Refleksi
Penegakan Hukum Kebakaran Lahan
Daud Silalahi ; Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran
Bandung
|
MEDIA
INDONESIA, 02 Januari 2016
DENGAN
berakhirnya 2015, ada baiknya kita merefleksikan pada peristiwa sepanjang
tahun tersebut. satu di antaranya kebakaran lahan dan hutan yang telah banyak
mengakibatkan permasalahan lingkungan hidup dan sosial kemasyarakatan di
sebagian besar wilayah kita. Peristiwa kebakaran lahan/hutan yang terjadi di
Indonesia sepanjang 2015 juga telah menjadi perhatian dunia sebagaimana
tampak pula dalam COP 21 UNFCC di Paris.
Terhadap
peristiwa tersebut, setidaknya polisi telah menetapkan 247 tersangka
pembakaran yang terdiri atas 230 perseorangan dan 17 korporasi. Sebagian ada
yang telah dilimpahkan ke pengadilan. Di samping itu, masih terdapat sanksi
administrasi, baik berupa pembekuan maupun pencabutan izin usaha, termasuk
gugatan perbuatan melawan hukum atas dasar hak gugat negara.
Upaya yang
dilakukan pemerintah patut diapresiasi dalam menanggulangi permasalahan
kebakaran hutan/lahan, terutama agar tidak terulang kembali. Namun, di
samping upaya yang telah dilakukan, ada baiknya kita menelaah kembali
efektivitas penataan hukum perlindungan dan pengelolaan lingkungan dalam
upaya pelestarian fungsi lingkungan pada peristiwa kebakaran hutan atau
lahan.
Putusan
Kallista Alam dalam peristiwa kebakaran (mungkin) dapat dijadikan acuan bagi
penegakan hukum lingkungan.Namun, jika dikaitkan dengan fungsi pengaturan
hukum lingkungan yang saya dalami lebih dari 30 tahun, rasanya tujuan
pelestarian fungsi lingkungan belum terwujud dalam penyelesaian masalah
Kallista Alam. Hal itu sebagaimana tampak sejak penegakan hukum yang
dilakukan pada 2012 hingga saat ini (lebih dari tiga tahun) yang belum dapat
memulihkan lingkungan hidup. Adanya legalisasi pembukaan lahan dengan cara
membakar untuk luas area kurang dari 2 hektare merupakan catatan tersendiri
yang harus dibenahi.
Permasalahan
lain yang tidak kalah penting ialah penyelesaian konfl ik tenurial yang
terjadi pada konsesi-konsesi yang kerap kali terjadi yang juga belum pernah
diselesaikan secara tuntas. Padahal, telah cukup banyak kajian yang
menunjukkan kausalitas antara peristiwa kebakaran lahan/hutan dan
permasalahan konflik tenurial.
Lebih lanjut
yang perlu disadari, di samping hukum material yang masih memerlukan
pembenahan, proses penegakan hukum sarat dengan prosedural formal. Persoalan
formalitas yang harus dipenuhi atas nama kepastian hukum tidak jarang membuat
proses penegakan hukum melalui pengadilan menemui jalan buntu. Tidak jarang
mekanisme pengambilan sampel tidak sesuai dengan prosedur pengambilan sampel.
Selain itu masih ditambah lagi pengujian yang dilakukan di laboratorium yang
belum tesertifi kasi sesuai dengan panduan teknis sebagai protokolnya.
Hal itu jelas
akan memberikan akibat hukum, yaitu ditolaknya alat bukti dalam perkara
lingkungan tersebut wajib diabaikan karena tidak memenuhi syarat formal. Di
samping itu, peran pembuktian ilmiah dalam menujukkan kausalitas antara dalil
dan akibat hukum yang ditimbulkan dalam suatu perkara lingkugnan sangat
bergantung pada pembuktian ilmiah, yang sangat bergantung pada pembuktian
ilmiah yang valid.
Tantangan itu
jelas menunjukkan betapa penegakan hukum melalui mekanisme peradilan menjadi
lambat, tidak mudah, dan belum memberikan jaminan pelestarian fungsi
lingkungan.
Idealnya kasus
Kallista Alam diikuti dengan pembenahan sistem penegakan hukum lingkungan
yang menekankan pada mekanisme pemantuan ketaatan yang mengedapankan upaya
preventif dalam rangka menjamin fungsi pelestarian lingkungan hidup. Untuk
itu, pola kemitraan antara pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat harus
dikedepankan dalam mengembangkan sistem perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup untuk mencegah berulangnya peristiwa kebakaran hutan/lahan
yang merugikan bangsa Indonesia.
Penyelesaian
penegakan hukum pada peristiwa kebakaran hutan dan lahan yang hanya
mengedepankan pendekatan sanksi hukum tidak akan berjalan secara efektif. Idealnya
upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilakukan dengan pen
dekatan yang komprehensif dan sistematis, termasuk sosialisasi mengenai
peraturan itu sendiri, sehingga penyelesaiannya bersifat paripurna.
Dalam masa
transisi pembenahan sistem penegakan hukum sebagai upaya pemulihan lingkungah
hidup akibat kebakaran hutan, pendekatan sanksi administrasi seharusnya dapat
menjadi solusi yang lebih terukur dan efektif. Pertama, pemerintah memiliki
kewenangan untuk memaksakan tindakan hukum tertentu kepada pelaku usaha dalam
rangka upaya pemulihan lingkungan hidup melalui mekanisme sanksi
administrasi.
Kedua,
pemerintah selaku pihak yang memberikan izin memiliki fungsi pengawasan dan
pembinaan sebagai bagian dari mekanisme pemantauan ketaatan sehingga sanksi
administrasi sesungguhnya bagian dari pelaksanaan fungsi lain dari pemerintah
selain penegakan hukum.
Ketiga, sanksi
administrasi dapat dilakukan seketika tanpa perlu menunggu keputusan hukum
yang berkekuatan hukum tetap. Keempat, melalui sanksi administrasi, dapat
dijelaskan secara lebih teknis dan ilmiah terkait persyaratan-persyaratan
dalam menjalankan kegiatan usaha sehingga penyelesaiannya terukur dan
memberikan kepastian hukum. Kelima, hukum positif kita telah mengatur sanksi
pidana yang jelas jika pelaku usaha tidak melaksanakan paksaan pemerintah
lewat sanksi administrasi ini sehingga itu memberikan kepastian dan daya
paksa yang jelas.
Hal yang tidak kalah penting
ialah sebagaimana saya jelaskan pada poin kedua, yaitu sanksi administrasi
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari fungsi pemerintah dalam
pengawasan dan pembinaan terhadap pelaku usaha. Hukum wajib ditegakkan, tapi
ada tanggung jawab bersama dalam mewujudkannya. Kewajiban kita pula mengawal
serta saling membantu agar penyelesaian hukum yang dilakukan bersifat
komprehensif dan sinergis. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar