. Semakin sulit masalahnya,
semakin besar peluang yang tersembunyi di dalamnya. Kita hanya perlu
menyingkap lebih keras agar peluang itu muncul ke permukaan.
Jadi, kalau dalam kondisi sekarang ini kinerja keuangan
Pertamina mengalami sedikit gangguan, kita harus menerimanya secara wajar.
Kenyataannya memang begitu. Misalnya, laba bersih Pertamina pada kuartal
III/2015 hanya mencapai USD340 juta atau setara dengan Rp4,6 triliun. Ini
berarti turun 42% bila dibandingkan dengan perolehan laba bersih kuartal yang
sama tahun 2014.
Tapi tentu saja kita boleh menuntut Pertamina agar mengimbangi
penurunan pendapatan dan laba bersihnya dengan upaya-upaya efisiensi. Saya
yakin masih banyak pos biaya yang bisa dihemat. Masih banyak lemak yang harus
dibuang dari dalam tubuh Pertamina. Inilah yang saya dengar terus digulirkan
direksi Pertamina. Dan itulah jagonya Dwi Soetjipto yang dulu berhasil
memajukan PT Semen Indonesia.
Saat ini biaya produksi migas Pertamina rata-rata sudah bisa
diturunkan menjadi USD20/ barel. Artinya, dengan harga minyak saat ini, Pertamina
sebetulnya masih mempunyai ruang untuk mengambil posisi yang baik. Kecuali
jika harga minyak terus bergerak turun sampai di bawah USD20/barel,
sebagaimana ramalan para analis tadi, Pertamina harus berjuang habis- habisan
untuk bertahan hidup.
Itu sebabnya saya menganggap berbagai langkah efisiensi harus
terus dilakukan Pertamina. Lalu, di mana peluangnya? Dengan turunnya harga
minyak, biaya eksplorasi bakal ikut turun. Maka ini menjadi momentum bagi
Pertamina untuk menyiapkan bisnis di sektor hulu masa depan dan mengembangkan
energi alternatif. Pertamina mesti menemukan cadangan- cadangan migas baru
baik di dalam maupun luar negeri untuk cadangan di masa depan.
Apalagi bangsa-bangsa besar sudah memasuki dunia energi baru
yang wajahnya sama sekali berbeda dengan masa lalu. LPG saja sudah ada
penggantinya, apalagi sumber-sumber yang renewable.
Ini tentu bisa menjadi legacy bagi
anak cucu. Kita bukan hanya generasi yang pandai menghabiskan, tapi juga bisa
memperbarui cadangan. Eksplorasi dan inovasi berarti investasi.
Untuk itu Pertamina mesti menyiapkan dana yang cukup. Ini tentu
dapat berimbas pada kinerja keuangan perusahaan. Misalnya bisa saja
pendapatan atau laba bersih Pertamina menurun, bahkan merugi. Bagi orang
bisnis sesungguhnya, untung rugi adalah hal biasa.
Tidak perlu terlalu dikhawatirkan kalau itu menjadi investasi.
Kecemasan saya hanya satu, yakni ketika DPR mulai bertanya-tanya soal ini.
Maklum, kalau sudah ada kebutuhan dana politik, yang benar bisa menjadi salah
dan sebaliknya.
Apalagi belakangan masyarakat pun dipolitisasi, profesi baru
dihidupkan untuk mengecohkan kebenaran: cyber
troops akun bodong. Anda tahu kan betapa repotnya berurusan dengan
lembaga yang satu itu? Rumit! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar