Sabtu, 02 Januari 2016

Nairobi, Quo Vadis WTO?

Nairobi, Quo Vadis WTO?

  Iman Pambagyo  ;  Mantan Dubes RI untuk WTO
                                             MEDIA INDONESIA, 02 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

PERHELATAN dua tahunan para Menteri anggota WTO telah berlangsung di ibu kota Kenya, Nairobi, pada 15– 19 Desember 2015. Sebetulnya Konferensi Tingkat Menteri (KTM) WTO itu dijadwalkan berakhir pada 18 Desember. Namun, seperti juga terjadi di Bali pada 2013, KTM di Nairobi diperpanjang sehari untuk dapat menyelesaikan perbedaan pendapat di antara anggota organisasi perdagangan dunia itu. Apakah hasilnya memuaskan bagi 162 negara anggotanya? Jawabannya tentu bergantung pada sudut pandang tiap-tiap negara.

Seolah mengulang yang terjadi di Bali pada Desember 2013, KTM di Nairobi menelurkan sebuah paket kesepakatan. Namun, jika dibandingkan dengan Paket Bali, kesepakatan Nairobi dapat digolongkan sebagai ‘paket mini’. Ia terdiri atas disiplin dalam persaingan ekspor produk pertanian, kesepakatan untuk melanjutkan pembahasan proposal G33 mengenai special safeguard mechanism dan public stockholding for food security purposes, perlakuan khusus bagi negara kurang berkembang (dalam bentuk keringanan penggunaan Sertifikat Asal Barang serta akses pasar jasa ke negara maju), disiplin negara maju di sektor kapas, program kerja regular di bidang ‘ekonomi kecil’ juga e-commerce, serta kesepakatan untuk menunda ketentuan hak kekayaan intelektual untuk obat-obatan tertentu.

Mungkin hasil paling signifikan dari Paket Nairobi ialah kesepakatan di bidang persaingan ekspor produk pertanian. Sementara itu, kesepakatan lainnya lebih bersifat best endeavor yang tentunya tidak mengikat secara hukum dan masih harus dirundingkan di Jenewa. Bahkan, untuk kesepakatan persaingan ekspor,yaitu semua negara anggota diharuskan menghapus secara bertahap dukungan fi nansial langsung atau tidak langsung kepada ekspor produk pertaniannya, masih perlu dipelajari apakah implementasinya memerlukan sebuah protokol guna mengubah perjanjian yang sudah ada di bidang pertanian.

Singkatnya, Paket Nairobi belum tentu dapat diimplementasikan segera tanpa kejelasan proses hukum selanjutnya. Kurang tepat kiranya bila ada yang menyimpulkan, misalnya, Indonesia dapat menaikkan tarif produk pertanian sebagai langkah pengamanan terjadinya lonjakan impor mengingat kesepakatan Nairobi terkait usulan special safeguard mechanism baru sebatas untuk melanjutkan perundingan.

Nasib agenda Doha?

Hal-hal itu mengundang pertanyaan yang sangat mendasar bagi negara berkembang seperti Indonesia, yaitu apakah perundingan selanjutnya tetap dilaksanakan dalam konteks Agenda Pembangunan Doha? Baik untuk diingat bahwa Agenda Doha yang diluncurkan pada 2001 bertujuan memperdalam komitmen akses pasar para anggota.

Namun, hal itu juga bertujuan mengatasi ketimpangan dari perjanjian-perjanjian yang ada agar negara berkembang mendapatkan tambahan ‘ruang kebijakan’ (policy space) untuk mengatasi tantangan pembangunan di dalam negeri. Tujuannya tentu bukan meningkatkan proteksi karena—bila disepakati—pemberian tambahan ‘ruang kebijakan’ itu akan diimbangi dengan tambahan komitmen akses pasar yang mengikuti prinsip perlakuan khusus dan berbeda bagi negara berkembang.

Sayangnya, kesepakatan Nairobi di bidang persaingan ekspor kemungkinan melanggar prinsip less than full reciprocity yang juga dijunjung dalam Agenda Doha, karena negara berkembang hanya mendapatkan fleksibilitas waktu pemenuhan komitmen. Padahal, tingkat komitmen yang diminta ialah sama, yaitu penghapusan seluruh dukungan ekspor produk pertanian. Kalau begitu, bagaimana dengan kelanjutan Agenda Pembangunan Doha itu sendiri?

Paragraf 30 sampai dengan 34 Deklarasi Nairobi mencerminkan perbedaan tajam antara negara berkembang dan negara maju. Negara berkembang ingin melanjutkan hingga tuntas Agenda Pembangunan Doha untuk mengatasi ketimpangan yang ada. Ketimpangan itu antara lain berupa subsidi pertanian yang sangat besar di negara maju, sementara subsidi di negara berkembang dihambat berbagai ketentuan dan tarif tinggi di negara maju untuk produk olahan pertanian, dan produk jadi manufaktur sehingga negara berkembang sulit menaiki mata rantai pasokan dunia.

Negara maju, di lain pihak, menginginkan arsitektur perundingan baru yang merefleksikan realitas saat ini, terutama dengan munculnya emerging economies, seperti Tiongkok, India, Brasil, Indonesia, dan Afrika Selatan. Apa pun pertimbangannya, semua negara anggota tampaknya harus segera menyepakati proses dan prinsip yang akan menjadi dasar bagi kelanjutan perundingan sistem perdagangan multilateral di bawah WTO.

Restrukturisasi WTO

Kent Jones, seorang professor bidang ekonomi di Babson College di Massachusetts, Amerika Serikat, dalam bukunya Reconstructing the World Trade Organization for the 21st Century mencatat ada sepuluh masalah yang dihadapi Agenda Pembangunan Doha sehingga perundingan tidak kunjung tuntas. Beberapa dari masalah itu ialah keanggotaan WTO yang telah demikian besar sehingga sulit dicapai konsensus, pendekatan single undertaking yang tidak praktis bila menyangkut posisi red lines negara anggota, dan munculnya emerging economies yang tidak dapat disamakan dengan negara berkembang lainnya.

Selain itu, negara berkembang sudah begitu marah terhadap ketidakseimbangan perjanjian yang ada, yaitu hilangannya dukungan politik karena yang tersisa ialah kebijakan nontarif yang cukup sensitif, prinsip perlakuan khusus dan berbeda bagi negara berkembang cenderung mengacaukan proses tawar-menawar yang sifatnya timbal-balik, dunia ditimpa krisis demi krisis sehingga prioritas negara anggota cenderung berbeda.

Perhatian pelaku usaha beralih ke perjanjian preferensi bilateral dan regional yang lebih nyata manfaatnya, serta kekhawatiran untuk membuat komitmen baru di tengah perubahan ekonomi dunia yang menyebabkan tekanan kuat pada perekonomian domestik. Profesor Jones tidak secara spesifik mengusulkan bentuk restrukturisasi yang perlu ditempuh agar tiga fungsi WTO berjalan lebih efektif, yaitu monitoring pelaksanaan komitmen, penyelesaian sengketa, dan perundingan aturan baru. Ia menyarankan agar pendekatan Agenda Doha diganti dengan sesuatu yang lebih praktis guna mengakomodasi sensitivitas domestik anggota WTO. Namun, justru inilah masalah lain yang juga harus diatasi, yaitu nasib sebagian besar anggota WTO ditentukan segelintir negara anggota lainnya yang begitu terbelenggu oleh sensitivitas domestik.

Keadaan seperti itu terjadi di Nairobi, khususnya pada dua hari terakhir penyelenggaraan konferensi. Hanya lima negara yang terlibat dalam perundingan intensif untuk menyetujui teks yang akan dihasilkan. Memang kesepakatan lima negara itu kemudian disampaikan kepada seluruh anggota untuk mendapat persetujuan. Namun, ketika waktu sudah demikian sempit dan untuk tidak mengecewakan Kenya maupun Afrika, sulit membayangkan akan ada negara anggota yang menyatakan tidak, dan mengakibatkan kegagalan KTM Nairobi.

Seperti dikatakan Dirjen WTO Roberto Azevedo dalam berbagai kesempatan, cukup sulit untuk mencapai konsensus pada semua isu runding bila beberapa negara kunci mempertahankan red lines karena sensitivitas domestiknya. Makin sulit lagi bila isu yang demikian sensitive dibahas secara paripurna dengan melibatkan 162 negara anggota yang terbagi dalam lebih dari 22 kelompok dengan fokus berbeda. Restrukturisasi WTO mungkin diperlukan, tapi prinsip inklusivitas juga harus ditegakkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar