Kamis, 21 Januari 2016

Membongkar Mantra MK: Terstruktur, Sistematis dan Masif

Membongkar Mantra MK:

Terstruktur, Sistematis dan Masif

Bayu Dwi Anggono  ;   Pengajar Mata Kuliah Hukum Acara Mahkamah Konstitusi;
Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Jember
                                                    DETIKNEWS, 13 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Mahkamah Konstitusi (MK) mulai menyidangkan perkara perselisihan hasil Pilkada mulai 7 Januari. Sidang perdana ini belumlah masuk dalam pokok perkara melainkan sifatnya adalah pendahuluan untuk memeriksa aspek formil permohonan (kelengkapan permohonan) dan mendengar penjelasan pemohon tentang permohonan yang diajukan.

Bersamaan dengan mulainya persidangan di MK pandangan publik tentang cara MK mengadili perselisihan hasil Pilkada juga terbelah, sebagian kelompok menghendaki agar MK tidak terpaku dengan ketentuan syarat jumlah perbedaan suara dalam mengadili perselisihan hasil pilkada yang berarti semua permohonan yang masuk ke MK layak diperiksa dalam pemeriksaan pokok perkara meskipun tidak memenuhi syarat jumlah perbedaan suara sepanjang mengandung dugaan pelanggaran Terstruktur, Sistematis dan Massif (TSM).

Kelompok kedua berpendapat sebaliknya, yaitu MK sebagai pelaku kekuasaan kehakiman dalam mengadili terikat pada ketentuan hukum (undang-undang maupun Peraturan Mahkamah Konstitusi) sebagai hukum acara yang berimplikasi permohonan yang tidak memenuhi syarat jumlah perbedaan suara tidak dapat disidangkan lebih lanjut pokok perkaranya.

Wewenang yang Tidak Diinginkan

Sejak tertangkapnya Akil Mochtar sebagai Ketua MK pada 3 Oktober 2013 karena menerima suap dari pihak-pihak yang berperkara, semua pihak terkaget-kaget. Semua baru menyadari doktrin TSM yang untuk beberapa waktu di MK dianggap publik mampu menegakkan keadilan sejati ternyata rawan dipermainkan dan diperjualbelikan. Atas perbuatannya tersebut Akil Mochtar diganjar seumur hidup, sebuah hukuman terberat yang pernah diterima oleh sang pengadil yang menerima suap.

Kejadian Adil Mochtar menyebabkan hakim-hakim konstitusi lainnya yang meskipun tidak terbukti terlibat, namun harus berurusan dengan KPK untuk memberikan keterangan sebagai saksi, utamanya utamanya hakim-hakim yang berada satu panel dengan Akil Mochtar.

Rasa traumatis yang mendalam dari para hakim dan keinginan untuk mencegah MK tidak terperosok kembali dalam kasus suap perkara Pilkada maka pada tanggal 19 Mei 2014, MK saat memutus pengujian UU Pemda menyatakan Pilkada tetap masuk rezim pemerintah daerah sesuai Pasal 18 UUD 1945, dan bukan masuk rezim pemilu seperti diatur Pasal 22E UUD 1945. Implikasinya MK sudah tidak berwenang lagi mengadili perselisihan hasil Pilkada.

Hampir setahun setelah putusan tersebut, DPR melalui Pasal 157 ayat 3 UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang perubahan UU Nomor 1 Tahun 2015 (UU Pilkada) ternyata memberikan kembali kepada MK wewenang untuk mengadili perkara perselisihan hasil Pilkada sampai dengan dibentuknya badan peradilan khusus sebelum pelaksanaan pemilihan serentak nasional.

Dikembalikannya  wewenang mengadili perselisihan hasil Pilkada ke MK ini sebagai akibat MA yang oleh Pasal 157 ayat 1 UU 1/2015 diberikan wewenang menyelesaikan perselisihan hasil Pilkada menyatakan keberatannya ke DPR. Alasan keberatan MA pada dasarnya dikarenakan MA sudah mengadili perkara pilkada dalam hal pidana, perdata dan TUN. Selain alasan lokasi pengadilan tinggi yang berada di daerah juga berpotensi menimbulkan gangguan keamanan dari massa pendukung calon tertentu.

Pembentuk UU yaitu DPR bersama Presiden dalam memberikan wewenang kepada MK untuk mengadili sengketa hasil Pilkada bukanlah dengan cek kosong, melainkan untuk tujuan menghindarkan hakim MK dari praktik penyalagunaan wewenang atas dasar doktrin TSM yang terlalu luas tafsirnya sebagaimana pernah terjadi, maka dibuat ketentuan syarat jumlah perbedaan suara yang bervariasi antara 0,5 persen sampai 2 persen sesuai jumlah penduduk kabupaten/kota atau provinsi untuk dapat mengajukan perkara perselisihan hasil Pilkada ke MK.

Pasal 158 UU Pilkada mengatur syarat jumlah perbedaan suara untuk Pilkada provinsi yaitu:

(i) provinsi dengan jumlah penduduk kurang dari 2 juta maka maksimal selisih suara 2 persen;
(ii) provinsi dengan jumlah penduduk 2 juta-6 juta maka maksimal selisih suara 1,5 persen;
(iii) provinsi dengan jumlah penduduk 6 juta-126 juta maka maksimal selisih suara 1 persen;
(iv) provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 12 juta maka maksimal selisih suara 0,5 persen.

Sementara untuk Pilkada kabupaten/kota:

(i) kabupaten/kota dengan jumlah penduduk kurang dari 250 ribu maka maksimal selisih suara 2 persen;
(ii) kabupaten/kota dengan jumlah penduduk 250 ribu-500 ribu maka maksimal selisih suara 1,5 persen;
(iii) kabupaten/kota dengan jumlah penduduk 500 ribu-1 juta maka maksimal selisih suara 1 persen;
(iv) kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 1 juta maka maksimal selisih suara 0,5 persen.

Atas ketentuan syarat jumlah perbedaan suara dalam Pasal 158 UU Pilkada  ini sejumlah pihak pernah melakukan pengujian ke MK. Salah satu permohonan yang telah diputus adalah yang diajukan oleh beberapa mahasiswa, dimana oleh MK  permohonan tersebut diputuskan tidak dapat diterima akibat Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing). Meskipun putusan Perkara No. 58/PUU-XIII/2015 tertanggal 9 Juli 2015 tidak dapat menerima permohonan atas dasar legal standing, namun MK dalam pertimbangan putusan terebut memberikan pesan tentang sikap MK atas konstitusionalitas Pasal 158 UU Pilkada yaitu MK berpendapat, rasionalitas Pasal 158 ayat (1) dan ayat (2) UU Pilkada sesungguhnya merupakan bagian dari upaya pembentuk undang-undang mendorong terbangunnya etika dan sekaligus budaya politik.

Hal ini dilakukan dengan cara membuat perumusan norma undang-undang, bahwa seseorang yang turut serta dalam kontestasi pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota tidak serta merta menggugat suatu hasil pemilihan ke Mahkamah Konstitusi dengan perhitungan yang sulit diterima oleh penalaran yang wajar.

Batasan MK

Pasca pemungutan suara tanggal 9 Desember 2015 sejumlah calon kepala daerah yang awalnya bisa menerima aturan dalam Pasal 158 UU Pilkada kemudian berbalik arah ramai-ramai 'menggugat' eksistensi Pasal 158 UU Pilkada. Padahal tahapan penyelesaian perselisihan hasil Pilkada di MK dengan segala ketentuannya menurut Pasal 5 UU Pilkada merupakan salah satu tahapan dalam tahapan penyelenggaraan Pilkada yang sudah diketahui dan diterima para calon sejak tahapan Pilkada dimulai.

Dapat dianalogikan para calon kepala daerah yang ramai-ramai "menggugat" dan bahkan meminta MK mengesampingkan Pasal 158 UU Pilkada ini adalah para peserta lomba lari yang sudah mengetahui aturan perlombaan dan kemudian setelah mengetahui hasil perlombaannya baru memprotes aturan perlombaan.

Tanpa mengesampingkan penghormatan terhadap prinsip langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam penyelenggaraan Pilkada, namun memaksa MK untuk memeriksa dan mengadili semua jenis pelanggaran dan sengketa dalam Pilkada atas doktrin TSM merupakan tindakan berlebihan. Mengingat UU Pilkada secara proporsional dengan mengingat batasan waktu dan kemampuan masing-masing lembaga telah membagi tugas penyelesaian pelanggaran atau sengketa dalam Pilkada yang meliputi pelanggaran kode etik diiputus oleh DKPP, pelanggaran administrasi dan sengketa antar peserta pemilihan dan sengketa antara peserta dengan penyelenggara pemilihan diputus oleh Bawaslu Provinsi dan/atau Panwaslu Kabupaten/Kota, dan tindak pidana pemilihan oleh aparat penegak hukum, serta sengketa hasil pemilihan oleh Mahkamah Konstitusi.

Sangatlah tidak proporsional dan melanggar prinsip kepastian hukum apabila MK dengan mantra TSM harus menganulir Keputusan Bawaslu Provinsi dan Keputusan Panwaslu Kabupaten/Kota mengenai penyelesaian sengketa Pemilihan yang oleh UU Pilkada disebutkan mempunyai sifat merupakan keputusan terakhir dan mengikat. Juga tidak proporsional apabila MK harus menganulir putusan Pengadilan Tinggi TUN maupun MA yang berkekuatan hukum tetap terkait putusan sengketa tata usaha negara Pemilihan sebagai sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara pemilihan antara calon dengan KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota.

Untuk itu terkait desakan agar MK mengesampingkan syarat jumlah perbedaan suara dalam Pasal 158 UU Pilkada, maka perlu dipertimbangkan ulang manfaat yang akan didapat dibandingan dampak buruk yang mungkin akan terjadi dalam rangka membangun etika dan sekaligus budaya politik di negara hukum Indonesia, mengingat:

Pertama, MK sebagai pelaku kekuasaan kehakiman dalam mengadili dan memutus perkara perselisihan hasil Pilkada pada dasarnya wajib terikat pada hukum materiil dan hukum formil (hukum acara). Hukum materiil adalah ketentuan dalam UU Pilkada yang mengatur tentang wewenang MK untuk mengadili perselisihan hasil Pilkada yaitu Pasal 157 ayat (3) yang menyatakan perkara perselisihan penetapan perolehan suara hasil pemilihan diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi sampai dibentuknya badan peradilan khusus.

Sementara hukum formil (hukum acara) adalah semua ketentuan baik terdapat dalam UU MK, UU Pilkada maupun PMK yang mengatur dan menjabarkan tentang pelaksanaan wewenang MK untuk mengadili perselisihan hasil Pilkada. Contoh hukum formil (hukum acara) dalam perselisihan hasil Pilkada ini adalah ketentuan tentang batas waktu pengajuan permohonan kepada MK oleh Pemohon yaitu paling lama 3 × 24 jam sejak diumumkan penetapan perolehan suara hasil pemilihan umum oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota.

Contoh lainnya hukum formil (hukum acara) yang wajib diikuti oleh hakim MK dalam mengadili perselisihan hasil Pilkada adalah ketentuan Pasal 158 UU Pilkada dan Pasal 6 PMK Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pilkada yang secara jelas dan tegas mengatur tentang pihak yang memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan perselisihan hasil Pilkada adalah peserta Pilkada yang persentase perbedaan perolehan suaranya dengan peserta Pilkada yang dinyatakan memperoleh suara terbanyak oleh KPUD tidak melebihi batasan yang ditetapkan yaitu dalam rentang 0,5 persen sampai dengan 2 persen sesuai dengan jumlah penduduk di daerah tersebut. Dengan konstruksi hukum acara yang demikian maka MK secara tegas dilarang untuk mengadili perkara perselisihan hasil Pilkada yang selisih perolehan suaranya antar peserta Pilkada tidak sesuai dengan limitasi dalam Pasal 158 UU Pilkada dan PMK 1/2015.

Kedua, sesuai Pasal 4 ayat (1) UU 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan bahwa pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang. Ketentuan ini bermakna hakim dalam mengadili untuk menegakkan hukum dan keadilan haruslah dilakukan menurut hukum yang berlaku dalam hal ini termasuk ketentuan hukum acara yang ada dalam undang-undang. Pasal 158 UU Pilkada sampai saat ini masih sah atau konstitusional berlaku karena tidak pernah dinyatakan inskonstitusonal oleh MK dalam perkara pengujian UU, dengan demikian sangatlah janggal jika hakim MK menyimpangi ketentuan normatif dalam UU yang masih berlaku karena justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum.

Harus diingat bahwa ada perbedaan bagi MK ketika melaksanakan wewenang menguji UU dan melaksanakan wewenang mengadili perselisihan hasil Pilkada. Dalam mengadili perkara pengujian UU hakim MK memang diminta untuk menguji konstitusionalitas UU dimana sikap mempertanyakan keabsahan suatu UU untuk kemudian mengambil putusan justru diharuskan. Namun berbeda dalam mengadili perkara perselisihan hasil Pilkada, hakim MK dalam melaksanakan wewenang ini justru tidak boleh mempertanyakan, memiliki keragu-raguan atau malah menyimpangi ketentuan UU Pilkada yang mengatur hukum acara mengingat hakim MK tidak sedang menguji konstitusionalitas UU tersebut melainkan sekedar pelaksana UU tersebut untuk menegakkan hukum dan keadilan.

Ketiga, munculnya ketentuan limitasi pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan perselisihan hasil Pilkada sebagaimana diatur oleh Pasal 158 UU Pilkada adalah konsensus dari 3 lembaga yaitu DPR, Presiden dan MK sendiri dalam rangka mencegah terulangnya kejadian buruk yang hampir meruntuhkan eksistensi MK saat MK dipimpin Akil Mochtar yang atas dasar dalil-dalil terjadi kecurangan yang TSM dalam Pilkada di banyak daerah telah memperjualbelikan perkara di MK.

Dibukanya peluang MK untuk mengadili perkara pilkada yang selisih perolehan suara antar peserta Pilkada sangat jauh atas nama mengadili TSM berpotensi membuat MK jatuh ke lubang yang sama lagi seperti halnya ketika dipimpin oleh Akil Mochtar, mengingat hal ini akan membuka peluang pihak-pihak yang berkepentingan akan sekuat tenaga melakukan segala upaya untuk mempengaruhi putusan MK.

Akibat Mengesampingkan Pasal 158

Akibat hukum yang dapat menimpa hakim MK jika akhirnya tetap memaksakan diri mengadili semua perkara perselisihan hasil Pilkada walaupun selisih suara antar calon sangat jauh (tidak memenuhi batasan rentang 0, 5 persen sampai dengan 2 persen) adalah cacat formil atas putusan yang dibuat MK dan sekaligus sangat mungkin pihak-pihak yang tidak puas utamanya pasangan calon yang dirugikan atas sikap hakim MK yang nyata-nyata melanggar Pasal 158 UU MK dan PMK Nomor 1/2015 yang MK buat sendiri akan mengadukan hakim MK ke Dewan Etik Hakim Konstitusi.

Dasar pelaporan ke Dewan Etik MK adalah karena para hakim MK diduga melanggar Pasal 21 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2014 tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yaitu hakim MK melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi, dan hakim MK tidak melaksanakan kewajiban sebagai hakim untuk menjalankan hukum acara sebagaimana mestinya. Pelanggaran Kode Etik yang dimaksudkan adalah sesuai PMK Nomor 9/PMK/2006 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi disebutkan hakim konstitusi haruslah memiliki kecakapan dan keseksamaan yaitu hakim konstitusi harus menggambarkan kecermatan, kehati-hatian, ketelitian, ketekunan dan kesungguhan dalam pelaksanaan tugas profesional hakim.

Pelanggaran atas ketentuan Pasal 21 ayat (2) PMK 2/2014 jika dianggap masuk kategori dugaan pelanggaran berat dapat berujung kepada pembentukan Majelis Kehormatan yang pembentukannya diusulkan oleh Dewan Etik. Dalam Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi apabila hakim konstitusi yang dilaporkan terbukti melakukan pelanggaran berat maka sanksi yang menanti adalah pemberhentian tidak hormat sebagai hakim MK.
Akhirnya tentu kita menginginkan dan mendoakan MK dapat melaksanakan tugas-tugas konstitusionalnya dapat berjalan baik dan sebisa mungkin menghindarkan diri dari membuat kegaduhan baru yang akan dapat mengganggu konsentrasi dan konsolidasi  pemerintahan negara yang tengah bekerja membangun kehidupan ekonomi, politik dan demokrasi yang lebih baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar