Membongkar Mantra MK:
Terstruktur, Sistematis dan Masif
Bayu Dwi Anggono ; Pengajar Mata Kuliah Hukum Acara Mahkamah
Konstitusi;
Direktur Pusat Pengkajian
Pancasila dan Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Jember
|
DETIKNEWS,
13 Januari 2016
Mahkamah Konstitusi
(MK) mulai menyidangkan perkara perselisihan hasil Pilkada mulai 7 Januari.
Sidang perdana ini belumlah masuk dalam pokok perkara melainkan sifatnya
adalah pendahuluan untuk memeriksa aspek formil permohonan (kelengkapan
permohonan) dan mendengar penjelasan pemohon tentang permohonan yang
diajukan.
Bersamaan dengan
mulainya persidangan di MK pandangan publik tentang cara MK mengadili
perselisihan hasil Pilkada juga terbelah, sebagian kelompok menghendaki agar
MK tidak terpaku dengan ketentuan syarat jumlah perbedaan suara dalam
mengadili perselisihan hasil pilkada yang berarti semua permohonan yang masuk
ke MK layak diperiksa dalam pemeriksaan pokok perkara meskipun tidak memenuhi
syarat jumlah perbedaan suara sepanjang mengandung dugaan pelanggaran
Terstruktur, Sistematis dan Massif (TSM).
Kelompok kedua
berpendapat sebaliknya, yaitu MK sebagai pelaku kekuasaan kehakiman dalam
mengadili terikat pada ketentuan hukum (undang-undang maupun Peraturan
Mahkamah Konstitusi) sebagai hukum acara yang berimplikasi permohonan yang
tidak memenuhi syarat jumlah perbedaan suara tidak dapat disidangkan lebih
lanjut pokok perkaranya.
Wewenang yang Tidak Diinginkan
Sejak tertangkapnya
Akil Mochtar sebagai Ketua MK pada 3 Oktober 2013 karena menerima suap dari
pihak-pihak yang berperkara, semua pihak terkaget-kaget. Semua baru menyadari
doktrin TSM yang untuk beberapa waktu di MK dianggap publik mampu menegakkan
keadilan sejati ternyata rawan dipermainkan dan diperjualbelikan. Atas
perbuatannya tersebut Akil Mochtar diganjar seumur hidup, sebuah hukuman
terberat yang pernah diterima oleh sang pengadil yang menerima suap.
Kejadian Adil Mochtar
menyebabkan hakim-hakim konstitusi lainnya yang meskipun tidak terbukti
terlibat, namun harus berurusan dengan KPK untuk memberikan keterangan
sebagai saksi, utamanya utamanya hakim-hakim yang berada satu panel dengan
Akil Mochtar.
Rasa traumatis yang
mendalam dari para hakim dan keinginan untuk mencegah MK tidak terperosok
kembali dalam kasus suap perkara Pilkada maka pada tanggal 19 Mei 2014, MK
saat memutus pengujian UU Pemda menyatakan Pilkada tetap masuk rezim
pemerintah daerah sesuai Pasal 18 UUD 1945, dan bukan masuk rezim pemilu
seperti diatur Pasal 22E UUD 1945. Implikasinya MK sudah tidak berwenang lagi
mengadili perselisihan hasil Pilkada.
Hampir setahun setelah
putusan tersebut, DPR melalui Pasal 157 ayat 3 UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang
perubahan UU Nomor 1 Tahun 2015 (UU Pilkada) ternyata memberikan kembali
kepada MK wewenang untuk mengadili perkara perselisihan hasil Pilkada sampai
dengan dibentuknya badan peradilan khusus sebelum pelaksanaan pemilihan
serentak nasional.
Dikembalikannya wewenang mengadili perselisihan hasil
Pilkada ke MK ini sebagai akibat MA yang oleh Pasal 157 ayat 1 UU 1/2015 diberikan
wewenang menyelesaikan perselisihan hasil Pilkada menyatakan keberatannya ke
DPR. Alasan keberatan MA pada dasarnya dikarenakan MA sudah mengadili perkara
pilkada dalam hal pidana, perdata dan TUN. Selain alasan lokasi pengadilan
tinggi yang berada di daerah juga berpotensi menimbulkan gangguan keamanan
dari massa pendukung calon tertentu.
Pembentuk UU yaitu DPR
bersama Presiden dalam memberikan wewenang kepada MK untuk mengadili sengketa
hasil Pilkada bukanlah dengan cek kosong, melainkan untuk tujuan
menghindarkan hakim MK dari praktik penyalagunaan wewenang atas dasar doktrin
TSM yang terlalu luas tafsirnya sebagaimana pernah terjadi, maka dibuat
ketentuan syarat jumlah perbedaan suara yang bervariasi antara 0,5 persen
sampai 2 persen sesuai jumlah penduduk kabupaten/kota atau provinsi untuk
dapat mengajukan perkara perselisihan hasil Pilkada ke MK.
Pasal 158 UU Pilkada
mengatur syarat jumlah perbedaan suara untuk Pilkada provinsi yaitu:
(i) provinsi dengan
jumlah penduduk kurang dari 2 juta maka maksimal selisih suara 2 persen;
(ii) provinsi dengan
jumlah penduduk 2 juta-6 juta maka maksimal selisih suara 1,5 persen;
(iii) provinsi dengan
jumlah penduduk 6 juta-126 juta maka maksimal selisih suara 1 persen;
(iv) provinsi dengan
jumlah penduduk lebih dari 12 juta maka maksimal selisih suara 0,5 persen.
Sementara untuk
Pilkada kabupaten/kota:
(i) kabupaten/kota
dengan jumlah penduduk kurang dari 250 ribu maka maksimal selisih suara 2 persen;
(ii) kabupaten/kota
dengan jumlah penduduk 250 ribu-500 ribu maka maksimal selisih suara 1,5
persen;
(iii) kabupaten/kota
dengan jumlah penduduk 500 ribu-1 juta maka maksimal selisih suara 1 persen;
(iv) kabupaten/kota
dengan jumlah penduduk lebih dari 1 juta maka maksimal selisih suara 0,5
persen.
Atas ketentuan syarat
jumlah perbedaan suara dalam Pasal 158 UU Pilkada ini sejumlah pihak pernah melakukan
pengujian ke MK. Salah satu permohonan yang telah diputus adalah yang
diajukan oleh beberapa mahasiswa, dimana oleh MK permohonan tersebut diputuskan tidak dapat
diterima akibat Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing).
Meskipun putusan Perkara No. 58/PUU-XIII/2015 tertanggal 9 Juli 2015 tidak
dapat menerima permohonan atas dasar legal standing, namun MK dalam
pertimbangan putusan terebut memberikan pesan tentang sikap MK atas
konstitusionalitas Pasal 158 UU Pilkada yaitu MK berpendapat, rasionalitas
Pasal 158 ayat (1) dan ayat (2) UU Pilkada sesungguhnya merupakan bagian dari
upaya pembentuk undang-undang mendorong terbangunnya etika dan sekaligus
budaya politik.
Hal ini dilakukan
dengan cara membuat perumusan norma undang-undang, bahwa seseorang yang turut
serta dalam kontestasi pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota tidak serta
merta menggugat suatu hasil pemilihan ke Mahkamah Konstitusi dengan
perhitungan yang sulit diterima oleh penalaran yang wajar.
Batasan MK
Pasca pemungutan suara
tanggal 9 Desember 2015 sejumlah calon kepala daerah yang awalnya bisa
menerima aturan dalam Pasal 158 UU Pilkada kemudian berbalik arah ramai-ramai
'menggugat' eksistensi Pasal 158 UU Pilkada. Padahal tahapan penyelesaian
perselisihan hasil Pilkada di MK dengan segala ketentuannya menurut Pasal 5
UU Pilkada merupakan salah satu tahapan dalam tahapan penyelenggaraan Pilkada
yang sudah diketahui dan diterima para calon sejak tahapan Pilkada dimulai.
Dapat dianalogikan
para calon kepala daerah yang ramai-ramai "menggugat" dan bahkan
meminta MK mengesampingkan Pasal 158 UU Pilkada ini adalah para peserta lomba
lari yang sudah mengetahui aturan perlombaan dan kemudian setelah mengetahui
hasil perlombaannya baru memprotes aturan perlombaan.
Tanpa mengesampingkan
penghormatan terhadap prinsip langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil
dalam penyelenggaraan Pilkada, namun memaksa MK untuk memeriksa dan mengadili
semua jenis pelanggaran dan sengketa dalam Pilkada atas doktrin TSM merupakan
tindakan berlebihan. Mengingat UU Pilkada secara proporsional dengan
mengingat batasan waktu dan kemampuan masing-masing lembaga telah membagi
tugas penyelesaian pelanggaran atau sengketa dalam Pilkada yang meliputi
pelanggaran kode etik diiputus oleh DKPP, pelanggaran administrasi dan
sengketa antar peserta pemilihan dan sengketa antara peserta dengan penyelenggara
pemilihan diputus oleh Bawaslu Provinsi dan/atau Panwaslu Kabupaten/Kota, dan
tindak pidana pemilihan oleh aparat penegak hukum, serta sengketa hasil
pemilihan oleh Mahkamah Konstitusi.
Sangatlah tidak
proporsional dan melanggar prinsip kepastian hukum apabila MK dengan mantra
TSM harus menganulir Keputusan Bawaslu Provinsi dan Keputusan Panwaslu
Kabupaten/Kota mengenai penyelesaian sengketa Pemilihan yang oleh UU Pilkada
disebutkan mempunyai sifat merupakan keputusan terakhir dan mengikat. Juga tidak
proporsional apabila MK harus menganulir putusan Pengadilan Tinggi TUN maupun
MA yang berkekuatan hukum tetap terkait putusan sengketa tata usaha negara
Pemilihan sebagai sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara
pemilihan antara calon dengan KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota
sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan KPU Provinsi dan/atau KPU
Kabupaten/Kota.
Untuk itu terkait
desakan agar MK mengesampingkan syarat jumlah perbedaan suara dalam Pasal 158
UU Pilkada, maka perlu dipertimbangkan ulang manfaat yang akan didapat
dibandingan dampak buruk yang mungkin akan terjadi dalam rangka membangun
etika dan sekaligus budaya politik di negara hukum Indonesia, mengingat:
Pertama, MK sebagai
pelaku kekuasaan kehakiman dalam mengadili dan memutus perkara perselisihan
hasil Pilkada pada dasarnya wajib terikat pada hukum materiil dan hukum
formil (hukum acara). Hukum materiil adalah ketentuan dalam UU Pilkada yang
mengatur tentang wewenang MK untuk mengadili perselisihan hasil Pilkada yaitu
Pasal 157 ayat (3) yang menyatakan perkara perselisihan penetapan perolehan
suara hasil pemilihan diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi sampai
dibentuknya badan peradilan khusus.
Sementara hukum formil
(hukum acara) adalah semua ketentuan baik terdapat dalam UU MK, UU Pilkada
maupun PMK yang mengatur dan menjabarkan tentang pelaksanaan wewenang MK
untuk mengadili perselisihan hasil Pilkada. Contoh hukum formil (hukum acara)
dalam perselisihan hasil Pilkada ini adalah ketentuan tentang batas waktu
pengajuan permohonan kepada MK oleh Pemohon yaitu paling lama 3 × 24 jam
sejak diumumkan penetapan perolehan suara hasil pemilihan umum oleh KPU
Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota.
Contoh lainnya hukum
formil (hukum acara) yang wajib diikuti oleh hakim MK dalam mengadili
perselisihan hasil Pilkada adalah ketentuan Pasal 158 UU Pilkada dan Pasal 6
PMK Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil
Pilkada yang secara jelas dan tegas mengatur tentang pihak yang memiliki
kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan perselisihan
hasil Pilkada adalah peserta Pilkada yang persentase perbedaan perolehan
suaranya dengan peserta Pilkada yang dinyatakan memperoleh suara terbanyak
oleh KPUD tidak melebihi batasan yang ditetapkan yaitu dalam rentang 0,5
persen sampai dengan 2 persen sesuai dengan jumlah penduduk di daerah
tersebut. Dengan konstruksi hukum acara yang demikian maka MK secara tegas
dilarang untuk mengadili perkara perselisihan hasil Pilkada yang selisih
perolehan suaranya antar peserta Pilkada tidak sesuai dengan limitasi dalam
Pasal 158 UU Pilkada dan PMK 1/2015.
Kedua, sesuai Pasal 4
ayat (1) UU 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan bahwa pengadilan
mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang. Ketentuan ini
bermakna hakim dalam mengadili untuk menegakkan hukum dan keadilan haruslah
dilakukan menurut hukum yang berlaku dalam hal ini termasuk ketentuan hukum
acara yang ada dalam undang-undang. Pasal 158 UU Pilkada sampai saat ini
masih sah atau konstitusional berlaku karena tidak pernah dinyatakan
inskonstitusonal oleh MK dalam perkara pengujian UU, dengan demikian
sangatlah janggal jika hakim MK menyimpangi ketentuan normatif dalam UU yang
masih berlaku karena justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum.
Harus diingat bahwa
ada perbedaan bagi MK ketika melaksanakan wewenang menguji UU dan
melaksanakan wewenang mengadili perselisihan hasil Pilkada. Dalam mengadili
perkara pengujian UU hakim MK memang diminta untuk menguji konstitusionalitas
UU dimana sikap mempertanyakan keabsahan suatu UU untuk kemudian mengambil
putusan justru diharuskan. Namun berbeda dalam mengadili perkara perselisihan
hasil Pilkada, hakim MK dalam melaksanakan wewenang ini justru tidak boleh
mempertanyakan, memiliki keragu-raguan atau malah menyimpangi ketentuan UU
Pilkada yang mengatur hukum acara mengingat hakim MK tidak sedang menguji
konstitusionalitas UU tersebut melainkan sekedar pelaksana UU tersebut untuk
menegakkan hukum dan keadilan.
Ketiga, munculnya
ketentuan limitasi pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan perselisihan
hasil Pilkada sebagaimana diatur oleh Pasal 158 UU Pilkada adalah konsensus
dari 3 lembaga yaitu DPR, Presiden dan MK sendiri dalam rangka mencegah
terulangnya kejadian buruk yang hampir meruntuhkan eksistensi MK saat MK
dipimpin Akil Mochtar yang atas dasar dalil-dalil terjadi kecurangan yang TSM
dalam Pilkada di banyak daerah telah memperjualbelikan perkara di MK.
Dibukanya peluang MK
untuk mengadili perkara pilkada yang selisih perolehan suara antar peserta
Pilkada sangat jauh atas nama mengadili TSM berpotensi membuat MK jatuh ke
lubang yang sama lagi seperti halnya ketika dipimpin oleh Akil Mochtar,
mengingat hal ini akan membuka peluang pihak-pihak yang berkepentingan akan
sekuat tenaga melakukan segala upaya untuk mempengaruhi putusan MK.
Akibat Mengesampingkan Pasal 158
Akibat hukum yang
dapat menimpa hakim MK jika akhirnya tetap memaksakan diri mengadili semua
perkara perselisihan hasil Pilkada walaupun selisih suara antar calon sangat
jauh (tidak memenuhi batasan rentang 0, 5 persen sampai dengan 2 persen)
adalah cacat formil atas putusan yang dibuat MK dan sekaligus sangat mungkin
pihak-pihak yang tidak puas utamanya pasangan calon yang dirugikan atas sikap
hakim MK yang nyata-nyata melanggar Pasal 158 UU MK dan PMK Nomor 1/2015 yang
MK buat sendiri akan mengadukan hakim MK ke Dewan Etik Hakim Konstitusi.
Dasar pelaporan ke
Dewan Etik MK adalah karena para hakim MK diduga melanggar Pasal 21 ayat (2)
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2014 tentang Majelis Kehormatan
Mahkamah Konstitusi yaitu hakim MK melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku
Hakim Konstitusi, dan hakim MK tidak melaksanakan kewajiban sebagai hakim
untuk menjalankan hukum acara sebagaimana mestinya. Pelanggaran Kode Etik
yang dimaksudkan adalah sesuai PMK Nomor 9/PMK/2006 tentang Pemberlakuan
Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi disebutkan hakim konstitusi
haruslah memiliki kecakapan dan keseksamaan yaitu hakim konstitusi harus
menggambarkan kecermatan, kehati-hatian, ketelitian, ketekunan dan
kesungguhan dalam pelaksanaan tugas profesional hakim.
Pelanggaran atas
ketentuan Pasal 21 ayat (2) PMK 2/2014 jika dianggap masuk kategori dugaan
pelanggaran berat dapat berujung kepada pembentukan Majelis Kehormatan yang
pembentukannya diusulkan oleh Dewan Etik. Dalam Majelis Kehormatan Mahkamah
Konstitusi apabila hakim konstitusi yang dilaporkan terbukti melakukan
pelanggaran berat maka sanksi yang menanti adalah pemberhentian tidak hormat
sebagai hakim MK.
Akhirnya tentu kita
menginginkan dan mendoakan MK dapat melaksanakan tugas-tugas
konstitusionalnya dapat berjalan baik dan sebisa mungkin menghindarkan diri
dari membuat kegaduhan baru yang akan dapat mengganggu konsentrasi dan
konsolidasi pemerintahan negara yang
tengah bekerja membangun kehidupan ekonomi, politik dan demokrasi yang lebih
baik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar