Minggu, 23 November 2014

Demi Melindungi Umat Beragama

                             Demi Melindungi Umat Beragama

Husni Mubarok  ;   Peneliti Pusat Studi Agama dan Demokrasi
(PUSAD) Yayasan Paramadina
KORAN TEMPO,  21 November 2014

                                                                                                                       


Menteri agama Lukman Hakim Saifuddin tengah menyusun draf Rancangan Undang-Undang Perlindungan Umat Beragama. Rancangan ini, menurut dia, merupakan hasil konsultasi dengan berbagai elemen masyarakat. Ia berharap regulasi baru ini menjadi landasan pemerintah dalam melindungi warga, baik mayoritas maupun minoritas, saat menjalankan ajaran agama dan keyakinannya.

Niat di balik pembuat UU baru ini baik. Namun jika tidak berhati-hati, UU baru ini bisa berdampak buruk, malah cenderung sia-sia. Paling tidak, ada tiga alasan untuk pendapat ini.

Pertama, melindungi umat beragama bisa berarti dua pengertian. Pengertian pertama, melindungi umat beragama dari serangan fisik satu pihak kepada pihak lain. Perlindungan dalam pengertian ini adalah harapan kita bersama, sebagaimana termaktub dalam konstitusi. Misalnya, pemerintah melindungi warga penganut Ahmadiyah untuk mengekpresikan tafsir keagamaannya di muka publik dari ancaman warga lain.

Namun perlindungan juga bisa bermakna lain: melindungi umat beragama dari ancaman nonfisik. Perlindungan dalam makna ini rentan disalahgunakan menjadi pengebirian kemerdekaan berpendapat dan berekspresi. Atas nama perlindungan umat beragama, UU ini berpotensi mengkriminalisasi penganut Syiah yang dianggap menyerang keyakinan Sunni secara nonfisik. Perbedaan dianggap serangan.

Kedua, UU baru tersebut bisa jadi hanya mengulang substansi UU yang sudah ada. Bukankah negara telah memberi jaminan kepada umat beragama, yang termaktub dalam Pasal 29 ayat 1 dan 2 UUD 1945? Bukankah kita juga mempunyai UU mengenai hak asasi manusia, sebagai turunan ratifikasi kovenan internasional mengenai hak sipil politik? Dua regulasi ini pada dasarnya memadai sebagai penopang pemerintah dalam melindungi umat beragama.

Ketiga, akar masalah diskriminasi dan kekerasan atas nama agama di Indonesia bukan pada regulasi, melainkan implementasi. Penelitian Pusat Studi Agama dan Demokrasi (Pusad) Yayasan Paramadina (2013) menunjukkan bahwa penanganan konflik keagamaan di Indonesia bervariasi. Pemerintah gagal menangani insiden kekerasan keagamaan di satu tempat, namun berhasil menangkal kekerasan di tempat lain. Kegagalan dan keberhasilan tersebut amat ditentukan oleh seberapa sigap aparat pemerintah merespons potensi konflik keagamaan di masyarakat.

Insiden kekerasan di Sampang pada akhir 2011, menurut penelitian ini, terjadi karena pemerintah kurang sigap menghadapi ketegangan yang sudah muncul sejak 2006. Bahkan, insiden kekerasan yang lebih besar terjadi kembali delapan bulan setelahnya. Sementara itu, pemerintah berhasil mencegah eskalasi dalam kasus serupa di Bangil, Pasuruan. Setiap kali muncul ketegangan, pemerintah merespons dengan cepat dan sigap. Kekerasan berujung maut dalam insiden ini terhindarkan.

Penelitian tersebut juga memperlihatkan bahwa koordinasi antar-lembaga negara juga menyumbang gagal-berhasilnya penanganan konflik keagamaan. Polisi berwenang mengambil langkah di hilir, tidak di hulu. Sebaliknya, lembaga seperti Kementerian Agama, Kementerian Dalam Negeri, dan pemerintah daerah berwenang di hulu, tidak di hilir. Karena itu, membangun sinergi antar-lembaga negara di hulu sekaligus hilir merupakan tantangan paling mendesak saat ini.

Selain itu, pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama, dapat berfokus pada penguatan lembaga semacam Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Lembaga ini strategis karena wakil masyarakat sipil dan pemerintah bisa duduk bersama untuk mendiskusikan penanganan ketegangan di masyarakat bernuansa keagamaan secara nir-kekerasan.

Pasal 1, Peraturan Bersama Menteri Tahun 2006 menyatakan bahwa FKUB bertugas mewujudkan "...keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerja sama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara…" . Berkaca pada tujuan tersebut, anggota FKUB diharapkan menjadi apa yang oleh Mahatma Gandhi disebut sebagai shanti sena, atau pasukan perdamaian.

Untuk itu, pemerintah perlu membekali anggota FKUB keterampilan mediasi konflik. Selain sengketa pendirian tempat ibadah, FKUB dihadapkan pada ketegangan berbasis keagamaan. Kemahiran dalam mediasi konflik sebelum mobilisasi massa sangat membantu FKUB berperan lebih banyak untuk mengantisipasi kekerasan.

Pemerintah saja tidak cukup. Pemerintah butuh dukungan masyarakat sipil. Potensi dukungan tersebut terbuka lebar. Lingkaran Survey Indonesia melaporkan (2012) bahwa 80 persen penduduk Indonesia tidak membenarkan kekerasan atas nama agama. Bersama masyarakat sipil, pemerintah bisa menggalang dukungan mayoritas penduduk Indonesia, untuk penanganan kekerasan keagamaan tanpa kekerasan.

Koordinasi antar-lembaga negara, peningkatan keterampilan sumber daya manusia, dan dukungan masyarakat lebih mendesak ketimbang pembuatan rancangan UU yang berpotensi melanggengkan diskriminasi dan kekerasan keagamaan. Tidak ada salahnya bila Menteri Agama merenungkan kembali rencana itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar