Sifat
Nabi dalam Implementasi Pedagogis
Ahmad Baedowi ; Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 04 Januari 2016
DALAM tradisi pendidikan Islam, hampir semua
contoh perilaku tentang sebaikbaiknya manusia selalu dinisbatkan terhadap
pribadi Muhammad, rasul semesta alam. Dalam pribadi Nabi banyak i’tibar atau
pelajaran yang bisa dilihat dan ditiru karena sepanjang hidupnya Nabi selalu
memberikan contoh perilaku yang seharusnya mudah diteladani umatnya. Ambil
contoh misalnya perilaku nirkekerasan, mudah memaafkan orang, sangat toleran,
dan teguh pada pendirian. Dalam beragam hikayat, perkataan dan perilaku Nabi
ialah sumber pencerahan kondisi aktual masyarakat yang memiliki relevansi
hingga hari ini.
Dalam keseharian, sebenarnya para guru kita
bisa secara implementatif mempraktikkan empat sifat Nabi yang sangat populer
di kalangan umat Islam dalam proses belajar-mengajar. Jika para guru memiliki
daya kritis dalam menilai siklus sifat Nabi, sebuah sekolah pasti akan memiliki
bangunan budaya sekolah yang kuat karena karakter dan kesadaran individual
para pemangku kepentingan sekolahnya bergerak berdasarkan pemahaman dan
kesadaran yang utuh terhadap sifat Nabi tersebut. Yang sering terjadi sifat
Nabi itu kebanyakan dihafal sebagai panduan moral semata, tanpa ada keinginan
untuk menerjemahkannya dalam praktik keseharian di sekolah.
Siklus sifat Nabi
Agar menjadi siklus implementasi pedagogis di
sekolah, memahami dan mempraktikkan sifat Nabi dalam keseharian di sekolah
sebenarnya merupakan kebutuhan individu seseorang tentang makna belajar.
Karena itu, penting bagi setiap guru dan siswa untuk mulai menyadari
pentingnya daya kritis dan kecerdasan sebagai dasar untuk terus belajar.
Sebagaimana fathonah yang berarti
cerdas, ialah tugas seorang guru terus membaca agar kecerdasan terus
bertumbuh. Dari sisi kehidupan Nabi, tanda kecerdasan beliau terlihat dari
cara-cara Nabi menyelesaikan masalah, melihat kondisi sosial masyarakat
secara tajam, bahkan dengan proses yang tak pernah menyakiti orang kecuali
orang-orang yang memang membencinya.
Jelas terlihat meskipun Nabi amat populer
dengan julukan ummiy, beliau ialah
seorang pemikir yang mempergunakan kelebihan akal pikiran atau otak yang
diberikan Tuhan untuk menganalisis setiap persoalan yang ada. Jika di relung
pikir setiap guru tumbuh kesadaran untuk terus belajar dan membaca dalam
rangka mempertahankan kecerdasan otaknya, daya kritis dalam melaksanakan
proses belajar-mengajar pasti akan penuh dengan imajinasi dan kreativitas. Penanda
kecerdasan dalam aspek pedagogis ialah munculnya imajinasi dan kreativitas
dalam mengelola proses belajar-mengajar.
Setelah fathonah
dilaksanakan secara jelas dan terusmenerus, tugas seorang guru dalam konteks
siklus sifat Nabi selanjutnya ialah memberikan contoh dan keteladanan sikap
dalam praktik mengajar sehari-hari. Penanda amanah, sifat Nabi yang kedua,
ialah bertanggung jawab secara konkret dalam memberikan contoh perilaku yang
baik kepada siswa. Amanah tak hanya berarti bertanggung jawab terhadap apa
yang menjadi tugas utama seorang guru dalam mengajar, lebih jauh daripada itu
ialah bagaimana bertanggung jawab dalam memberikan keteladanan. Tanpa
keteladanan, mustahil bagi seorang guru bisa dibilang sebagai orang yang
amanah. Penting untuk diingat, untuk menjadi amanah, seseorang dan apalagi
seorang guru perlu memiliki kecerdasan (fathonah)
terlebih dahulu.
Jika praktik fathonah dan amanah secara implementatif telah dijalankan dalam
skema pedagogis pengajaran sehari-hari, siklus sifat Nabi selanjutnya ialah
tabligh atau menyampaikan. Dalam bahasa sosiologis, tabligh sebenarnya
merupakan kemampuan atau kompetensi sosial seorang guru dalam menjalin
hubungan dan berinteraksi dengan semua siswa, sejawat guru, kepala sekolah
juga dengan masyarakat atau orangtua siswa. Network atau silaturahim atau kemampuan berkomunikasi dengan baik
dan santun mungkin relevan untuk disematkan terhadap para guru yang ingin
memperoleh tanda sebagai ahli waris sifat Nabi yang ketiga ini. Bisa
dibayangkan jika seorang guru tak memiliki kemampuan bersilaturahim dan
berkomunikasi dengan baik, pasti secara otomatis dia tidak cerdas (fathonah) dan tak suka menjadi teladan
(amanah) bagi orang lain.
Bisa dikatakan jika seseorang ingin mewarisi
sifat-sifat Nabi pada dirinya, secara individual yang perlu ditanamkan dan
dilakukan ialah menunjukkan kecerdasan dalam belajar, mampu memberikan
teladan secara konsisten, serta memiliki kemampuan menjalin silaturahim
kepada setiap orang. Mungkin terbaca hal itu sangatlah sederhana, tetapi
tanpa disiplin individual yang terus-menerus untuk mempraktikkannya, akan
mustahil bagi seorang guru memperoleh kategori bisa dan dapat dipercaya (siddiq) oleh siswa, rekan sesama guru,
kepala sekolah, atau bahkan masyarakat/orangtua siswa.
Sebagai sifat nabi keempat, siddiq jelas merupakan label yang
diberikan orang lain terhadap seseorang yang telah membuktikan kecerdasannya
untuk terus mau belajar, mampu memberikan teladan kebaikan, serta memiliki
keterampilan berkomunikasi yang dibutuhkan. Sifat siddiq merupakan hasil atau output dari usaha perseorangan dalam
membuktikan diri menjadi orang yang bisa dipercaya. Seorang guru bisa
dikatakan berhasil dan dipercaya siswa atau masyarakat jika memiliki usaha
sendiri dalam membuktikan diri untuk terus belajar, memberi teladan, dan
bersilaturahim dengan baik.
Jika hidup adalah sebuah siklus
hidup-mati-dan-hidupkembali sebagaimana semua agama meyakini soal hari
kebangkitan (resurrection),
seharusnya para guru muslim tak sulit untuk belajar dari siklus sifat Nabi
Muhammad SAW yang penuh teladan sehingga kerumitan persoalan belajar-mengajar
selalu bisa diatasi dan memperoleh jalan keluar yang sebenarnya. Pentingnya
mempelajari siklus sifat Nabi secara benar ialah sebuah tuntutan keharusan
bagi setiap guru muslim. Jika tidak, hal itu artinya sama dengan bentuk
kebohongan, sementara hampir semua umat Islam mengaku mencintai Nabi
Muhammad, tetapi keteladanan Muhammad dalam siklus sifat hidupnya tidak
pernah dipahami dan dipraktikkan secara benar. Dalam bahasa agama kebohongan
semacam ini bisa disebut sebagai kelalaian (wayl), sebuah perilaku rata-rata masyarakat jahiliah yang senang
berbohong dan meremehkan persoalan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar