Kamis, 21 Januari 2016

Dokter Rica dan Problem Pendidikan

Dokter Rica dan Problem Pendidikan

Saratri Wilonoyudho  ;   Peneliti dan Dosen Universitas Negeri Semarang
                                              SUARA MERDEKA, 14 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

BAGAIMANA mungkin orang secerdas dokter Rica bisa sampai kepencut aliran yang tidak jelas, sehingga yang bersangkutan rela meninggalkan suami, pekerjaan serta penghasilan yang mapan? Sulit dijelaskan memang. Tapi dari sisi pendidikan, nampak bahwa tingginya IQ dan kecerdasan, ternyata tidak pula menjamin kecerdasan spiritual dan emosional seseorang.
Tulisan ini tidak akan berpanjang lebar bicara soal dokter Rica dan aliran yang dimasukinya, namun akan menarik ke garis yang lebih panjang ke belakang yakni tentang soal alpanya pendidikan yang komplet.

Pendidikan mestinya tidak saja mampu menanamkan IQ, keterampilan, namun juga rasa, seni, empati, hubungan dengan Tuhan, dan sebagainya.
Dokter Rica adalah ”orang eksata”, sehingga dari sisi analitis mestinya ia jago. Tapi fakta menunjukkan ia menjadi ”tidak cerdas” ketika berhadapan dengan fenomena ”humaniora” dan ”ketuhanan”, terbukti ia bersedia meninggalkan suami tanpa khabar yang jelas justru dengan alasan ”jihad” agamanya. Padahal dalam agama apa pun pergi meninggalkan suami yang sah tanpa alasan dan tanpa izin adalah dosa. Dari titik itulah pentingnya ”kombinasi” antara pendidikan eksata dan humaniora dalam satu kemasan yang saling melengkapi.

Perdebatan tentang elitisme pendidikan seperti itu sudah lama terjadi di Inggris pada akhir tahun 1800-an. Pada saat itu ada rasa saling asing antara cendekiawan humaniora dan cendekiawan ilmu murni. Yang disebut terakhir ini seakan merupakan warga kelas satu. Ukurannya juga berbeda. Kalau cendekiawan humaniora diukur berdasarkan seberapa jauh pemahamannya terhadap karya sastra berbobot, misalnya karya Shakespiere. Adapun cendekiawan ilmu murni diukur bobotnya berdasarkan seberapa jauh mereka memahami konsep-konsep tentang energi, massa, hukum thermodinamika, dan sebagainya.

Adalah Lord CP Snow dalam pidatonya tentang The Two Cultures and the Scientific Revolution di Universitas Cambridge Inggris pada tahun 1959. Snow mengkritik elitisme tersebut yang dikhawatirkan melahirkan kesenjangan. Menurut Snow, orang sehebat apa pun dalam penguasaan ilmu-ilmu alam, namun tidak paham nuansa humanistik dan kemanusiaan, maka ia bukan cendekiawan sejati. Demikian pula sehebat apa pun ilmuwan humaniora namun tidak paham nuansa-nuansa fenomena alam, maka ia juga tiada artinya.

Kritik keras ini dilakukan karena Snow jengkel atas pandangan kaum aristokrat Inggris yang memandang rendah ilmu humaniora dan ilmu terapan. Padahal Revolusi Industri di Eropa Barat lahir karena temuan para praktisi bengkel (seperti James Watt, Wright Bersaudara, Graham Bell, Marconi, Edison, dst) dan bukan dari para ilmuwan ”sombong” yang dilahirkan oleh universitas. Nuansa Humanistik Ilmu dan teknologi hanya menghasilkan ”know how” (keterampilan teknis) dan ini adalah bentuk ”cara tanpa tujuan”, suatu potensi, suatu kalimat tidak lengkap. Sangat berbahaya jika know how itu berada di tangan orang yang tidak memiliki landasan humaniora dan kemanusiaan. Untuk itu tugas dunia pendidikan adalah menyebarkan ide tentang tata nilai, mengenai konsep tentang mau apa kita hidup ini.

Hal ini ditekankan karena science atau ilmu-ilmu eksata murni tidak dapat melahirkan ide untuk apa hidup kita ini. Ide terbesar dari science, sekalipun tidak lebih dari suatu hipotesis yang berfaedah untuk penelitian khusus, namun tidak untuk menafsirkan dunia. Karena itu jika orang mencari pendidikan karena merasa bingung dan hampa, yang dicari tidak akan ditemukan jika hanya mempelajari ilmu alam dan know how (keterampilan teknis).

Berbagai kasus konflik berkepanjangan dalam proyek-proyek pembangunan fisik di Tanah Air adalah alpanya keikutsertaan cendekiawan humaniora. Seolah proyek fisik seperti bendungan, jalan raya, lokasi pabrik, pengembangan wilayah, dan seterusnya, hanya soal rumus matematis beku belaka. Demikian pula berbagai tragedi tawuran antarmahasiswa, atau meredupnya nilai-nilai etika, budi pekerti, tata krama, moralitas, dan seterusnya, adalah buah dari lemahnya keterkaitan antara nuansa humanistik dan keterampilan teknis.

Anak-anak kita saat ini hanya di-drill siang malam untuk sekadar target lulus ujian nasional dan masuk perguruan tinggi guna mencari pekerjaan. Titik-titik krusial inilah yang mesti menjadi PR besar bagi Mendikbud yang notabene kini diamanahi untuk melakukan reformasi pendidikan. Dunia pendidikan di negeri ini harus menghasilkan manusia pandai, cerdas, memiliki keterampilan teknis sekaligus pandangan hidup dan nilai-nilai tentang hidup.

Harus diakui rusaknya dunia adalah buah dari para lulusan universitas. Tidak ada cerita tukang becak atau petani merusak alam. Yang merusak alam adalah para pemburu proyek, pemburu rente, pemburu uang dengan berbekal keterampilan teknis dan kekuasaan. Mereka itu adalah orangorang pintar yang tidak memiliki etika dan pandangan hidup tentang kemanusiaan serta pandangan tentang untuk apa hidup ini.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar