Kembali ke GBHN-kah Kita?
Deddy S Bratakusumah ; Analis dan Praktisi Pemerintahan
|
DETIKNEWS,
14 Januari 2016
Sejatinya, konstitusi
sebelum diamandemen, mengamanatkan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
membuat Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang berisi acuan bagi
presiden selaku mandataris MPR (karena dipilih oleh MPR) dalam mewujudkan
cita-cita bangsa bernegara. Upaya mencapai tujuan bangsa dilakukan melalui
pembangunan. Karena pembangunan dapat diartikan sebagai peningkatan kualitas
dan derajat kehidupan rakyat Indonesia. Oleh karenanya bentuk operasional
dari GBHN ini pada saat itu dituangkan dalam Rencana Pembangunan Nasional,
antara lain; Pembangunan Semesta Berencana pada masa Soekarno, Repelita pada
masa Suharto, dan Propenas pada masa Awal Reformasi.
Dengan adanya rencana
pembangunan, para penyelenggara negara mempunyai pegangan, rambu-rambu dan
sasaran serta target yang harus dicapainya dalam kurun waktu tertentu.
Repelita misalnya memiliki rentang waktu 5 tahun. Dengan acuan rencana ini
pula harapan rakyat dan kenyataan yang dilakukan pemerintah dapat dengan
mudah diukur.
Bahkan pengukuran
kinerja pemerintahan, dalam hal ini presiden selaku mandataris MPR,
didasarkan atas kesungguhan dan keberhasilan presiden dalam menerjemahkan dan
melaksanakan GBHN tersebut. Presiden pada saat itu harus menjalankan
ketetapan-ketetapan yang dihasilkan oleh MPR, termasuk GBHN. Contoh yang
paling aktual adalah fenomena ini adalah ditolaknya pertanggungjawaban
presiden Habibie oleh MPR, karena dinilai gagal menjalankan GBHN. Karenanya
Habibie tidak dipilih lagi menjadi presiden.
Selama beberapa
dekade, GBHN telah menjelma menjadi suatu dokumen yang sakti bahkan sakral,
berdosa bila dilanggar. Para pendiri negeri ini menginginkan agar GBHN
menjadi semacam "Kebijakan Strategis Bangsa" (strategic intents). Nampaknya para pendiri bangsa ini, ingin
menegaskan bahwa "Kebijakan Strategis Bangsa" bersifat dinamis,
seiring dengan berlalunya waktu. GBHN meskipun dibentuk untuk 25 tahunan
namun tidak tertutup kemungkinan untuk selalu dievaluasi, dianalisa, diubah
bahkan diganti setiap Sidang MPR lima tahunan.
Hapusnya GBHN
Pada masa reformasi,
keberadaan GBHN telah dihapuskan melalui amandemen UUD 1945. Menurut
konstitusi hasil amandemen ini, kewenangan MPR menyusun GBHN telah
dihilangkan. MPR, yang anggotanya terdiri dari anggota DPR dan anggota DPD,
hanya bertugas untuk mengubah dan menetapkan UUD, melantik presiden serta
wakil presiden terpilih, yang dipilih langsung oleh rakyat. Selain itu MPR
dapat memberhentikan presiden serta wakil presiden dalam masa jabatannya
apabila yang bersangkutan melanggar hukum dan berkhianat terhadap bangsa dan
negara, itu pun setelah diputuskan bersalah oleh MK.
Ketiadaan GBHN
merupakan konsekuensi logis dari pemilihan presiden secara langsung. Sebab
salah satu aspek penilaian terhadap calon presiden, mestinya, adalah melalui
rencana atau program yang ditawarkannya. Program-program itu (selama ini
dikenal sebagai "visi-misi" Capres) merupakan interpretasi Capres
dalam upaya mencapai cita-cita bangsa yang secara eksplisit tersurat didalam
pembukaan konstitusi.
Andaikata Capres yang
bersangkutan dapat memenangi pemilihan umum, maka tawaran tersebut harus
dapat diwujudkannya pada masa jabatannya. Apabila tidak, maka yang
bersangkutan akan dianggap gagal. Namun hukumannya secara politis dia tidak
akan dipilih lagi oleh rakyat untuk jabatan berikutnya, tidak dilengserkan di
tengah jalan. Begitulah sanksi politis dalam sistem pemilihan langsung.
Di samping itu,
ketiadaan GBHN merupakan perwujudan dari sistem pembangunan ekonomi yang
dianut setelah masa reformasi. Jujur saja, setelah reformasi, kita
"ingin" (meski malu-malu) menerapkan sistem
"neo-liberalisme". Dalam sistem ini "negara" tidak perlu
turut serta dalam merencanakan perekonomian secara terpusat. Bahkan di
beberapa negara yang murni menganut "neo-lib", tidak ada dokumen
perencanaan pembangunan nasional.
Bila Kembali ke GBHN
Kegalauan karena
ketiadaan GBHN sebenarnya telah mencuat sejak diberlakukannya pemilihan
presiden secara langsung, galau karena dikhawatirkan tiadanya kesinambungan
pembangunan. Kegalauan ini sebenarnya telah dijawab dengan lahirnya Rencana
Pembanguan Jangka Panjang (RPJP), untuk pertama kalinya RPJP 2005-2025
dituangkan dalam UU No 17/2007. Sementara ini RPJP dianggap sebagai pengganti
GBHN. Meskipun secara yuridis formal, penyusunan RPJP ini menyalahi kaidah
ilmu sistem ketatanegaraan yang sudah tertuang dalam Amandemen UUD 45 di mana
sistem yang dianut Indonesia adalah presidensial murni.
Wacana menghidupkan
kembali GBHN secara gamblang disampaikan oleh Megawati dalam pidato
politiknya di hadapan peserta Rakernas PDIP 2016. Gagasan ini merupakan
puncak dari kegalauan setelah sepuluh tahun tanpa GBHN. Agar penerapan
kembali GBHN memiliki legitimasi, perlu dilakukan beberapa perubahan pada
peraturan perundangan kita.
Sebelum melakukan
berbagai perubahan, kita harus sejenak berpikir, mazab pembangunan ekonomi
apa yang akan kita anut? Perenungan ini sekaligus untuk mengeliminir
ambiguitas UUD 45, di mana di pembukaan menganut "negara
kesejahteraan" (Pancasila) sementara di batang tubuh hasil amandemen
menganut "neolib".
Dengan mengamandemen
kembali UUD 1945, konsekuensinya akan mengubah seluruh sistem politik dan
ketatanegaraan, termasuk kedudukan MPR dan pemilihan presiden. Namun dengan
hanya mengubah beberapa undang-undang terkait perencanaan, yakni UU 17/2003
tentang Keuangan Negara, UU 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional (SPPN), dan UU 17/2007 tentang RPJP, kita akan tetap mendapatkan
ketidakharmonisan filosofi dalam pembangunan ekonomi, yang mengakibatkan
karut marut perencanaan dan penganggaran pembangunan. Jadi, masalah pembangunan ada pada
"filosofinya", bukan masalah ada atau tidak adanya GBHN. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar