Benang Kusut Gafatar
Sudjito ; Guru
Besar Ilmu Hukum UGM
|
KORAN SINDO, 26 Januari
2016
Ruwet. Itulah kata
singkat sahabatku, Mamad, si tukang pijat, ahli masjid, ketika ditanya
persoalan Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar). ”Di Jawa salah, pindah
di Kalimantan salah. Hidup pasrah dalam kemiskinan salah, bangkit untuk
kehidupan lebih beradab salah. Hidup mandiri di rantau orang ditangkap,
dikembalikan ke daerah asal, membebani sanak-saudara. Mana tahan, apa harus
begini!”.
”Bagaimana persoalan
ideologi mereka, Mad?” pertanyaan intelek saya lontarkan. ”Ah, enggak tahu.
Saya wong cilik kok ditanya soal ideologi. Apa itu ideologi? Bisa lepas dari
himpitan utang dan beban sosial sudah cukup.
Kalau mereka
benar-benar kembali, nanti akan saya ajak ngurusi masjid dan bekerja apa adanya.
Tidak usah ngoyo,” jawabnya. ”Oke, jangan sewot Mad, santai saja,” saya
menenangkannya.
Urusan berbicara di
depan publik, saya sudah banyak makan asam-garam. Tetapi, bicara dengan ”wong
cilik”, nuansanya amat berbeda. Seakan berhadapan dengan wajah-wajah manusia
polos dan lugu yang terjebak kemacetan dan keributan jalan raya. Mau
menyeberang takut, tetapi kalau diam saja, kapan sampai tujuan. Sementara
tempat tujuan berada di seberang jalan. Di kota jutaan manusia memandang
curiga ke orang lain, pelit sekali dengan senyuman, pelit pula memberi
pertolongan. Bicara kepada mereka semua, sikap sabar dan wawasan jauh ke
depan amat diperlukan.
Gafatar tidak dapat
dilihat sebagai hitam atau putih. Urusannya sedemikian kompleks, bagai benang
kusut, tidak mudah diurai.
Gafatar merupakan
potret kehidupan sosial-kenegaraan, baik yang tampak dalam wujud gerakan atau
aliran maupun dinamika kehidupan secara menyeluruh. Dari sisi negatif,
Gafatar muncul karena faktor kemiskinan, kesenjangan sosial, kesenjangan
ideologi, kesenjangan keimanan, ketidakadilan ekonomi, politik, dan hukum,
serta kerusakan tatanan kehidupan lainnya.
Konflik-konflik,
aliran-aliran keagamaan, dan kriminalitas merupakan bagian dari dinamika
sosial-kenegaraan itu.
Ketika pengelolaan
negara bertumpu pada individualisme, liberalisme, dan kapitalisme,
selanjutnya berkiblat pada keuntungan finansial-materialistik, nasib rakyat
menjadi barang sekunder dan seakan sah dikorbankan demi terimplementasikannya
kebijakan-kebijakan pemerintah.
Seorang spiritualis
kondang Gede Prama menggambarkan kehidupan sekarang sebagai pengalaman yang
diisi dengan rasa takut, curiga, dan waswas. Melihat televisi, isinya
pembunuhan, perampokan, dan kejahatan lain sejenisnya. ”Wong gede maupun wong
cilik” tak jauh berbeda perilakunya, saling mengobjekkan orang lain demi
kepentingan dirinya. Artinya,
perubahan pandangan hidup sudah merambah ke seluruh strata kehidupan. Tesis
Thomas Hobbes, homo homini lupus,
benar-benar menyembul sebagai perilaku masif.
Pada zaman modern,
khususnya pascareformasi, kehidupan sosial-kenegaraan serupa dengan pabrik
yang sedang memproduksi manusia-manusia egois, materialistis, dan sekuler.
Lihatlah, di pasar harus awas terhadap pencopet. Di rumah jangan mudah
menerima tamu sebelum jelas identitasnya. Pintu, jendela, dan gerbang jangan
lupa dikunci agar pengemis dan pengamen tidak masuk. Pagar keamanan, dulunya berupa
tetangga yang akrab, kini telah tergantikan tembok tinggi.
Ketakutan dan
kecurigaan diproduksi massal, padahal hidup dalam ketakutan sama maknanya
dengan bunuh diri perlahan-lahan. Jangankan orang-orang miskin, golongan
marjinal, siapa pun terbilang sudah mapan, aman, dan berkecukupan sering
masih tebersit kecurigaan dan ketakutan akan masa depannya. Saudara kita yang
terbujuk rayu Gafatar boleh jadi mengklaim sedang hijrah dari kehidupan
hedonistik, tak beradab seperti itu.
Sebelumnya saya
berpikir, hanya sedikit orang Indonesia yang protes terhadap situasi chaos,
anomali, dan anarkistis itu. Namun, belakangan setelah sempat mengembara dan
bertemu orang kaya maupun miskin, pejabat maupun rakyat, ulama maupun santri abangan,
rupanya orang-orang tercampakkan bertebaran di mana-mana. Mereka gelisah dan
takut mati perlahan akibat keganasan kehidupan.
Dalam penyimpangan
keimanan dan ideologi, Gafatar perlu dikutuk. Tetapi, terhadap
saudara-saudara kita yang dalam niat berani bersikap konkret, arif, dan bijak
menata kehidupan lebih beradab, harmonis, dan sejahtera, apakah mereka salah?
Kreativitas, inovasi, kecintaan pada bangsa, kesegaran berpikir, kepekaan
kemanusiaan adalah sikap-sikap positif yang sedang dibangun bersama, apakah
mereka salah? David Mc Clelland dalam teorinya ”Achieving Society” dan Max Weber dengan idenya tentang ”The Protestant Ethics and The Spirit of
Capitalism”, keduanya sama-sama mengagungkan persaingan dan ketakutan
sebagai motor kemajuan. Kita, sebagai bangsa ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, lebih
meyakini bahwa kepekaan jiwa bisa diasah dalam lingkungan kehidupan sosial
komunalistik-religius.
Bila keyakinan ini
disemai massal, tak perlu ada kekeringan di tengah basahnya kekayaan, tak
perlu ada Gafatar di tengah Pancasila, tak ada dosa di antara kita.
Introspeksi dan berbenah diri bagi keluarga, masyarakat, dan pemerintah
menjadi kunci solusi persoalan Gafatar, menuju kehidupan yang adil dan
beradab. Pada saat publik disibukkan urusan Gafatar, ternyata wong cilik
justru memiliki kepedulian sosial-kenegaraan tinggi. Ada langkah konkret yang
akan dilakukan, merangkulnya ke dalam kehidupan komunalistik religus.
Sikap demikian akan
menjadi obat mujarab pencegahan dan penindakan pengikut Gafatar bila
dipadukan dengan kontribusi pemikiran lain menjadi kebijakan nasional.
Damailah Saudaraku, kita arungi samudera kehidupan dengan perahu baru. Di
mana pun, dalam keadaan apa pun, serta dengan siapa pun, kehidupan sejahtera dapat
ditemukan. Sekali kita mampu melepaskan diri dari jeratan tali kehidupan
hedonistik-sekuler, pastilah kesejahteraan rajin berkunjung. Amin. Wallahualam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar