Nairobi,
Quo Vadis WTO?
Iman Pambagyo ; Mantan Dubes RI untuk WTO
|
MEDIA
INDONESIA, 02 Januari 2016
PERHELATAN dua
tahunan para Menteri anggota WTO telah berlangsung di ibu kota Kenya,
Nairobi, pada 15– 19 Desember 2015. Sebetulnya Konferensi Tingkat Menteri
(KTM) WTO itu dijadwalkan berakhir pada 18 Desember. Namun, seperti juga
terjadi di Bali pada 2013, KTM di Nairobi diperpanjang sehari untuk dapat
menyelesaikan perbedaan pendapat di antara anggota organisasi perdagangan
dunia itu. Apakah hasilnya memuaskan bagi 162 negara anggotanya? Jawabannya
tentu bergantung pada sudut pandang tiap-tiap negara.
Seolah
mengulang yang terjadi di Bali pada Desember 2013, KTM di Nairobi menelurkan
sebuah paket kesepakatan. Namun, jika dibandingkan dengan Paket Bali,
kesepakatan Nairobi dapat digolongkan sebagai ‘paket mini’. Ia terdiri atas
disiplin dalam persaingan ekspor produk pertanian, kesepakatan untuk
melanjutkan pembahasan proposal G33 mengenai special safeguard mechanism dan public stockholding for food security purposes, perlakuan khusus
bagi negara kurang berkembang (dalam bentuk keringanan penggunaan Sertifikat
Asal Barang serta akses pasar jasa ke negara maju), disiplin negara maju di
sektor kapas, program kerja regular di bidang ‘ekonomi kecil’ juga
e-commerce, serta kesepakatan untuk menunda ketentuan hak kekayaan
intelektual untuk obat-obatan tertentu.
Mungkin hasil
paling signifikan dari Paket Nairobi ialah kesepakatan di bidang persaingan
ekspor produk pertanian. Sementara itu, kesepakatan lainnya lebih bersifat best endeavor yang tentunya tidak
mengikat secara hukum dan masih harus dirundingkan di Jenewa. Bahkan, untuk
kesepakatan persaingan ekspor,yaitu semua negara anggota diharuskan menghapus
secara bertahap dukungan fi nansial langsung atau tidak langsung kepada ekspor
produk pertaniannya, masih perlu dipelajari apakah implementasinya memerlukan
sebuah protokol guna mengubah perjanjian yang sudah ada di bidang pertanian.
Singkatnya,
Paket Nairobi belum tentu dapat diimplementasikan segera tanpa kejelasan
proses hukum selanjutnya. Kurang tepat kiranya bila ada yang menyimpulkan,
misalnya, Indonesia dapat menaikkan tarif produk pertanian sebagai langkah
pengamanan terjadinya lonjakan impor mengingat kesepakatan Nairobi terkait
usulan special safeguard mechanism
baru sebatas untuk melanjutkan perundingan.
Nasib agenda Doha?
Hal-hal itu
mengundang pertanyaan yang sangat mendasar bagi negara berkembang seperti Indonesia,
yaitu apakah perundingan selanjutnya tetap dilaksanakan dalam konteks Agenda
Pembangunan Doha? Baik untuk diingat bahwa Agenda Doha yang diluncurkan pada
2001 bertujuan memperdalam komitmen akses pasar para anggota.
Namun, hal itu
juga bertujuan mengatasi ketimpangan dari perjanjian-perjanjian yang ada agar
negara berkembang mendapatkan tambahan ‘ruang kebijakan’ (policy space) untuk mengatasi
tantangan pembangunan di dalam negeri. Tujuannya tentu bukan meningkatkan proteksi
karena—bila disepakati—pemberian tambahan ‘ruang kebijakan’ itu akan
diimbangi dengan tambahan komitmen akses pasar yang mengikuti prinsip perlakuan
khusus dan berbeda bagi negara berkembang.
Sayangnya,
kesepakatan Nairobi di bidang persaingan ekspor kemungkinan melanggar prinsip
less than full reciprocity yang
juga dijunjung dalam Agenda Doha, karena negara berkembang hanya mendapatkan
fleksibilitas waktu pemenuhan komitmen. Padahal, tingkat komitmen yang diminta
ialah sama, yaitu penghapusan seluruh dukungan ekspor produk pertanian. Kalau
begitu, bagaimana dengan kelanjutan Agenda Pembangunan Doha itu sendiri?
Paragraf 30
sampai dengan 34 Deklarasi Nairobi mencerminkan perbedaan tajam antara negara
berkembang dan negara maju. Negara berkembang ingin melanjutkan hingga tuntas
Agenda Pembangunan Doha untuk mengatasi ketimpangan yang ada. Ketimpangan itu
antara lain berupa subsidi pertanian yang sangat besar di negara maju,
sementara subsidi di negara berkembang dihambat berbagai ketentuan dan tarif
tinggi di negara maju untuk produk olahan pertanian, dan produk jadi
manufaktur sehingga negara berkembang sulit menaiki mata rantai pasokan
dunia.
Negara maju, di lain pihak,
menginginkan arsitektur perundingan baru yang merefleksikan realitas saat
ini, terutama dengan munculnya emerging
economies, seperti Tiongkok, India, Brasil, Indonesia, dan Afrika
Selatan. Apa pun pertimbangannya, semua negara anggota tampaknya harus segera
menyepakati proses dan prinsip yang akan menjadi dasar bagi kelanjutan
perundingan sistem perdagangan multilateral di bawah WTO.
Restrukturisasi WTO
Kent Jones, seorang professor bidang
ekonomi di Babson College di Massachusetts, Amerika Serikat, dalam bukunya Reconstructing the World Trade
Organization for the 21st Century mencatat ada sepuluh masalah yang
dihadapi Agenda Pembangunan Doha sehingga perundingan tidak kunjung tuntas. Beberapa
dari masalah itu ialah keanggotaan WTO yang telah demikian besar sehingga sulit
dicapai konsensus, pendekatan single undertaking yang tidak praktis bila
menyangkut posisi red lines negara anggota, dan munculnya emerging economies yang tidak dapat disamakan
dengan negara berkembang lainnya.
Selain itu, negara berkembang sudah
begitu marah terhadap ketidakseimbangan perjanjian yang ada, yaitu hilangannya
dukungan politik karena yang tersisa ialah kebijakan nontarif yang cukup
sensitif, prinsip perlakuan khusus dan berbeda bagi negara berkembang cenderung
mengacaukan proses tawar-menawar yang sifatnya timbal-balik, dunia ditimpa
krisis demi krisis sehingga prioritas negara anggota cenderung berbeda.
Perhatian pelaku usaha beralih ke
perjanjian preferensi bilateral dan regional yang lebih nyata manfaatnya,
serta kekhawatiran untuk membuat komitmen baru di tengah perubahan ekonomi
dunia yang menyebabkan tekanan kuat pada perekonomian domestik. Profesor
Jones tidak secara spesifik mengusulkan bentuk restrukturisasi yang perlu ditempuh
agar tiga fungsi WTO berjalan lebih efektif, yaitu monitoring pelaksanaan
komitmen, penyelesaian sengketa, dan perundingan aturan baru. Ia menyarankan
agar pendekatan Agenda Doha diganti dengan sesuatu yang lebih praktis guna
mengakomodasi sensitivitas domestik anggota WTO. Namun, justru inilah masalah
lain yang juga harus diatasi, yaitu nasib sebagian besar anggota WTO
ditentukan segelintir negara anggota lainnya yang begitu terbelenggu oleh
sensitivitas domestik.
Keadaan seperti itu terjadi di
Nairobi, khususnya pada dua hari terakhir penyelenggaraan konferensi. Hanya
lima negara yang terlibat dalam perundingan intensif untuk menyetujui teks
yang akan dihasilkan. Memang kesepakatan lima negara itu kemudian disampaikan
kepada seluruh anggota untuk mendapat persetujuan. Namun, ketika waktu sudah
demikian sempit dan untuk tidak mengecewakan Kenya maupun Afrika, sulit
membayangkan akan ada negara anggota yang menyatakan tidak, dan mengakibatkan
kegagalan KTM Nairobi.
Seperti dikatakan Dirjen WTO
Roberto Azevedo dalam berbagai kesempatan, cukup sulit untuk mencapai konsensus
pada semua isu runding bila beberapa negara kunci mempertahankan red lines karena sensitivitas domestiknya.
Makin sulit lagi bila isu yang demikian sensitive
dibahas secara paripurna dengan melibatkan 162 negara anggota yang terbagi
dalam lebih dari 22 kelompok dengan fokus berbeda. Restrukturisasi WTO
mungkin diperlukan, tapi prinsip inklusivitas juga harus ditegakkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar