Rabu, 06 Januari 2016

Belajar Pendidikan pada Gus Dur

Belajar Pendidikan pada Gus Dur

  Junaidi Abdul Munif  ;  Direktur el-Wahid Center, Semarang
                                             MEDIA INDONESIA, 04 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

PADA 30 Desember 2015, genap enam tahun KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) meninggalkan kita untuk menghadap Tuhan. Banyak warisan pemikiran Gus Dur yang masih menjadi topik diskusi hingga saat ini, dan tampaknya akan selalu relevan sampai masa depan. Semua itu tidak lepas dari kecemerlangannya dalam melihat berbagai masalah kehidupan untuk menemukan solusinya.

Banyak dari kita mengenal Gus Dur sebagai kiai, politikus, pejuang demokrasi, tokoh toleransi, seorang humanis, dan atribut lain. Namun, penulis yakin, pemikirannya yang melintasi berbagai bidang itu tidak dapat dilepaskan dari proses pendidikan yang dijalani Gus Dur. Menurut sahabatnya, KH Musthofa Bisri (Gus Mus) dalam salah satu ceramah, Gus Dur belajar banyak ilmu dari khazanah Islam klasik sampai kontemporer. Kalau melihat Gus Dur hanya dengan satu kacamata ilmu, kita tidak akan bisa memahami Gus Dur dan langkah-langkahnya.

Harus diakui, pendidikan menjadi tema yang kurang populer dilekatkan pada pemikiran Gus Dur. Dalam bukunya yang terkenal, Islamku Islam Anda Islam Kita (2006), misalnya, tema tentang pendidikan jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan tema yang lain. Gus Dur menganggap pendidikan Islam harus memiliki banyak bentuk, tidak bisa diseragamkan. Pendidikan bertujuan agar siswa menguasai aspek afektif dan psikomotorik, dua hal yang memiliki andil keberhasilan seseorang di zaman ini.

Matra pemikiran pendidikan Gus Dur tidak bisa dilepaskan dari Islam dan pesantren. Penyebutan pesantren sebagai subkultur di Indonesia telah mengindikasikan besarnya peran pesantren untuk pembangunan bangsa. Gus Dur besar dan dibesarkan pesantren, otomatis penguasaan ilmu keislamannya sangat mumpuni. Selain itu, Gus Dur juga kuliah di Mesir, Baghdad, pembaca yang kuat dan pergaulannya yang luas dengan manusia lintas-entitas, merupakan ruang pendidikan yang memperkaya wawasannya.

Spirit pendidikan menurut Gus Dur adalah neomodernisme, pembebasan, dan multikulturalisme Faisol (2012). Pemikiran yang juga banyak dicetuskan oleh orang tokoh lain. Yang membedakan ialah Gus Dur selalu punya landasan teologis yang digalinya dari Alquran, hadis, dan teks-teks karya pemikir Islam. Seperti membangun rumah, Gus Dur sudah punya fondasi yang sangat kukuh dan tidak ber pengaruh ketika rumah itu di bongkar atau direnovasi. Artinya, arsitektur ‘rumah pemikiran’ Gus Dur boleh saja berganti sesuai tuntutan zaman, tapi tidak pernah meninggalkan kekukuhan fondasinya.

Dua perspektif

Melihat Gus Dur dalam perspektif pendidikan bisa dilihat dari dua cara. Pertama, melihat sosok Gus Dur sebagai seseorang yang haus akan ilmu. Pengembaraan ke beberapa pesantren dilakukannya demi menguasai ilmu-ilmu keislaman. Pendidikan Islam dengan demikian sudah kukuh bagi Gus Dur, dan ini sangat bermanfaat ketika dia berjumpa dengan pemikiran lain. Yang terjadi kemudian ialah Gus Dur melakukan dialog disiplin keilmuan yang berbeda-beda itu sehingga menjadi pemikiran ‘khas Gus Dur’.

Kedua, salah satu langkah penting Gus Dur ketika menjabat sebagai presiden dari 19992001 ialah meliburkan sekolah selama bulan puasa. Yang dipahami dari tujuan libur ini adalah agar siswa yang beragama Islam bisa lebih khusyuk menjalankan ibadah puasa dan ibadah-ibadah lainnya. Sekolah-sekolah merespons kebijakan tersebut dengan menggelar pesantren kilat sebagai kegiatan Ramadan di sekolah.

Jika kita mencermati, ada misi futuristik dari kebijakan yang terdengar tidak lazim itu, yaitu kesadaran dan pengetahuan agama Islam anak didik kita masih sangat kurang. Sekolah nonagama belum mampu mengakomodasi nilai-nilai Islam yang sangat luas itu. Sementara, Gus Dur seperti memprediksi era milenium akan ditandai dengan kebangkitan agama dalam aspek kehidupan manusia, terutama Indonesia yang mayoritas penduduknya ialah muslim. Pelajar muslim di masa pemerintahan Gus Dur merupakan generasi yang akan mengalami kebangkitan agama tersebut. Inilah yang terjadi sekarang ketika Islam menjadi legitimasi tindakan umatnya, mulai yang bernuansa kekerasan sampai menebarkan kedamaian.

Maka, liburan selama Ramadan sepatutnya digunakan untuk memperdalam wawasan keislaman dengan benar, dan tempat paling tepat untuk itu ialah pesantren. Pesantren tidak hanya menampung santri yang belajar secara penuh selama menempuh jenjang pendidikan, baik di pesantren maupun di luar pesantren (setingkat SD sampai perguruan tinggi). Di pesantren ada jenis santri posonan, yaitu santri yang belajar di pesantren hanya pada Ramadan. Biasanya sampai 20 Ramadhan. Bagi santri tulen, momen bulan puasa sering dimanfaatkan untuk mengaji kilatan (belajar cepat dengan target kitab bisa khatam dalam waktu 20 hari) di pesantren lain.

Kita melihat saat ini banyak generasi muda yang belajar agama secara instan dari internet. Akibatnya ialah maraknya paham Islam tekstualis yang begitu mudah menyalah-nyalahkan kelompok lain, bahkan mengharamkan Pancasila dan nasionalisme. Mungkin jika waktu itu sekolah merespons kebijakan Gus Dur dengan model pendidikan yang terintegrasi ke pesantren, hari ini tidak banyak pemikiran Islam yang menyimpang dari mainstream kebangsaan. Ada empat pelajaran yang dapat kita petik dari Gus Dur terkait dengan pendidikan.

Pertama, pesantren memang bukan satu-satunya lembaga pendidikan Islam. Namun, pesantren terbukti menjadi jembatan penyambung rentang pemikiran keislaman sejak zaman Rasulullah sampai sekarang. Selain soal keilmuan, di pesantren juga kuyup dengan etika antara murid dan guru. Sesuatu yang juga layak diterapkan dalam model pendidikan nonpesantren.

Kedua, di tengah arus formalisme pendidikan dengan ijazah sebagai ‘tiket’ dunia kerja, tampaknya perlu menengok pemikiran Gus Dur yang lebih mementingkan substansi daripada bungkus (ijazah formal). Esensi pendidikan yang dimiliki seseorang senantiasa membuatnya selalu kreatif dan dinamis. Dia selalu menciptakan ruangruang sendiri untuk eksistensi dan berkiprah di masyarakat, menjadi subjek yang aktif bukan objek yang pasif.

Ketiga, dalam konteks Indonesia yang plural, tempat beragam ideologi keislaman tumbuh subur, pengetahuan tentang Islam sebagai agama, etika, dan nilai sebagai faktor pendorong kemajuan sangat penting. Hasilnya bukan untuk umat Islam sendiri, tapi untuk seluruh masyarakat Indonesia dan dunia. Hal ini sesuai dengan misi Islam sebagai rahmatan lil'alamin (rahmat untuk seluruh alam).

Keempat, pentingnya menjadi manusia pembelajar yang menyantap berbagai bacaan dan diskusi lintas pemikiran.Ini dilakukan demi memperkaya pengetahuan agar kita tidak berpikir linier. Perbedaan cara pandang ialah modal berharga untuk melakukan titik temu. Itulah yang dilakukan Gus Dur selama hidupnya, termasuk upayanya menemukan titik temu agamaagama dan ideologi yang ada di Indonesia.

Semua agama tentu boleh menyelenggarakan pendidikan yang bertujuan demi Indonesia yang lebih baik. Gus Dur mengembangkan pemikirannya dari Islam dan pesantren, sebagaimana Romo Mangun mengembangkannya dari Katolik dan gereja. Dari mereka kita menjadi yakin bahwa agama diciptakan Tuhan tidak untuk membuat manusia saling berperang dan menegasi kemanusiaannya sendiri. Agama, melalui pendidikan, adalah modal manusia menjadi baik dan bermanfaat, sebelum kembali kepada Penciptanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar