Kamis, 21 Januari 2016

Memahami Teror(isme)

Memahami Teror(isme)

Benni Setiawan  ;   Dosen Ilmu Komunikasi, Universitas Negeri Yogyakarta;
Peneliti Maarif Institute
                                              SUARA MERDEKA, 15 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

TEROR bom mengguncang Ibu Kota, Jakarta. sejumlah orang dilaporkan meninggal dunia. Pemberitaan yang massif menjadikan peristiwa itu tersebar ke seantero negeri.

Indeks harga saham gabungan (IHSG) terkoreksi, rupiah pun melemah. Teror yang dilakukan kawanan teroris itu seakan menjadi bukti sel kelompok itu tidak pernah mati. Terus tumbuh seiring pertumbuhan manusia dan zaman.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah mengapa aksi terorisme menggunakan bom masih menjadi senjata andalan kawanan ini? Mutiara Andalas (2010) menyebut dalam kasus teror bom, jaringan teroris memeluk teologi kekerasan.

Mereka menekuk lututnya di hadapan ilah kekerasan. Mereka merangsang syahwat religius orang-orang yang direkrutnya dengan janji kehidupan kekal setelah kehidupan di dunia. Surga barangkali merupakan upah terbesar bagi mereka sehingga mereka menemukan kekuatan untuk melakukan tindakan kekerasan sewenang-wenang terhadap target korban.

Mereka memandang target korbannya bukan sekadar musuh politik, melainkan musuh Allah. Kenyataan di atas menegaskan bahwa kebenaran menjadi milik tunggal bagi penafsir teks. Tafsiran lain di luar itu tidak dapat diterima dan harus dienyahkan. Klaim kebenaran tunggal (truth claim) ini seakan menegasikan kemanusiaan yang beradab. Lebih dari itu, Tuhan seakan-akan menjadi milik tunggal kelompok ini.

Mereka akan memandang kelompok lain bukan dari golongan yang terselamatkan (laisa minni). Maka tidak aneh jika seluruh gerakan, entah dalam bentuk bom atau yang lain mereka anggap sebagai hal yang lumrah dan dibenarkan oleh Tuhan. Padahal Tuhan adalah Maha Memelihara dan tidak menyukai perbuatan merusak di muka bumi.

Tuhan pun senantiasa menyeru umat manusia untuk selalu berbuat baik dan menjalin tali silaturrahmi. Teologi kekerasan yang tertenam dalam benak teroris seakan telah menutup mata bahwa kehidupan harus dibangun di atas harmoni.

Persamaian kerukunan dan bina damai merupakan sebuah keniscayaan sebagai bagian dari tanggung jawab moral manusia sebagai pemimpin di muka bumi (khalifatul fi alardhi). Namun mengapa teologi kekerasan masih saja ada di Indonesia? Ihsan Ali- Fauzi (2011) menyebut radikalisme dapat terkait dengan terorisme dalam beberapa segi.

Pertama, unsur radikalisme tergambar dari cara-cara kekerasan terhadap warga sipil dan terutama kepada aparat keamanan (polisi). Kedua, tidak semua radikalisme menjadi terorisme. Dan tidak semua orang yang radikal berakhir sebagai teroris.

Dalam beberapa studi, menunjukkan bahwa hanya sedikit orang yang radikal yang pada akhirnya berakhir menjadi teroris. Semua bergantung pada faktor-faktor di luar diri sang teroris sendiri atau jaringannya.

Misalnya, sejauh mana aparat keamanan atau masyarakat waspada atau tidak. Itu sebabnya, dalam literatur tentang terorisme, dikenal istilah ”disengagement”: fakta bahwa seseorang menghindar dari melakukan aksi-aksi teroris karena dia tidak ”mampu”, bukan tidak ”mau”, melakukannya.

Di sini, isi pikiran sang teroris tetap sama, tapi hal itu tidak berujung pada perbuatan teroris. Ketiga, baik radikalisme maupun terorisme terkait dengan masyarakat. Inilah dimensi sosial keduanya.

Bedanya, sementara ada masyarakat yang radikal, tetapi tidak ada masyarakat teroris. Sekalipun demikian, aksi-aksi teroris mudah sekali tumbuh di dalam masyarakat yang radikal, di mana aksi-aksi terorisme tidak hanya memperoleh simpati, tapi juga mendapat dukungan.

Maka dari itu, guna menekan atau setidaknya meminimalisasi gerakan ini, maka sudah selayaknya Densus 88 Antiteror, BNPT, dan pihak-pihak terkait tidak melulu menggunakan senjata dalam menyelesaikan masalah ini. Senjata hanya akan semakin mengkristalkan niatan suci (baca: mati syahid) di tangan aparat.

Lebih lanjut, pendekatan berbasis kemanusiaan sudah selayaknya ditempuh. Salah satunya dengan terus melakukan komunikasi dan pembinaan. Komunikasi dapat ditembuh melalui peran serta kiai/ulama/ustad dalam membina jamaah.

Pasalnya, kemunculan sel-sel baru teroris seringkali karena kealpaan masyarakat membina anggotanya; hubungan masyarakat yang semakin longgar; dan semakin menurunnya pola hubungan berbasis sosial-budaya.

Tidak perlu latah

Tak kalah pentingnya adalah peran serta media massa. Ada baiknya, media massa terutama televisi tidak menjadi alat teroris untuk menyebarkan ”ideologinya”. Pemberitaan yang massif dan bahkan bertajukbreaking news malah dapat menjadi senjata teroris untuk menyebarkan ketakutan kepada khalayak ramai.

Masyarakat pun tidak perlu terus latah, mengunggah gambar dan foto ke berbagai jejaring sosial. Pengunggahan foto dan video sama artinya ”menyuburkan” persebaran teror menuju titik sentral kegiatan masyarakat.

Pada akhirnya, semakin tingginya intensitas terorisme seakan menegaskan bahwa Indonesia masih menjadi lahan sumber tumbuhnya sel-sel baru teroris. Semua pihak sudah selayaknya sadar bahwa, terorisme muncul bukan saja karena faktor individu. Namun juga karena kurang tanggapnya masyarakat menyelesaikan persoalan ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar