Dokter Rica dan Problem Pendidikan
Saratri Wilonoyudho ; Peneliti dan Dosen Universitas Negeri
Semarang
|
SUARA
MERDEKA, 14 Januari 2016
BAGAIMANA mungkin orang secerdas dokter Rica
bisa sampai kepencut aliran yang tidak jelas, sehingga yang bersangkutan rela
meninggalkan suami, pekerjaan serta penghasilan yang mapan? Sulit dijelaskan
memang. Tapi dari sisi pendidikan, nampak bahwa tingginya IQ dan kecerdasan,
ternyata tidak pula menjamin kecerdasan spiritual dan emosional seseorang.
Tulisan ini tidak akan berpanjang lebar bicara
soal dokter Rica dan aliran yang dimasukinya, namun akan menarik ke garis
yang lebih panjang ke belakang yakni tentang soal alpanya pendidikan yang
komplet.
Pendidikan mestinya tidak saja mampu
menanamkan IQ, keterampilan, namun juga rasa, seni, empati, hubungan dengan
Tuhan, dan sebagainya.
Dokter Rica adalah ”orang eksata”, sehingga
dari sisi analitis mestinya ia jago. Tapi fakta menunjukkan ia menjadi ”tidak
cerdas” ketika berhadapan dengan fenomena ”humaniora” dan ”ketuhanan”,
terbukti ia bersedia meninggalkan suami tanpa khabar yang jelas justru dengan
alasan ”jihad” agamanya. Padahal dalam agama apa pun pergi meninggalkan suami
yang sah tanpa alasan dan tanpa izin adalah dosa. Dari titik itulah
pentingnya ”kombinasi” antara pendidikan eksata dan humaniora dalam satu
kemasan yang saling melengkapi.
Perdebatan tentang elitisme pendidikan seperti
itu sudah lama terjadi di Inggris pada akhir tahun 1800-an. Pada saat itu ada
rasa saling asing antara cendekiawan humaniora dan cendekiawan ilmu murni.
Yang disebut terakhir ini seakan merupakan warga kelas satu. Ukurannya juga
berbeda. Kalau cendekiawan humaniora diukur berdasarkan seberapa jauh
pemahamannya terhadap karya sastra berbobot, misalnya karya Shakespiere.
Adapun cendekiawan ilmu murni diukur bobotnya berdasarkan seberapa jauh
mereka memahami konsep-konsep tentang energi, massa, hukum thermodinamika,
dan sebagainya.
Adalah Lord CP Snow dalam pidatonya tentang
The Two Cultures and the Scientific Revolution di Universitas Cambridge
Inggris pada tahun 1959. Snow mengkritik elitisme tersebut yang dikhawatirkan
melahirkan kesenjangan. Menurut Snow, orang sehebat apa pun dalam penguasaan
ilmu-ilmu alam, namun tidak paham nuansa humanistik dan kemanusiaan, maka ia
bukan cendekiawan sejati. Demikian pula sehebat apa pun ilmuwan humaniora
namun tidak paham nuansa-nuansa fenomena alam, maka ia juga tiada artinya.
Kritik keras ini dilakukan karena Snow jengkel
atas pandangan kaum aristokrat Inggris yang memandang rendah ilmu humaniora
dan ilmu terapan. Padahal Revolusi Industri di Eropa Barat lahir karena
temuan para praktisi bengkel (seperti James Watt, Wright Bersaudara, Graham
Bell, Marconi, Edison, dst) dan bukan dari para ilmuwan ”sombong” yang
dilahirkan oleh universitas. Nuansa Humanistik Ilmu dan teknologi hanya
menghasilkan ”know how”
(keterampilan teknis) dan ini adalah bentuk ”cara tanpa tujuan”, suatu
potensi, suatu kalimat tidak lengkap. Sangat berbahaya jika know how itu berada di tangan orang
yang tidak memiliki landasan humaniora dan kemanusiaan. Untuk itu tugas dunia
pendidikan adalah menyebarkan ide tentang tata nilai, mengenai konsep tentang
mau apa kita hidup ini.
Hal ini ditekankan karena science atau
ilmu-ilmu eksata murni tidak dapat melahirkan ide untuk apa hidup kita ini.
Ide terbesar dari science, sekalipun tidak lebih dari suatu hipotesis yang
berfaedah untuk penelitian khusus, namun tidak untuk menafsirkan dunia.
Karena itu jika orang mencari pendidikan karena merasa bingung dan hampa,
yang dicari tidak akan ditemukan jika hanya mempelajari ilmu alam dan know how (keterampilan teknis).
Berbagai kasus konflik berkepanjangan dalam
proyek-proyek pembangunan fisik di Tanah Air adalah alpanya keikutsertaan
cendekiawan humaniora. Seolah proyek fisik seperti bendungan, jalan raya,
lokasi pabrik, pengembangan wilayah, dan seterusnya, hanya soal rumus
matematis beku belaka. Demikian pula berbagai tragedi tawuran antarmahasiswa,
atau meredupnya nilai-nilai etika, budi pekerti, tata krama, moralitas, dan
seterusnya, adalah buah dari lemahnya keterkaitan antara nuansa humanistik
dan keterampilan teknis.
Anak-anak kita saat ini hanya di-drill siang malam untuk sekadar target
lulus ujian nasional dan masuk perguruan tinggi guna mencari pekerjaan.
Titik-titik krusial inilah yang mesti menjadi PR besar bagi Mendikbud yang
notabene kini diamanahi untuk melakukan reformasi pendidikan. Dunia pendidikan
di negeri ini harus menghasilkan manusia pandai, cerdas, memiliki
keterampilan teknis sekaligus pandangan hidup dan nilai-nilai tentang hidup.
Harus diakui rusaknya dunia adalah buah dari
para lulusan universitas. Tidak ada cerita tukang becak atau petani merusak
alam. Yang merusak alam adalah para pemburu proyek, pemburu rente, pemburu
uang dengan berbekal keterampilan teknis dan kekuasaan. Mereka itu adalah
orangorang pintar yang tidak memiliki etika dan pandangan hidup tentang
kemanusiaan serta pandangan tentang untuk apa hidup ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar