Sekarang
Sudah Tahun 2016
M Subhan SD
; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
02 Januari 2016
Di pengujung tahun 2015, Presiden FIFA Sepp
Blater dan Presiden UEFA Michel Platini dihukum oleh FIFA. Dua tokoh kunci
yang begitu melegenda di dunia sepak bola itu tak kebal juga. Komite Etik
FIFA sebagaimana disampaikan hakim asal Jerman, Hans-Joachim Eckert, bahwa
Blatter dan Platini dihukum karena bayaran senilai 1,35 juta poundsterling
pada 2011. Mereka dilarang terlibat di kegiatan sepak bola selama delapan
tahun ke depan. Padahal, sepak bola adalah darah kehidupan mereka.
Sebelumnya, dalam waktu hampir sama, masih di
sekitar pengujung tahun 2015, Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) tidak memberi
putusan tegas terhadap Ketua DPR Setya Novanto dalam kasus ”papa minta saham”
PT Freeport. Meskipun semua ”hakim yang mulia” MKD menyatakan Novanto
melanggar etika, bahkan beberapa di antaranya mengategorikan berat, tetapi
tidak memberi putusan begitu Novanto mundur dari Ketua DPR sebelum sidang
putusan MKD rampung. Sidang MKD yang sempat membuat gaduh menjadi
antiklimaks. Seakan-akan masalah pelanggaran etik selesai seiring mundurnya
Novanto.
Inilah bedanya realitas di negara kita dan
negara orang lain. Kalau Blatter dan Platini dihukum ”karier dan kehidupan masa
depannya” sehingga peluang untuk mengulangi perbuatan dapat dicegah. Namun,
Novanto bukan saja tidak dihukum ”karier dan masa depan kehidupannya” sebagai
bentuk pertanggungjawaban seorang politisi yang merupakan pimpinan lembaga
negara, malah justru dapat ”promosi” sebagai Ketua Fraksi Partai Golkar di
DPR. Apakah pelanggaran etik dalam kasus ”papa minta saham” hanya berlaku
untuk jabatan Ketua DPR. Apakah itu berarti anggota DPR boleh melakukan
pelanggaran sejenis? Itulah sandiwara politik heboh tahun 2015.
Tahun 2015 energi terkuras habis untuk urusan
remeh-temeh yang lagi-lagi selalu berkutat di sekitar para politisi. Banyak
politisi berkoar-koar berdalih menyelesaikan persoalan bangsa. Padahal,
sebetulnya mereka terlihat menunggangi dengan kepentingan sendiri atau
kelompoknya. Pada hari pertama 2016, Pelaksana Tugas Ketua DPR Fadli Zon
berharap kegaduhan politik pada 2016 bisa dikurangi agar pemerintah dan DPR
bisa lebih produktif. Lha, bukankah selama ini yang membuat gaduh
panggung politik itu para politisi sendiri? Pernyataan seperti sepatutnya
diarahkan ke wajah para politisi sebab merekalah yang membuat bangsa ini
terbelah. Mereka pula yang membuat negeri ini tak bergerak ke mana-mana.
Rasanya makin jauh saja bermimpi menjadi negara maju.
Sekarang tahun 2016. Jika para politisi tak
cepat sadar diri, tahun ini pun akan terus-terusan gaduh. Belum apa-apa, isu
pergantian kabinet (reshuffle) sudah terdengar santer. Memang, sejak
Partai Amanat Nasional (PAN) memilih bergabung ke koalisi pemerintahan Joko
Widodo-Jusuf Kalla, secara politis jatah kursi mesti disiapkan. Memang,
kabinet adalah hak prerogatif presiden, tetapi isu reshuffle itu
sama saja fait accompli terhadap presiden. Meskipun sudah
dibantah, pertemuan petinggi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dengan Presiden
barangkali menjadi sinyal lain perubahan konstelasi politik.
Sayangnya,
apabila benar reshuffle terjadi, menteri-menteri yang tidak
punya basis politik kuat (bukan orang partai) yang paling mungkin tergusur.
Sekarang memang sudah tahun 2016. Tetapi, pada
hari pertama saja sudah muncul berita heboh: kepengurusan Partai Golkar yang
dinilai kosong setelah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) mencabut SK
Munas Ancol tanpa menerbitkan SK Munas Bali. Pastinya kisah partai beringin
ini akan makin memanas, meneruskan kegaduhan sepanjang tahun 2015. Rasanya
tahun 2016 ini kebisingan politik tidak berhenti. Karena, tahun 2016 ini
mewarisi banyak peninggalan gaduh dari tahun 2015.
Warisan paling jelas dari tahun 2015 adalah
revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Barangkali DPR (dan
juga pemerintah) benar-benar ngebet untuk merevisi UU itu meskipun banyak
pihak menilai belum perlu sama sekali. Publik sudah berteriak bahwa UU itu
sangat tidak urgen untuk diutak- atik. Tetapi, mungkin DPR memiliki telinga
terlalu tebal. Hanya mereka, ya, politisi dan pejabat, yang terancamlah, yang
ngotot mau merevisi UU itu. Dan, tahun ini kita punya pimpinan KPK yang baru.
Di tengah keraguan banyak kalangan, tahun 2016 ini saatnya pimpinan KPK yang
baru membuktikan diri kepada rakyat bahwa mereka benar-benar bekerja untuk
menyelamatkan bangsa dan negara ini.
Hari ini adalah hari kedua tahun 2016. Sejak
11 tahun silam, setiap awal tahun selalu menjadi momentum tepat untuk
introspeksi dan permenungan bahwa bencana tsunami di Aceh dan sekitarnya pada
26 Desember 2004 adalah tragedi kemanusiaan terbesar. Bagaimana politisi bisa
mengingat bencana itu jikalau mereka selalu ribut dan gaduh dengan dirinya
sendiri. Sadarlah, ini sudah tahun 2016. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar