Memahami Teror(isme)
Benni Setiawan ; Dosen Ilmu Komunikasi, Universitas Negeri
Yogyakarta;
Peneliti Maarif Institute
|
SUARA
MERDEKA, 15 Januari 2016
TEROR bom mengguncang
Ibu Kota, Jakarta. sejumlah orang dilaporkan meninggal dunia. Pemberitaan
yang massif menjadikan peristiwa itu tersebar ke seantero negeri.
Indeks harga saham
gabungan (IHSG) terkoreksi, rupiah pun melemah. Teror yang dilakukan kawanan
teroris itu seakan menjadi bukti sel kelompok itu tidak pernah mati. Terus
tumbuh seiring pertumbuhan manusia dan zaman.
Pertanyaan yang muncul
kemudian adalah mengapa aksi terorisme menggunakan bom masih menjadi senjata
andalan kawanan ini? Mutiara Andalas (2010) menyebut dalam kasus teror bom,
jaringan teroris memeluk teologi kekerasan.
Mereka menekuk
lututnya di hadapan ilah kekerasan. Mereka merangsang syahwat religius
orang-orang yang direkrutnya dengan janji kehidupan kekal setelah kehidupan
di dunia. Surga barangkali merupakan upah terbesar bagi mereka sehingga
mereka menemukan kekuatan untuk melakukan tindakan kekerasan sewenang-wenang
terhadap target korban.
Mereka memandang
target korbannya bukan sekadar musuh politik, melainkan musuh Allah.
Kenyataan di atas menegaskan bahwa kebenaran menjadi milik tunggal bagi
penafsir teks. Tafsiran lain di luar itu tidak dapat diterima dan harus
dienyahkan. Klaim kebenaran tunggal (truth
claim) ini seakan menegasikan kemanusiaan yang beradab. Lebih dari itu,
Tuhan seakan-akan menjadi milik tunggal kelompok ini.
Mereka akan memandang
kelompok lain bukan dari golongan yang terselamatkan (laisa minni). Maka tidak aneh jika seluruh gerakan, entah dalam
bentuk bom atau yang lain mereka anggap sebagai hal yang lumrah dan
dibenarkan oleh Tuhan. Padahal Tuhan adalah Maha Memelihara dan tidak menyukai
perbuatan merusak di muka bumi.
Tuhan pun senantiasa
menyeru umat manusia untuk selalu berbuat baik dan menjalin tali
silaturrahmi. Teologi kekerasan yang tertenam dalam benak teroris seakan
telah menutup mata bahwa kehidupan harus dibangun di atas harmoni.
Persamaian kerukunan
dan bina damai merupakan sebuah keniscayaan sebagai bagian dari tanggung
jawab moral manusia sebagai pemimpin di muka bumi (khalifatul fi alardhi). Namun mengapa teologi kekerasan masih
saja ada di Indonesia? Ihsan Ali- Fauzi (2011) menyebut radikalisme dapat
terkait dengan terorisme dalam beberapa segi.
Pertama, unsur
radikalisme tergambar dari cara-cara kekerasan terhadap warga sipil dan
terutama kepada aparat keamanan (polisi). Kedua, tidak semua radikalisme
menjadi terorisme. Dan tidak semua orang yang radikal berakhir sebagai
teroris.
Dalam beberapa studi,
menunjukkan bahwa hanya sedikit orang yang radikal yang pada akhirnya
berakhir menjadi teroris. Semua bergantung pada faktor-faktor di luar diri
sang teroris sendiri atau jaringannya.
Misalnya, sejauh mana
aparat keamanan atau masyarakat waspada atau tidak. Itu sebabnya, dalam
literatur tentang terorisme, dikenal istilah ”disengagement”: fakta bahwa seseorang menghindar dari melakukan
aksi-aksi teroris karena dia tidak ”mampu”, bukan tidak ”mau”, melakukannya.
Di sini, isi pikiran
sang teroris tetap sama, tapi hal itu tidak berujung pada perbuatan teroris.
Ketiga, baik radikalisme maupun terorisme terkait dengan masyarakat. Inilah
dimensi sosial keduanya.
Bedanya, sementara ada
masyarakat yang radikal, tetapi tidak ada masyarakat teroris. Sekalipun
demikian, aksi-aksi teroris mudah sekali tumbuh di dalam masyarakat yang
radikal, di mana aksi-aksi terorisme tidak hanya memperoleh simpati, tapi
juga mendapat dukungan.
Maka dari itu, guna
menekan atau setidaknya meminimalisasi gerakan ini, maka sudah selayaknya
Densus 88 Antiteror, BNPT, dan pihak-pihak terkait tidak melulu menggunakan
senjata dalam menyelesaikan masalah ini. Senjata hanya akan semakin
mengkristalkan niatan suci (baca: mati syahid) di tangan aparat.
Lebih lanjut,
pendekatan berbasis kemanusiaan sudah selayaknya ditempuh. Salah satunya
dengan terus melakukan komunikasi dan pembinaan. Komunikasi dapat ditembuh
melalui peran serta kiai/ulama/ustad dalam membina jamaah.
Pasalnya, kemunculan
sel-sel baru teroris seringkali karena kealpaan masyarakat membina
anggotanya; hubungan masyarakat yang semakin longgar; dan semakin menurunnya
pola hubungan berbasis sosial-budaya.
Tidak perlu latah
Tak kalah pentingnya
adalah peran serta media massa. Ada baiknya, media massa terutama televisi
tidak menjadi alat teroris untuk menyebarkan ”ideologinya”. Pemberitaan yang
massif dan bahkan bertajukbreaking news malah dapat menjadi senjata teroris
untuk menyebarkan ketakutan kepada khalayak ramai.
Masyarakat pun tidak
perlu terus latah, mengunggah gambar dan foto ke berbagai jejaring sosial.
Pengunggahan foto dan video sama artinya ”menyuburkan” persebaran teror
menuju titik sentral kegiatan masyarakat.
Pada akhirnya, semakin
tingginya intensitas terorisme seakan menegaskan bahwa Indonesia masih
menjadi lahan sumber tumbuhnya sel-sel baru teroris. Semua pihak sudah
selayaknya sadar bahwa, terorisme muncul bukan saja karena faktor individu.
Namun juga karena kurang tanggapnya masyarakat menyelesaikan persoalan ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar