BANDAR
Rhenald Kasali ; Pendiri Rumah Perubahan
|
JAWA POS, 29
Januari 2016
Indonesia adalah
surganya para bandar. Maaf, bandar yang saya maksud bukan merujuk pada nama
kota, seperti Bandar Lampung. Bukan
Bandar Sri Aman, sebuah kota di Serawak, atau Bandar Seri Begawan yang
menjadi ibukota Brunei Darussalam.
Juga, bukan merujuk
pada nama restoran yang terkenal dengan ikan bakarnya, Bandar Djakarta. Atau,
bandar yang merujuk pada kata fasilitas publik, seperti bandar udara. Ini
bandar yang lain.
Bandar yang saya
maksud adalah orang yang suka mengatur. Ia pengelola, tetapi juga sekaligus
yang menetapkan aturan main. Ia ada di mana-mana, dalam bisnis apa pun.
Mulai dari bisnis
kecil-kecilan sampai yang besar. Mulai dari yang legal sampai ilegal, dari
bisnis yang jelas sampai yang abu-abu.
Cobalah lihat “pak
ogah” yang mengatur lalu lintas di putaran-putaran jalan. Secara periodik,
setiap beberapa jam, orang-orang yang berjaga di putaran-putaran tersebut
akan berganti. Siapa yang mengatur?
Begitu juga
parkir-parkir liar yang lokasinya ada ribuan di Jakarta. Siapa yang mengatur
petugas parkir di sana? Lalu,
“pasar-pasar kaget” yang tersebar di sana-sini.
Siapa yang mengatur
para pedagang yang berjualan di sana? Anda bisa kasih seribu contoh lainnya,
mulai dari pengemis, topeng monyet, judi sepakbola, prostitusi sampai
narkoba.
Kita mungkin lebih
suka menyebutnya dengan istilah preman. Padahal, kalau melihat
perannya—sebagai pengatur dan pembuat aturan main—mereka layak disebut
bandar.
Jadi Pelumas
Tapi, jangan salah.
Tak semua peran yang diambil para bandar adalah bisnis haram dan berakibat
buruk.
Bayangkan kalau di
putaran jalan, parkir liar atau pasar-pasar kaget tak ada yang mengatur, bisa
jadi setiap hari kita menyaksikan tawuran di mana-mana akibat berebut rejeki.
Masih banyak urusan di
negeri kita yang belum bisa sepenuhnya diatur oleh negara. Dan, itulah yang
kini menjadi urusan para bandar.
Para bandar tadi tidak
berdiri sendiri. Di atasnya ada lagi bos para bandar. Jadi rejekinya juga
mengalir sampai ke atas.
Di bisnis skala besar
dan legal, para bandar juga berperan. Ia menjadi semacam pelumas. Kalau ada
sesuatu yang seret, sebagai pelumas, bandar bisa membuat bisnis-bisnis tadi
menjadi bergulir.
Contohnya banyak. Misalnya,
perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia tak lepas dari peran bandar—sebutan
yang biasa dipakai untuk para broker besar. Di pasar saham ini para investor
ritel atau individual selalu mengikuti langkah para bandar tadi. Kalau para
bandar memburu saham PT A, investor ritel akan ikut.
Untuk mengatrol harga
saham PT A, sehingga menjadi lebih likuid, para bandar kerap memainkan
sejumlah isu. Persisnya, fabrikasi isu.
Mereka merancang
sejumlah berita dan menebarkannya ke berbagai pihak, termasuk kalangan media,
untuk membuat membuat harga saham PT A naik. Lalu, para bandar akan memburu
saham PT A, dan investor ritel pun ikut.
Tapi, terlalu sering
ikut-ikutan juga ada bahayanya. Sebab ketika naiknya harga sudah dianggap
cukup, para bandar segera melepas saham yang diburunya tadi. Lalu, harga
saham PT A tadi bergerak turun. Celakanya, sebagai pengikut, langkah investor
ritel kerap ketinggalan. Mereka telat melepas saham PT A. Akibatnya bukannya
untung, mereka malah buntung.
Bisnis properti pun
tak lepas dari peran bandar. Ketika suatu pengembang menjual produk baru,
katakanlah apartemen, para bandar ikut bermain.
Mereka seakan-akan
agresif memburu unit-unit apartemen yang ditawarkan, sehingga membuat pasar
memanas. Lalu, para pembeli yang panik karena takut “ketinggalan kereta” pun
jadi ikut-ikutan membeli. Unit-unit apartemen itu pun jadi laris manis.
Begitulah peran bandar
yang membuat pasar jadi hidup. Kesannya jadi spekulatif, tapi bisnis memang
nature-nya begitu. Ada saja unsur spekulasinya. Kata orang, di dunia ini mana
ada yang serba pasti.
Broker saham atau
broker properti adalah bandar yang bermain dalam bisnis legal. Tapi, ada juga
bandar yang bermain dalam bisnis ilegal. Contohnya bandar judi.
Dalam bisnis judi,
bandar selalu menjadi pemenangnya. Para penjudi, dan kita semua, tahu betul
soal ini. “Gambling is the sure way of
getting nothing for something,” kata Wilson Mizner, seorang dramawan dan
pengusaha kelahiran California, AS.
Meski sudah tahu
kenyataannya seperti itu, ini celakanya, tetap saja para penjudi masuk
perangkap. Rupanya judi itu ibarat narkoba. Sekali melakukan, kita bisa
ketagihan.
Buang ke Laut
Kisah keterlibatan
para bandar ini ibarat bau yang menyebar di udara. Kita bisa menciumnya,
tetapi sulit membuktikannya. Mungkin kita hanya bisa melihat tingkah polah
mereka dalam film-film buatan Hollywood. Contohnya, film Casino (1995) yang
dibintangi oleh aktor Robert de Niro.
Perlukah para bandar
tadi kita berangus? Jangan. Setidak-tidaknya jangan semua. Kita perlu bandar
di bursa efek atau pasar properti.
Mungkin kita juga
masih perlu bandar-bandar yang mengatur lalu lintas di putaran-putaran jalan
atau parkir-parkir liar. Sebab jumlah aparat kepolisian kita, atau petugas
dinas perhubungan, masih sangat terbatas.
Tapi, jelas kita tidak
perlu bandar narkoba. Apalagi bandar narkoba yang berani memprovokasi warga
untuk mengeroyok polisi dan membuat dua di antaranya tewas. Kalau bandar yang
satu itu, saya setuju, buang saja ke laut. Sikat habis! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar