Dampak Politik dari
Kemajuan Teknologi Energi
Dinna Wisnu ; Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang
Diplomasi,
Universitas Paramadina
|
KORAN
SINDO, 19 November 2014
Senin
(117/11) malam Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengumumkan kebijakan
pengurangan subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang mengakibatkan terjadinya
kenaikan harga premium dan solar.
Banyak
pendapat yang mendukung, tetapi banyak juga yang menolak kenaikan ini.
Alasannya, kebijakan tersebut dianggap mengganggu kenikmatan energi murah
yang dikonsumsi selama ini. Kita pernah dengar bahwa pemerintahan Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) berkomitmen melakukan konversi energi dari bahan
bakar fosil menjadi gas untuk konsumsi, baik untuk industri maupun rumah
tangga.
Pemerintah
juga merencanakan pembangunan pembangkit listrik panas bumi, pemanfaatan batu
bara, juga komitmen untuk mendorong bahan bakar biofuel dari produksi minyak
kelapa sawit di dalam negeri. Tampaknya rencana-rencana tersebut baik di atas
kertas, tetapi belum terlihat hasilnya.
Buktinya
adalah ketergantungan kita yang masih sangat besar terhadap sumber energi
dari bahan bakar fosil minyak bumi ini. Kenaikan harga BBM ini juga kembali
menempatkan kita pada diskusi tentang sejauh mana persiapan ketahanan energi
Indonesia.
Saat ini
posisi kita adalah sebagai negara pengimpor minyak urutan ke-17 terbesar di
dunia (Indeks Mundi) dengan rata-rata impor 400.000 barel per hari atau
senilai dengan Rp1,2 triliun rupiah per hari. Inilah cara kita untuk memenuhi
kebutuhan total konsumsi 1,4 juta barel per hari.
Nasib Konsumsi Energi Tinggi
Yang
perlu diwaspadai Indonesia, sejalan dengan target meningkatkan pertumbuhan
ekonomi yang tinggi, kita pun harus siap menambah biaya konsumsi energi.
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi selalu ditandai dengan tumbuhnya pusat-pusat
bisnis, meningkatnya kegiatan ekonomi, tumbuhnya lalu lintas logistik atau
transportasi, tumbuhnya kelas menengah, dan terbukanya lapangan pekerjaan.
Karenanya
gaya hidup yang konsumtif akan terus mendorong peningkatan konsumsi energi,
khususnya BBM. Jika subsidi tidak dikelola dengan baik dan menjadi terlalu
besar menyedot kapasitas APBN, kegiatan perekonomian makro akan terkendala.
Efeknya pasti akan terasa juga nanti di tingkat mikro sampai ke
pengusaha-pengusaha kecil.
Nasib
Indonesia sudah berubah sejak berhenti menjadi eksportir minyak, yakni ketika
impor minyak kita lebih besar daripada ekspor. Kita pun keluar dari OPEC
karena tidak dapat memenuhi komitmen memproduksi minyak 1 juta barel per
hari.
Apalagi
apabila kita melihat bahwa negara-negara OPEC yang membentuk sepertiga pasar
minyak dunia diisi negaranegara yang lebih dari 50% pendapatannya berasal
dari penjualan minyak seperti Arab Saudi, Iran, Irak, UEA, Venezuela hingga
Ekuador.
Selain
negara-negara yang tergabung di OPEC, terdapat negara lain seperti Amerika Serikat
(AS), Rusia, dan negara-negara Eropa yang membentuk harga pasar minyak dunia.
Rezim produsen minyak dunia ini sedang berupaya semaksimal mungkin menaikkan
harga demi pertumbuhan ekonomi mereka masing-masing.
Negara-negara
tersebut sangat berkepentingan dengan tingginya harga minyak. Penurunan
sedikit saja harga minyak akan mengguncang politik dalam negeri mereka. Para
analis energi mengatakan bahwa ongkos produksi untuk mengangkut 1 barel
minyak adalah USD70-80 sehingga diharapkan penurunan harga tidak lebih rendah
dari harga tersebut.
Artinya
jangan harap harga minyak akan bergerak lebih rendah daripada angka ongkos
produksi. Dorongan untuk meraup keuntungan dari tingginya harga minyak juga
datang dari negara-negara Timur Tengah seperti Libya atau Irak yang memang
sangat membutuhkan pendapatan dari minyak untuk melakukan rehabilitasi,
pembangunan, dan membiayai perang terhadap terorisme, khususnya ISIS.
Ternyata,
hingga kini, tidak ada satu negara pun yang tampaknya bersedia mengurangi
produksi karena pendapatan mereka tergantung dari volume minyak yang
diproduksi agar pendapatan mereka stabil. Beruntung bahwa aksi meraih
keuntungan dari negaranegara penghasil minyak tersebut telah menciptakan
oversupply sehingga harga minyak bumi turun.
Saat ini
kita sedang memetik keuntungan dari situasi ini. Namun kita harus waspada
bahwa keuntungan ini tidak langgeng karena Indonesia belum memiliki arah yang
jelas untuk mengamankan pasokan energi di masa depan. Penurunan harga saat
ini dapat disebut sebagai proses mencari keseimbangan kekuatan antara
negara-negara produsen minyak konvensional yang diwakili secara kolektif oleh
negara-negara OPEC dengan produsen minyak nonkonvensional yang diwakili AS
dan Kanada.
AS telah
berhasil mengembangkan teknologi hydraulic
fracture yang mampu menghasilkan minyak dan gas dari bongkahan batu
sedimen shale sehingga disebut shale oil dan shale gas. Secara ringkas, minyak tersebut dihasilkan dengan cara
memanaskan batuan tersebut pada suhu tertentu di dalam tanah hingga berbentuk
cair dan dapat diambil ke permukaan tanah.
Ada juga
yang keluar dalam bentuk gas dan setelah periode waktu tertentu berubah
menjadi cairan. Teknologi terbaru itu telah membuat AS kembali menjadi negara
produsen minyak terbesar. Economist mengatakan
bahwa sejak 2008 produksi shale oil
ini meningkat dari 600.000 barel menjadi 3,5 juta barel.
Bloomberg
mengatakan bahwa sejumlah perusahaan bahkan tetap dapat mengambil keuntungan
walaupun menjual minyak seharga USD 50 per barel. Harga tersebut sudah pasti
akan mengancam negara produsen minyak konvensional seperti OPEC yang sudah
pasti akan merugi kalau harga minyak turun di bawah USD 70.
Kita
masih akan menunggu siapa yang keluar sebagai pemenang dalam kompetisi harga
minyak dunia ini karena dampaknya akan besar pada perekonomian dunia. Apabila
teknologi tersebut semakin lama semakin baik, canggih, dan rendah ongkos
produksinya, bahkan jauh lebih murah dari ongkos produksi gas alam, angin,
panas bumi, atau batu bara, kita perlu menilai kembali peta ketahanan energi
kita.
Tugas Pemerintah & Ilmuwan
Potensi shale oil ini tidak hanya ada di
wilayah AS saja, tetapi juga ada di hampir semua negara besar, termasuk
Indonesia. Pertamina mengatakan akan mulai mengeksplorasi shale oil dan gas
yang terletak antara Sumatera Utara dan Aceh dengan potensi yang besar.
Sejumlah
proposal dari perusahaan asing juga telah menawarkan untuk melakukan
eksplorasi di Riau dan Kalimantan Tengah. Beberapa
ahli mengatakan bahkan Indonesia memiliki cadangan yang sama besarnya dengan
AS, tetapi terkendala karena tidak adanya teknologi yang dapat digunakan
untuk mengeksplorasi bahan bakar tersebut.
Potensi
itu tentu akan menguntungkan seluruh rakyat Indonesia apabila tata kelola
migas kita juga menjadi lebih baik. Harapan besar terletak pada Komite Reformasi Tata Kelola Migas
yang dipimpin Faisal Basri. Apabila kita memiliki tata kelola migas yang
bebas dari korupsi, lebih efisien, dan efektif, tentu kita dapat kembali
menikmati cadangan kekayaan alam tersebut.
Tak bisa ditunda lagi, segala
elemen pemikir di negeri ini harus mengembangkan penguasaan teknologi dan
pengetahuan tentang ragam potensi energi yang paling terjangkau untuk
Indonesia. Bila kita kurang cekatan dalam mencari alternatif energi, pertumbuhan
ekonomi kita pun akan terganggu.
Ilmuwan
kita perlu juga mengeksplorasi kekayaan bawah laut Indonesia, memetakannya,
dan merencanakan proses alih teknologi yang cepat dan tepat. Proyek-proyek
Pertamina dan kerja sama bilateral untuk mengembangkan bahan bakar alternatif
jangan lupa menyertakan skenario alih teknologi dan selalu melibatkan para
pemikir dari Indonesia.
Tanpa
ini, seumur-umur kita akan terus berada dalam kondisi ketergantungan dan
semata hanya bisa menjerit bila harga subsidi bahan bakar dicabut. Kita
tak ingin mengalami hal seperti itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar