MEA dan Strategi Kolektif Antarnegara
Sudjito ; Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Gadjah
Mada
|
KORAN
SINDO, 11 Januari 2016
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) sudah hadir dan menjadi bagian
kehidupan bersama negara-negara ASEAN. Dalam keotentikannya, MEA dimaksudkan
sebagai ajang kolaborasi, kerja sama, saling menguatkan posisi dan daya
saing, berhadapan dengan negara-negara di luar ASEAN, yang dikalkulasi
sedemikian kuat dalam menguasai pasar dunia. Agar negara-negara ASEAN mampu
bersaing, tidak takluk, syukur unggul, persatuan negara-negara ASEAN menjadi
kata kuncinya.
Abdulkadir Jailani, direktur Perjanjian Ekonomi dan Sosial
Budaya Kementerian Luar Negeri, menyatakan, “Solidaritas ASEAN harus terlihat
dalam semua sikap dan langkah negara ASEAN disetiap pilar Komunitas ASEAN.
Tidak hanya dalam konteks penanganan isu politik keamanan, persoalan
solidaritas ASEAN dalam konteks ekonomi juga menghadapi tantangan serupa.
ASEAN telah mencanangkan agenda ekonomi yang cukup ambisius yaitu
terwujudnya ASEAN Economic Community pada akhir 2015. Sasaran kerja sama di
bidang ekonomi tersebut sangat memerlukan solidaritas kawasan yang lebih
kuat. Negara-negara ASEAN juga perlu mengutamakan strategi kolektif dalam
menghadapi tantangan ekonomi global daripada terjebak pertimbangan sempit
kepentingan ekonomi masing-masing negara.
Solidaritas ASEAN merupakan salah satu syarat mutlak untuk
mewujudkan ASEAN sebagai blok ekonomi kawasan yang dinamis” (Opini KORAN
SINDO, 3/9/2015). Dalam pada itu, Wijayanto Samirin, staf khusus Bidang
Ekonomi dan Keuangan Wakil Presiden (2/1/2015) menyatakan bahwa persaingan
antarnegara ASEAN merupakan konsekuensi yang tidak terhindarkan.
Persaingan utama adalah berebut foreign direct investment (FDI)
serta pasar ekspor di kawasan. MEA sebagai pasar tunggal memungkinkan satu
negara ASEAN menjual barang dan jasa ke negara ASEAN lainnya dengan mudah
sehingga kompetisi akan makin ketat. MEA tidak hanya membuka arus perdagangan
barang atau jasa, tetapi juga pasar tenaga kerja profesional seperti dokter,
pengacara, dan akuntan.
Selain itu, MEA pun membuka arus bebas investasi dan arus bebas
modal. Kalkulasi rasional mengisyaratkan bahwa di dalam MEA tersebut
negara-negara ASEAN (khususnya Indonesia) belum siap mengutamakan strategi
kolektif, bahkan dikhawatirkan terjebak pada kompetisi (persaingan) tidak
sehat, saling menafikan, dan tega sesama anggota MEA.
Kebijakan Ekonomi Pemerintah Jilid I sampai Jilid IV serta
imbauan pejabat publik agar setiap komponen bangsa meningkatkan daya saing
secara implisit merupakan tekad pemerintah mengonsepkan strategi kolektif
agar unggul dan mampu menepis konsekuensi negatif MEA.
Ditarik ke belakang, Indonesia pada 1945 ketika menyatakan
sebagai negara merdeka adalah negara yang ingin berubah secara revolutif dari
negara agraris ke negara industrialis. Memasuki era industrialisasi, secara
sadar negara harus menerapkan prinsip “keterbukaan” terhadap negara lain.
Terkait prinsip keterbukaan itu dipastikan muncul berbagai
pemikiran, baik yang sifatnya kolektivistis maupun individualistis. Di situ
ada proses (baik cepat atau lambat) akulturasi nilai-nilai baru ke dalam
budaya asli. Pada ranah kehidupan ekonomi, tarik-menarik antara pemikiran
kolektivitas dan pemikiran individualitas berlangsung seru dan cepat. Mudah
ditemukan praktik bisnis yang sudah memisahkan dengan urusan keluarga. Tidak
ada istilah “harga keluarga”.
Artinya, kolektivitas sudah dikalahkan oleh individualitas. Ini
rasional, berjalan sebagai kesadaran, demi kesuksesan bisnis itu sendiri.
Diperkirakan, proses akulturasi berlangsung lama, dalam dinamika tinggi,
sebelum tercapai suatu keadaan proporsional yakni kehidupan bernegara sebagai
dianalogikan dengan keluarga besar.
Menengok ke negara Jepang, sebagai negara yang mendongengkan
banyak cerita sukses di bidang ekonomi maupun bidang-bidang lain, ternyata
negara itu pernah mengalami kegelisahan tentang pergeseran kolektivitas
menjadi individualitas.
Ichiro Ozawa dalam Rethinking
of a Nation (1994) mendeskripsikan bahwa Jepang yang selama ini memiliki
jiwa kolektivitas tinggi, disiplin sosial ketat, etos kerja hebat, ternyata
secara diamdiam mulai menerapkan prinsip keterbukaan, yang di dalamnya
terkandung prinsip “kebebasan” individu untuk menentukan cara hidup terbaik.
Ozawa membenarkan bahwa Jepang mulai berpikir liberal.
Perwujudan kebebasan berpikir tampak nyata dalam bidang ekonomi.
Mulai dari sana, Jepang unggul dalam pergaulan perekonomian dunia dan
berhasil meraih berbagai prestasi gemilang. Jepang memang cerdas, tahu dan
mampu mengelola kolektivitas dan individualitas secara proporsional dan
kontekstual. Negara-negara ASEAN mestinya banyak belajar dari cerita sukses
Jepang di atas.
Dalam konteks MEA, strategi kolektif tetap diunggulkan, dan
semaksimal mungkin ego kompetitif dikendalikan secara ketat. Beberapa agenda
agar strategi kolektif tersebut efektif adalah sebagai berikut: Pertama,
persamaan persepsi dan konsep negara-negara ASEAN tentang MEA agar tidak ada
hambatan internal mengenai apa, mengapa, dan bagaimana masalah-masalah MEA
harus dikelola secara adil.
Kedua, upaya peningkatan daya saing negara-negara ASEAN terhadap
negara-negara lain, tidak boleh dipisahkan dari aspek nasionalisme
masing-masing negara. Ketiga, orientasi pelaksanaan dan tolok ukur
keberhasilan MEA dirumuskan secara konkret. Keunikan, keterbatasan, dan
keunggulan kultural masing-masing negara ASEAN dipertimbangkan seksama.
Keempat, strategi kolektif dalam MEA bersifat multidimensional, banyak
faktor, dan banyak pihak terkait.
Karena itu, semua negara ASEAN harus saling berkontribusi, dilandasi
integritas dengan visi kebangsaan. Kepentingan bangsa tidak boleh
terkorbankan karena MEA. Semua negara ASEAN harus berani melepaskan diri dari
kungkungan liberalisme, positivisme, dan kapitalisme, yang selama ini
membelenggu, dan berani melakukan pencerahan dengan nilai-nilai luhur dari
budaya nasionalnya. Khusus bagi Indonesia adalah berpegang teguh pada
Pancasila. Wallahualam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar