Belajar
Pendidikan pada Gus Dur
Junaidi Abdul Munif ; Direktur el-Wahid Center, Semarang
|
MEDIA
INDONESIA, 04 Januari 2016
PADA 30 Desember 2015, genap enam tahun KH
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) meninggalkan kita untuk menghadap Tuhan. Banyak
warisan pemikiran Gus Dur yang masih menjadi topik diskusi hingga saat ini,
dan tampaknya akan selalu relevan sampai masa depan. Semua itu tidak lepas
dari kecemerlangannya dalam melihat berbagai masalah kehidupan untuk
menemukan solusinya.
Banyak dari kita mengenal Gus Dur sebagai
kiai, politikus, pejuang demokrasi, tokoh toleransi, seorang humanis, dan
atribut lain. Namun, penulis yakin, pemikirannya yang melintasi berbagai
bidang itu tidak dapat dilepaskan dari proses pendidikan yang dijalani Gus Dur.
Menurut sahabatnya, KH Musthofa Bisri (Gus Mus) dalam salah satu ceramah, Gus
Dur belajar banyak ilmu dari khazanah Islam klasik sampai kontemporer. Kalau
melihat Gus Dur hanya dengan satu kacamata ilmu, kita tidak akan bisa
memahami Gus Dur dan langkah-langkahnya.
Harus diakui, pendidikan menjadi tema yang
kurang populer dilekatkan pada pemikiran Gus Dur. Dalam bukunya yang
terkenal, Islamku Islam Anda Islam Kita (2006), misalnya, tema tentang
pendidikan jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan tema yang lain. Gus
Dur menganggap pendidikan Islam harus memiliki banyak bentuk, tidak bisa
diseragamkan. Pendidikan bertujuan agar siswa menguasai aspek afektif dan
psikomotorik, dua hal yang memiliki andil keberhasilan seseorang di zaman
ini.
Matra pemikiran pendidikan Gus Dur tidak bisa
dilepaskan dari Islam dan pesantren. Penyebutan pesantren sebagai subkultur
di Indonesia telah mengindikasikan besarnya peran pesantren untuk pembangunan
bangsa. Gus Dur besar dan dibesarkan pesantren, otomatis penguasaan ilmu
keislamannya sangat mumpuni. Selain itu, Gus Dur juga kuliah di Mesir,
Baghdad, pembaca yang kuat dan pergaulannya yang luas dengan manusia
lintas-entitas, merupakan ruang pendidikan yang memperkaya wawasannya.
Spirit pendidikan menurut Gus Dur adalah neomodernisme,
pembebasan, dan multikulturalisme Faisol (2012). Pemikiran yang juga banyak
dicetuskan oleh orang tokoh lain. Yang membedakan ialah Gus Dur selalu punya
landasan teologis yang digalinya dari Alquran, hadis, dan teks-teks karya
pemikir Islam. Seperti membangun rumah, Gus Dur sudah punya fondasi yang
sangat kukuh dan tidak ber pengaruh ketika rumah itu di bongkar atau
direnovasi. Artinya, arsitektur ‘rumah pemikiran’ Gus Dur boleh saja berganti
sesuai tuntutan zaman, tapi tidak pernah meninggalkan kekukuhan fondasinya.
Dua perspektif
Melihat Gus Dur dalam perspektif pendidikan bisa
dilihat dari dua cara. Pertama, melihat sosok Gus Dur sebagai seseorang yang
haus akan ilmu. Pengembaraan ke beberapa pesantren dilakukannya demi
menguasai ilmu-ilmu keislaman. Pendidikan Islam dengan demikian sudah kukuh
bagi Gus Dur, dan ini sangat bermanfaat ketika dia berjumpa dengan pemikiran
lain. Yang terjadi kemudian ialah Gus Dur melakukan dialog disiplin keilmuan
yang berbeda-beda itu sehingga menjadi pemikiran ‘khas Gus Dur’.
Kedua, salah satu langkah penting Gus Dur
ketika menjabat sebagai presiden dari 19992001 ialah meliburkan sekolah
selama bulan puasa. Yang dipahami dari tujuan libur ini adalah agar siswa yang
beragama Islam bisa lebih khusyuk menjalankan ibadah puasa dan ibadah-ibadah
lainnya. Sekolah-sekolah merespons kebijakan tersebut dengan menggelar
pesantren kilat sebagai kegiatan Ramadan di sekolah.
Jika kita mencermati, ada misi futuristik dari
kebijakan yang terdengar tidak lazim itu, yaitu kesadaran dan pengetahuan
agama Islam anak didik kita masih sangat kurang. Sekolah nonagama belum mampu
mengakomodasi nilai-nilai Islam yang sangat luas itu. Sementara, Gus Dur
seperti memprediksi era milenium akan ditandai dengan kebangkitan agama dalam
aspek kehidupan manusia, terutama Indonesia yang mayoritas penduduknya ialah
muslim. Pelajar muslim di masa pemerintahan Gus Dur merupakan generasi yang
akan mengalami kebangkitan agama tersebut. Inilah yang terjadi sekarang
ketika Islam menjadi legitimasi tindakan umatnya, mulai yang bernuansa
kekerasan sampai menebarkan kedamaian.
Maka, liburan selama Ramadan sepatutnya
digunakan untuk memperdalam wawasan keislaman dengan benar, dan tempat paling
tepat untuk itu ialah pesantren. Pesantren tidak hanya menampung santri yang
belajar secara penuh selama menempuh jenjang pendidikan, baik di pesantren
maupun di luar pesantren (setingkat SD sampai perguruan tinggi). Di pesantren
ada jenis santri posonan, yaitu santri yang belajar di pesantren hanya pada
Ramadan. Biasanya sampai 20 Ramadhan. Bagi santri tulen, momen bulan puasa
sering dimanfaatkan untuk mengaji kilatan (belajar cepat dengan target kitab
bisa khatam dalam waktu 20 hari) di pesantren lain.
Kita melihat saat ini banyak generasi muda
yang belajar agama secara instan dari internet. Akibatnya ialah maraknya
paham Islam tekstualis yang begitu mudah menyalah-nyalahkan kelompok lain,
bahkan mengharamkan Pancasila dan nasionalisme. Mungkin jika waktu itu
sekolah merespons kebijakan Gus Dur dengan model pendidikan yang terintegrasi
ke pesantren, hari ini tidak banyak pemikiran Islam yang menyimpang dari
mainstream kebangsaan. Ada empat pelajaran yang dapat kita petik dari Gus Dur
terkait dengan pendidikan.
Pertama, pesantren memang bukan satu-satunya
lembaga pendidikan Islam. Namun, pesantren terbukti menjadi jembatan
penyambung rentang pemikiran keislaman sejak zaman Rasulullah sampai
sekarang. Selain soal keilmuan, di pesantren juga kuyup dengan etika antara
murid dan guru. Sesuatu yang juga layak diterapkan dalam model pendidikan
nonpesantren.
Kedua, di tengah arus formalisme pendidikan
dengan ijazah sebagai ‘tiket’ dunia kerja, tampaknya perlu menengok pemikiran
Gus Dur yang lebih mementingkan substansi daripada bungkus (ijazah formal).
Esensi pendidikan yang dimiliki seseorang senantiasa membuatnya selalu
kreatif dan dinamis. Dia selalu menciptakan ruangruang sendiri untuk
eksistensi dan berkiprah di masyarakat, menjadi subjek yang aktif bukan objek
yang pasif.
Ketiga, dalam konteks Indonesia yang plural,
tempat beragam ideologi keislaman tumbuh subur, pengetahuan tentang Islam
sebagai agama, etika, dan nilai sebagai faktor pendorong kemajuan sangat
penting. Hasilnya bukan untuk umat Islam sendiri, tapi untuk seluruh
masyarakat Indonesia dan dunia. Hal ini sesuai dengan misi Islam sebagai rahmatan lil'alamin (rahmat untuk
seluruh alam).
Keempat, pentingnya menjadi manusia pembelajar
yang menyantap berbagai bacaan dan diskusi lintas pemikiran.Ini dilakukan
demi memperkaya pengetahuan agar kita tidak berpikir linier. Perbedaan cara
pandang ialah modal berharga untuk melakukan titik temu. Itulah yang
dilakukan Gus Dur selama hidupnya, termasuk upayanya menemukan titik temu
agamaagama dan ideologi yang ada di Indonesia.
Semua agama tentu boleh menyelenggarakan pendidikan
yang bertujuan demi Indonesia yang lebih baik. Gus Dur mengembangkan
pemikirannya dari Islam dan pesantren, sebagaimana Romo Mangun
mengembangkannya dari Katolik dan gereja. Dari mereka kita menjadi yakin
bahwa agama diciptakan Tuhan tidak untuk membuat manusia saling berperang dan
menegasi kemanusiaannya sendiri. Agama, melalui pendidikan, adalah modal
manusia menjadi baik dan bermanfaat, sebelum kembali kepada Penciptanya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar