Senin, 18 Januari 2016

Kemiskinan Perlu Fokus Penanganan

Kemiskinan Perlu Fokus Penanganan

Firmanzah  ;   Rektor Universitas Paramadina;
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI
                                                  KORAN SINDO, 11 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Data tentang kemiskinan yang dipublikasikan Badan Pusat Statistik (BPS) baru-baru ini semakin menunjukkan perlunya penanganan khusus program-program penanggulangan kemiskinan nasional. Bahkan menurut saya, pengentasan kemiskinan sama pentingnya dengan program pembangunan infrastruktur yang sedang digalakkan oleh pemerintah saat ini. Mengapa? Karena tanpa adanya keterpaduan sektoral, dikhawatirkan target mengentaskan penduduk di bawah garis kemiskinan akan semakin sulit dilakukan.

Dengan sejumlah tantangan ekonomi baik global maupun domestik di 2016, tanpa fokus penanganan, dikhawatirkan jumlah penduduk miskin akan semakin besar. Anggaran dalam APBN memerlukan sinkronisasi dan harmonisasi program-program intervensi pengentasan kemiskinan kalau kita menginginkan anggaran tersebut bisa efektif dan berdampak untuk membuat masyarakat hampir miskin, miskin, dan sangat miskin keluar dari Garis Kemiskinan.

Menurut BPS, angka kemiskinan September 2015 bertambah 780.000 jiwa bila dibandingkan dengan September 2014. Penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan per September 2014 sebesar 27,73 juta jiwa, meningkat menjadi 28,51 juta jiwa di September 2015. Secara persentase terhadap total penduduk juga meningkat, di mana September 2015, persentase penduduk miskin sebesar 11,13% naik dari periode yang sama tahun sebelumnya yaitu sebesar 10,96%.

Jadi, meski sedikit menurun dari posisi Maret 2015 yang mencapai 28,59 juta jiwa atau 11,22%, bila dibandingkan secara keseluruhan year on year, angka kemiskinan 2015 meningkat, baik jumlah maupun persentasenya. Ini juga membuat target angka kemiskinan yang tertuang dalam APBNP 2015 sebesar 10,3% tidak tercapai.

BPS juga mencatat, peranan komoditi makanan terhadap Garis Kemiskinan sangat besar bila dibandingkan dengan kelompok komoditi non-makanan seperti perumahan, sandang, pendidikan, kesehatan, dan kesehatan.

Kontribusi komoditas makanan seperti beras, rokok keretek filter, telur ayam ras, daging ayam ras, mi instan, gula pasir, tempe dan tahu secara keseluruhan menyumbang 73,07% terhadap Garis Kemiskinan pada September 2015. Ini menunjukkan, pemerintah perlu ekstra bekerja untuk mengelola volatilitas harga komoditas makanan yang berkontribusi sangat besar terhadap naik turunnya angka kemiskinan.

Kecukupan stok, produksi, dan jalur distribusi perlu mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah agar tidak terjadi gejolak harga yang berpotensi meningkatkan jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan pada 2016. Selain itu, BPS mencatat indeks kedalaman dan keparahan kemiskinan tahun 2015 lebih buruk dibandingkan 2014.

Indeks keparahan kemiskinan menunjukkan pola sebaran pengeluaran antarpendudukmiskin. Semakin besar indeks ini semakin menunjukkan beda pengeluaran antarpendudukmiskin semakin jauh dan tidak terkumpul pada satu angka. Indeks keparahan kemiskinan September 2015 di level 0,51 meningkat cukup tajam bila dibandingkan September 2014 yang berada di level 0,44.

Hal ini semakin menyulitkan fokus dari program-program pengentasan kemiskinan lantaran semakin tersebarnya beda pengeluaran antarpenduduk- miskin. Sebaliknya, semakin terkonsentrasi angka pengeluaran, program-program pengentasan kemiskinan menjadi lebih tepat sasaran. Indeks kedalaman kemiskinan yang menghitung jarak antara pengeluaran penduduk miskin dengan garis kemiskinan, juga meningkat.

Bila di September 2014 indeks kedalaman kemiskinan berada di level 1,75, di September 2015 meningkat dan berada di level 1,84. Semakin jauhnya pengeluaran penduduk miskin dengan Garis Kemiskinan semakin menyulitkan untuk membawa kelompok hampir miskin berada di atas Garis Kemiskinan.

Begitu juga dengan kelompok yang dikategorikan sebagai miskin dan sangat miskin, juga akan semakin sulit untuk keluar dari kelompok tersebut, apalagi dientaskan di atas garis kemiskinan. Pengentasan kemiskinan memerlukan fokus penanganan agar lebih efektif dan efisien. Koordinasi dan harmonisasi kebijakan lintas kementrian/lembaga (K/L) merupakan keniscayaan.

Dalam APBNP 2015, program-program pengentasan kemiskinan tersebar ke tidakkurang 11 K/L dengan total anggaran yang sebenarnya sangat besar, mencapai Rp137,6 triliun. Tanpa koordinasi yang baik untuk penyatuan programprogram pengentasan kemiskinan, pelaksanaan program kerja berpotensi kehilangan daya efek di lapangan.

Ini terbukti, meski total anggaran pengentasan kemiskinan cukup besar dalam APBNP 2015, tidak serta-merta mampu menurunkan jumlah dan persentase penduduk Indonesia di bawah Garis Kemiskinan. Selain itu, juga pemahaman bahwa angka kemiskinan akan otomatis turun bilamana infrastruktur baik dasar maupun infrastruktur komersial dibangun, merupakan pemahaman keliru.

Banyak penelitian menunjukkan, pembangunan proyek- proyek infrastruktur akan memiliki dampak langsung perusahaan atau penduduk kelas menengah baik yang memiliki aset, kapital, keterampilan, dan keahlian yang mendapatkan manfaat dari tergelarnya pembangunan infrastruktur. Kelompok insinyur, konsultan proyek, perbankan, dan asuransi jelas bukan kelompok masyarakat miskin.

Penduduk miskin masih memerlukan waktu cukup panjang untuk bisa mendapatkan manfaat dari pembangunan proyek-proyek infrastruktur. Oleh karena itu, pengentasan kemiskinan dalam jangka pendek tidak dapat hanya mengandalkan membangun proyek infrastruktur. Perlu program-program intervensi yang langsung menyasar kelompok- kelompok yang selama ini rentan dan menjadi kantong- kantong kemiskinan di Indonesia.

Dengan melihat tren kenaikan angka kemiskinan pada 2015, menurut saya pengentasan kemiskinan layak menjadi program prioritas pembangunan nasional sama pentingnya dengan pembangunan infrastruktur. Pembuatan program-program intervensi pengentasan kemiskinan memerlukan data penduduk miskin yang akurat dan kredibel. Update dan sinkronisasi data kemiskinan lintas K/L menjadi hal penting yang harus dilakukan oleh pemerintah.

Untuk dapat membuat program-program intervensi memiliki daya pengaruh, saya melihat political dan goodwill dari Presiden dan Wakil Presiden perlu lebih ditonjolkan dalam setiap arahan dan pidato. Target penurunan angka kemiskinan dalam APBN 2016 cukup ambisius, berada dalam rentang 9,0-10,0%. Ini akan semakin sulit dicapai kalau tidak ada dorongan political dan goodwill dari pimpinan tertinggi pemerintah yang secara permanen disampaikan.

Programprogram intervensi pengentasan kemiskinan yang tersebar di banyak K/L harus terus dikawal. Selain itu, koordinasi dengan pemerintah daerah juga perlu terus ditingkatkan. Ini karena pemerintah daerah juga memiliki program-program pengentasan kemiskinan dan merekalah yang paling memahami situasi di lapangan.

Dengan demikian, penanganan kemiskinan juga akan semakin tepat sasaran karena disesuaikan dengan karakteristik dan kondisi masyarakat setempat. Hal ini membuat program-program intervensi akan lebih efektif dan berdampak pada pengentasan kemiskinan di Indonesia.

Dan kita semua bisa optimistis, jumlah dan persentase penduduk miskin di 2016 dapat ditekan dan mencapai target sesuai yang ditetapkan dalam APBN 2016.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar