Rabu, 06 Januari 2016

Menatap Ekonomi Pangan dan Pertanian 2016

Menatap Ekonomi Pangan dan Pertanian 2016

  Bustanul Arifin  ;  Guru Besar Unila;  Ekonom Senior Indef;
Professorial Fellow di Sekolah Bisnis IPB
                                             MEDIA INDONESIA, 04 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

PROSPEK ekonomi pangan dan pertanian Indonesia 2016 diperkirakan tidak akan banyak berbeda dari 2015. Namun, tantangan yang akan dihadapi ekonomi pangan hampir dapat dipastikan akan lebih berat ketimbang 2015. Dampak kekeringan ekstrem El Nino yang menekan sebagian produksi pangan dan keterlambatan musim tanam akan mulai terasa pada 2016. Di dalam negeri, ekonomi pangan dan pertanian Indonesia harus menghadapi kenaikan harga pangan pokok karena kinerja produksi dan manajemen stok yang bermasalah.

Walaupun laporan Badan Pusat Statistik (BPS) pada awal November 2015 menunjukkan peningkatan produksi beras 5,6%, jagung 4,4%, dan kedelai 2,9%, atau mengindikasikan surplus produksi pada beras dan jagung, fakta di lapangan tidak seperti yang diramalkan. Akan tetapi, ketika dampak kekeringan tersebut telah mulai terasa, ratusan hektare (ha) lahan padi mengalami puso dan gagal panen. Masyarakat perdesaan terpaksa harus berjalan berpuluh kilometer hanya untuk memperoleh satu-dua ember air bersih. Rasa percaya diri terhadap kenaikan produksi pangan spektakuler tersebut pun perlahan berkurang.

Pada awal November, sekitar 500 ribu ton beras impor dari Vietnam telah mulai dibongkar muat di Pelabuhan Tanjung Priok yang sebagian besar mengisi cadangan beras yang dikelola Perum Bulog. Para analis dan ekonom pertanian sebenarnya cukup mafhum bahwa impor beras 1,5 juta ton sebenarnya tidak terlalu istimewa. Stok beras pada akhir Desember 2015 berada pada titik kritis di bawah 1 juta ton dan fakta memperlihatkan sulitnya pengadaan beras dalam negeri pada masa kekeringan. Karena itu, harga eceran beas dalam negeri merangkak naik.

Fenomena sebaliknya justru dijumpai di tingkat global. Hampir seluruh harga pangan strategis mengalami penurunan yang signifi kan. Dalam ekonomi global modern, harga-harga pangan strategis sangat berhubungan dengan harga minyak bumi. Bahkan, penurunan harga pangan global tersebut telah menekan sektor perkebunan secara amat signifi kan karena rendahnya harga karet, kelapa sawit, teh, dan lainlain yang sempat mengurangi insentif bagi petani dan usaha perkebunan untuk menggenjot produksi. Singkatnya, sepanjang 2015, ekonomi pangan Indonesia menderita persoalan struktur pasar dalam negeri, governansi ekonomi, dan tata niaga komoditas yang tidak efisien. Pelaku ekonomi yang paling lemah selalu menanggung dampak dari buruknya struktur pasar komoditas pangan tersebut.

Kulitas rendah

Secara makro, kinerja pertumbuhan ekonomi sektor pertanian sampai dengan triwulan 3 2015 tercatat hanya 3,21% per tahun, masih jauh lebih rendah daripada kinerja pertumbuhan ekonomi makro yang mencapai 4,73%. Tingkat pertumbuhan sebesar itu belum cukup untuk menyerap tenaga atau penciptaan lapangan kerja baru, apalagi mengentaskan masyarakat dari kemiskinan. Angka kemiskinan pada 2015 justru meningkat menjadi 28,59 juta jiwa (11,22%) dari 27,73 juta (10,96%) pada September 2014. Angka kemiskinan di perdesaan, yang sebagian besar penduduknya masih bekerja di sektor pertanian, pada 2015 meningkat menjadi 17,94 juta jiwa (62,7% dari total orang miskin) dari 17,73 juta jiwa (62,6%) pada 2014. Dalam pandangan teori kualitas pertumbuhan, pertum buhan ekonomi makro Indonesia memiliki kualitas rendah atau kinerja ekonomi makro tidak berkualitas sehingga cukup sulit untuk menghasilkan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla telah menetapkan sasaran kedaulatan pangan dalam Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menengah (RPJMN) 2015-2019. Secara sederhana, kedaulatan pangan dimaksudkan sebagai suatu kekuatan untuk mengatur masalah pangan secara mandiri, yang didukung oleh (1) ketahanan pangan, terutama kemampuan mencukupi pangan dari produksi dalam negeri; (2) pengaturan kebijakan pangan yang dirumuskan dan ditentukan bangsa sendiri; dan (3) kemampuan melindungi dan menyejahterakan pelaku utama pangan terutama petani dan nelayan.

Kementerian Pertanian yang merasa sebagai instansi pemerintah yang ikut bertanggung jawab untuk mencapai sasaran kedaulatan pangan telah menerjemahkan amanat RPJM tersebut dalam suatu strategi besar Upaya Khusus Percepatan Peningkatan Produksi Padi, Jagung, dan Kedelai (Upsus Pajale). Dukungan politik yang demikian tinggi dari anggota parlemen, berupa tambahan alokasi anggaran pada APBN-P 2015 sekitar Rp16 triliun sehingga total anggaran sektor pertanian mencapai Rp32,7 triliun, telah membuat Upsus Pajale seakan tidak boleh gagal. Setidaknya terdapat empat gugus kegiatan besar dalam Upsus Pajale, yaitu (1) peningkatan produktivitas padi melalui program Gerakan Penerapan-Pengelolaan Tanaman Terpadu (GP-PTT), yang merupakan `fotokopi' atau penyempurnaan dari program pada pemerintahan sebelumnya, yaitu Sekolah LapanganPengeloan Tanaman Terpadu (SL-PTT); (2) perluasan area dan pengelolaan lahan melalui pengembangan atau rehabilitasi jaringan irigasi tersier (RIJT) dan optimasi lahan (oplah); (3) Pengamanan produksi pangan melalui bantuan benih, pupuk, dan traktor atau alat-mesin pertanian, dan (4) dukungan manajemen pengawalan/ pendampingan dan kelembagaan yang melibatkan aparat militer di segenap pelosok Tanah Air dan sivitas akademika beberapa universitas.

Strategi Upsus Pajale tersebut merupakan respons dari tekanan besar yang disampaikan Presiden Joko Widodo pada berbagai kesempatan kepada Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman untuk men capai swasembada padi, jagung, dan kedelai dalam waktu tiga tahun, atau pada akhir 2017.Walaupun secara semantik istilah swasembada tidak terlalu tepat karena di atas kertas Indonesia sebenarnya telah mencapai swasembada beras, `kontrak politik' telah telanjur disepakati. Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) agak longgar mendefisikan swasembada pangan, yaitu apabila setidaknya 90% dari kebutuhan pangan dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri. Impor beras sebesar 1,5 juta ton pada tahun lalu sebenarnya tidak lebih dari 4% dari total produksi beras nasional sekitar 43 juta ton beras, hasil konversi 74,99 juta ton gabah kering gilimg (GKG).

Akan tetapi, impor jagung yang diperkirakan sekitar 3 dengan 15% produksi jagung nasional, yang tercatat 19 juta ton pipilan kering. Dalam hal itu, Indonesia belum mencapai swasembada jagung karena masih harus mengandalkan jagung impor, terutama dari Amerika Serikat (AS), untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak yang berkembang amat pesat. Demikian juga Indonesia belum mencapai swasembada kedelai karena produksi kedelai dalam negeri hanya 982 ribu ton atau hanya sepertiga dari kebutuhan kedelai nasional yang mencapai hampir 3 juta ton. Indonesia masih sekitar 70% tergantung pada kedelai impor yang sebagian besar berasal dari Amerika Serikat (AS), Brasil, dan Argentina.

Sistem usaha tani kedelai di Indonesia telah telanjur `rusak' selama 20 tahun terakhir dan semakin parah sejak liberalisasi perdagangan kedelai pada akhir 90-an semasa krisis ekonomi Asia. Sampai awal 90an, Provinsi Sumatra Selatan dan Lampung bahkan pernah tercatat sebagai sentra produksi kedelai sangat potensial dengan penerapan teknologi budi daya amat modern dan mekanisasi pertanian yang cukup efisien. Ketika petani tidak memiliki insentif harga yang memadai, terutama karena harga kedelai impor yang amat murah, sulit diharapkan terjadi peningkatan produktivitas kedelai dalam waktu singkat.

Prospek 2016

Dengan kinerja ekonomi pangan 2015 yang demikian dramatis, walaupun anggaran telah dinaikkan dua kali lipat, prospek ekonomi pangan dan pertanian pada 2016 masih akan menyesuaikan diri dengan langgam perubahan birokrasi dan administrasi di pusat dan daerah.

Pertama, prospek ekonomi beras masih tidak akan beranjak besar dari pencapaian pada 2015. Dengan metode estimasi yang belum diperbaiki, pemerintah menargetkan produksi beras pada 2016 diperkirakan mencapai 77 juta ton GKG. Pengalaman historis menunjukkan setelah fenomena kekeringan esktrem El Nino, kinerja produksi pangan biasanya menurun. Hal yang jelas ialah musim tanam telah mundur satu bulan menjadi akhir November atau awal Desember karena musim kering yang cukup dahsyat. Kemudian masa panen raya pada musim rendeng sekarang ini akan mundur sampai April 2016. Jika masa panen hanya bergeser satu bulan, tentu hal itu bukan masalah. 

Mundurnya musim tanam biasanya juga mengganggu keseimbangan agroeko sistem tanaman pangan, khususnya padi. Kasus ledakan hama wereng cokelat pada 2012 ialah salah satu contoh terganggunya keseimbangan ekologis karena perubahan iklim dan cuaca yang mendadak basah agak berkepan jangan.

Faktor-faktor itulah yang seha rusnya diantisi pasi pemerintah, di samping tentunya menggenjot upaya percepatan rehabilitasi jaringan irigasi tersier, optimasi lahan, dan manajemen intenfisikasi produksi lainnya. Demikian pula dalam masa tunggu tiga bulan selama musim tanam sekarang ini, yaitu pada Januari, Februari, dan Maret, pemerintah wajib fokus pada pemantauan pergerakan harga eceran pangan pokok, khususnya beras. Antisipasi operasi pasar dan simplifikasi mobilisasi cadangan pangan di tingkat daerah wajib diupayakan dengan sungguh-sungguh.Pengalaman kenaikan harga beras pada Februari 2015 sampai 25%-30% tentu tidak harus berulang jika pemerintah mampu mengantisipasi pergerakan harga pangan pokok yang telah mulai terlihat sejak awal tahun atau Januari 2015.

Kedua, prospek produksi ja gung 2016 juga tidak akan banyak beranjak dari angka 19 juta-20 juta ton karena perhatian pada intensifikasi produksi jagung tidak sebesar pada beras. Kasus liarnya harga jagung pangan sampai sekitar Rp5 ribu per kilogram tidak boleh terulang pada 2016. Pada 2015, cukup besar stakeholders peternakan rakyat yang terpukul karena tingginya harga jagung, yang digunakan sebagai bahan baku pakan ternak. Pemerintah telah seharusnya memperhatikan penggunaan dan adopsi benih jagung unggul atau jagung hibrida, yang tentu saja cukup berbeda dalam pemeliharaannya jika dibandingkan dengan jagung varietas biasa.

Ketiga, prospek ekonomi kedelai pada 2016 masih tidak secerah kedua komoditas pangan padi dan jagung. Produksi kedelai diperkirakan masih sulit untuk menembus 1 juta ton karena konversi ladang kedelai menjadi kegunaan lain, termasuk kelapa sawit. Pengembangan sistem insentif produksi kedelai kepada petani kecil, skema penjaminan harga tingkat petani, dan jaminan pembelian atau jaminan pemasaran kedelai perlu diupayakan untuk dilaksanakan secara sungguh-sungguh.

Keempat, prospek ekonomi pangan dan pertanian akan cerah apabila pemerintah mampu bekerja sama dengan seluruh stakeholders bidang pangan. Strategi Upsus Pajale hanyalah salah satu pendekatan.Pembangunan pertanian yang berhasil tidak hanya akan memperkuat sektor pertanian dan meningkatkan kesejahteraan petani saja, tapi juga berkontribusi pada keberadaban proses transformasi struktural perekonomian. Maknanya, pembangunan pertanian yang akan dikenang sepanjang masa oleh warga negaranya sendiri dan oleh warga dunia ialah apabila pembangunan tersebut mampu memberikan dampak pendapatan dan dampak lapangan kerja bagi warga negara dan bagi sektor-sektor ekonomi yang lain.

Proses transformasi struktural yang kukuh pasti akan menghasilkan sektor industri yang tangguh. Hal itu juga menjadi andalan pembangunan ekonomi nasional dan menciptakan sektor jasa serta tersier lain, yang menjadi tumpuan hidup kaum kelas menengah masa depan, yang diperkirakan melebihi 100 juta orang dalam waktu dekat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar