Kemiskinan Perlu Fokus Penanganan
Firmanzah ; Rektor Universitas Paramadina;
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan
Bisnis UI
|
KORAN
SINDO, 11 Januari 2016
Data tentang kemiskinan yang dipublikasikan Badan Pusat
Statistik (BPS) baru-baru ini semakin menunjukkan perlunya penanganan khusus
program-program penanggulangan kemiskinan nasional. Bahkan menurut saya,
pengentasan kemiskinan sama pentingnya dengan program pembangunan
infrastruktur yang sedang digalakkan oleh pemerintah saat ini. Mengapa?
Karena tanpa adanya keterpaduan sektoral, dikhawatirkan target mengentaskan
penduduk di bawah garis kemiskinan akan semakin sulit dilakukan.
Dengan sejumlah tantangan ekonomi baik global maupun domestik di
2016, tanpa fokus penanganan, dikhawatirkan jumlah penduduk miskin akan
semakin besar. Anggaran dalam APBN memerlukan sinkronisasi dan harmonisasi
program-program intervensi pengentasan kemiskinan kalau kita menginginkan
anggaran tersebut bisa efektif dan berdampak untuk membuat masyarakat hampir
miskin, miskin, dan sangat miskin keluar dari Garis Kemiskinan.
Menurut BPS, angka kemiskinan September 2015 bertambah 780.000
jiwa bila dibandingkan dengan September 2014. Penduduk yang hidup di bawah
garis kemiskinan per September 2014 sebesar 27,73 juta jiwa, meningkat
menjadi 28,51 juta jiwa di September 2015. Secara persentase terhadap total
penduduk juga meningkat, di mana September 2015, persentase penduduk miskin sebesar
11,13% naik dari periode yang sama tahun sebelumnya yaitu sebesar 10,96%.
Jadi, meski sedikit menurun dari posisi Maret 2015 yang mencapai
28,59 juta jiwa atau 11,22%, bila dibandingkan secara keseluruhan year on year, angka kemiskinan 2015
meningkat, baik jumlah maupun persentasenya. Ini juga membuat target angka
kemiskinan yang tertuang dalam APBNP 2015 sebesar 10,3% tidak tercapai.
BPS juga mencatat, peranan komoditi makanan terhadap Garis
Kemiskinan sangat besar bila dibandingkan dengan kelompok komoditi
non-makanan seperti perumahan, sandang, pendidikan, kesehatan, dan kesehatan.
Kontribusi komoditas makanan seperti beras, rokok keretek
filter, telur ayam ras, daging ayam ras, mi instan, gula pasir, tempe dan
tahu secara keseluruhan menyumbang 73,07% terhadap Garis Kemiskinan pada
September 2015. Ini menunjukkan, pemerintah perlu ekstra bekerja untuk
mengelola volatilitas harga komoditas makanan yang berkontribusi sangat besar
terhadap naik turunnya angka kemiskinan.
Kecukupan stok, produksi, dan jalur distribusi perlu mendapatkan
perhatian khusus dari pemerintah agar tidak terjadi gejolak harga yang
berpotensi meningkatkan jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan pada 2016.
Selain itu, BPS mencatat indeks kedalaman dan keparahan kemiskinan tahun 2015
lebih buruk dibandingkan 2014.
Indeks keparahan kemiskinan menunjukkan pola sebaran pengeluaran
antarpendudukmiskin. Semakin besar indeks ini semakin menunjukkan beda
pengeluaran antarpendudukmiskin semakin jauh dan tidak terkumpul pada satu angka.
Indeks keparahan kemiskinan September 2015 di level 0,51 meningkat cukup
tajam bila dibandingkan September 2014 yang berada di level 0,44.
Hal ini semakin menyulitkan fokus dari program-program
pengentasan kemiskinan lantaran semakin tersebarnya beda pengeluaran
antarpenduduk- miskin. Sebaliknya, semakin terkonsentrasi angka pengeluaran,
program-program pengentasan kemiskinan menjadi lebih tepat sasaran. Indeks
kedalaman kemiskinan yang menghitung jarak antara pengeluaran penduduk miskin
dengan garis kemiskinan, juga meningkat.
Bila di September 2014 indeks kedalaman kemiskinan berada di
level 1,75, di September 2015 meningkat dan berada di level 1,84. Semakin
jauhnya pengeluaran penduduk miskin dengan Garis Kemiskinan semakin
menyulitkan untuk membawa kelompok hampir miskin berada di atas Garis
Kemiskinan.
Begitu juga dengan kelompok yang dikategorikan sebagai miskin
dan sangat miskin, juga akan semakin sulit untuk keluar dari kelompok
tersebut, apalagi dientaskan di atas garis kemiskinan. Pengentasan kemiskinan
memerlukan fokus penanganan agar lebih efektif dan efisien. Koordinasi dan
harmonisasi kebijakan lintas kementrian/lembaga (K/L) merupakan keniscayaan.
Dalam APBNP 2015, program-program pengentasan kemiskinan
tersebar ke tidakkurang 11 K/L dengan total anggaran yang sebenarnya sangat
besar, mencapai Rp137,6 triliun. Tanpa koordinasi yang baik untuk penyatuan
programprogram pengentasan kemiskinan, pelaksanaan program kerja berpotensi
kehilangan daya efek di lapangan.
Ini terbukti, meski total anggaran pengentasan kemiskinan cukup
besar dalam APBNP 2015, tidak serta-merta mampu menurunkan jumlah dan
persentase penduduk Indonesia di bawah Garis Kemiskinan. Selain itu, juga
pemahaman bahwa angka kemiskinan akan otomatis turun bilamana infrastruktur
baik dasar maupun infrastruktur komersial dibangun, merupakan pemahaman
keliru.
Banyak penelitian menunjukkan, pembangunan proyek- proyek
infrastruktur akan memiliki dampak langsung perusahaan atau penduduk kelas
menengah baik yang memiliki aset, kapital, keterampilan, dan keahlian yang
mendapatkan manfaat dari tergelarnya pembangunan infrastruktur. Kelompok
insinyur, konsultan proyek, perbankan, dan asuransi jelas bukan kelompok
masyarakat miskin.
Penduduk miskin masih memerlukan waktu cukup panjang untuk bisa
mendapatkan manfaat dari pembangunan proyek-proyek infrastruktur. Oleh karena
itu, pengentasan kemiskinan dalam jangka pendek tidak dapat hanya
mengandalkan membangun proyek infrastruktur. Perlu program-program intervensi
yang langsung menyasar kelompok- kelompok yang selama ini rentan dan menjadi
kantong- kantong kemiskinan di Indonesia.
Dengan melihat tren kenaikan angka kemiskinan pada 2015, menurut
saya pengentasan kemiskinan layak menjadi program prioritas pembangunan
nasional sama pentingnya dengan pembangunan infrastruktur. Pembuatan
program-program intervensi pengentasan kemiskinan memerlukan data penduduk
miskin yang akurat dan kredibel. Update dan sinkronisasi data kemiskinan
lintas K/L menjadi hal penting yang harus dilakukan oleh pemerintah.
Untuk dapat membuat program-program intervensi memiliki daya
pengaruh, saya melihat political dan goodwill dari Presiden dan Wakil
Presiden perlu lebih ditonjolkan dalam setiap arahan dan pidato. Target
penurunan angka kemiskinan dalam APBN 2016 cukup ambisius, berada dalam
rentang 9,0-10,0%. Ini akan semakin sulit dicapai kalau tidak ada dorongan
political dan goodwill dari pimpinan tertinggi pemerintah yang secara
permanen disampaikan.
Programprogram intervensi pengentasan kemiskinan yang tersebar
di banyak K/L harus terus dikawal. Selain itu, koordinasi dengan pemerintah
daerah juga perlu terus ditingkatkan. Ini karena pemerintah daerah juga
memiliki program-program pengentasan kemiskinan dan merekalah yang paling memahami
situasi di lapangan.
Dengan demikian, penanganan kemiskinan juga akan semakin tepat
sasaran karena disesuaikan dengan karakteristik dan kondisi masyarakat
setempat. Hal ini membuat program-program intervensi akan lebih efektif dan
berdampak pada pengentasan kemiskinan di Indonesia.
Dan kita semua bisa optimistis, jumlah dan persentase penduduk
miskin di 2016 dapat ditekan dan mencapai target sesuai yang ditetapkan dalam
APBN 2016. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar