Senin, 18 Januari 2016

MEA dan Strategi Kolektif Antarnegara

MEA dan Strategi Kolektif Antarnegara

Sudjito  ;   Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada
                                                  KORAN SINDO, 11 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) sudah hadir dan menjadi bagian kehidupan bersama negara-negara ASEAN.  Dalam keotentikannya, MEA dimaksudkan sebagai ajang kolaborasi, kerja sama, saling menguatkan posisi dan daya saing, berhadapan dengan negara-negara di luar ASEAN, yang dikalkulasi sedemikian kuat dalam menguasai pasar dunia. Agar negara-negara ASEAN mampu bersaing, tidak takluk, syukur unggul, persatuan negara-negara ASEAN menjadi kata kuncinya.

Abdulkadir Jailani, direktur Perjanjian Ekonomi dan Sosial Budaya Kementerian Luar Negeri, menyatakan, “Solidaritas ASEAN harus terlihat dalam semua sikap dan langkah negara ASEAN disetiap pilar Komunitas ASEAN. Tidak hanya dalam konteks penanganan isu politik keamanan, persoalan solidaritas ASEAN dalam konteks ekonomi juga menghadapi tantangan serupa.

ASEAN telah mencanangkan agenda ekonomi yang cukup ambisius yaitu terwujudnya ASEAN Economic Community pada akhir 2015. Sasaran kerja sama di bidang ekonomi tersebut sangat memerlukan solidaritas kawasan yang lebih kuat. Negara-negara ASEAN juga perlu mengutamakan strategi kolektif dalam menghadapi tantangan ekonomi global daripada terjebak pertimbangan sempit kepentingan ekonomi masing-masing negara.

Solidaritas ASEAN merupakan salah satu syarat mutlak untuk mewujudkan ASEAN sebagai blok ekonomi kawasan yang dinamis” (Opini KORAN SINDO, 3/9/2015). Dalam pada itu, Wijayanto Samirin, staf khusus Bidang Ekonomi dan Keuangan Wakil Presiden (2/1/2015) menyatakan bahwa persaingan antarnegara ASEAN merupakan konsekuensi yang tidak terhindarkan.

Persaingan utama adalah berebut foreign direct investment (FDI) serta pasar ekspor di kawasan. MEA sebagai pasar tunggal memungkinkan satu negara ASEAN menjual barang dan jasa ke negara ASEAN lainnya dengan mudah sehingga kompetisi akan makin ketat. MEA tidak hanya membuka arus perdagangan barang atau jasa, tetapi juga pasar tenaga kerja profesional seperti dokter, pengacara, dan akuntan.

Selain itu, MEA pun membuka arus bebas investasi dan arus bebas modal. Kalkulasi rasional mengisyaratkan bahwa di dalam MEA tersebut negara-negara ASEAN (khususnya Indonesia) belum siap mengutamakan strategi kolektif, bahkan dikhawatirkan terjebak pada kompetisi (persaingan) tidak sehat, saling menafikan, dan tega sesama anggota MEA.

Kebijakan Ekonomi Pemerintah Jilid I sampai Jilid IV serta imbauan pejabat publik agar setiap komponen bangsa meningkatkan daya saing secara implisit merupakan tekad pemerintah mengonsepkan strategi kolektif agar unggul dan mampu menepis konsekuensi negatif MEA.

Ditarik ke belakang, Indonesia pada 1945 ketika menyatakan sebagai negara merdeka adalah negara yang ingin berubah secara revolutif dari negara agraris ke negara industrialis. Memasuki era industrialisasi, secara sadar negara harus menerapkan prinsip “keterbukaan” terhadap negara lain.

Terkait prinsip keterbukaan itu dipastikan muncul berbagai pemikiran, baik yang sifatnya kolektivistis maupun individualistis. Di situ ada proses (baik cepat atau lambat) akulturasi nilai-nilai baru ke dalam budaya asli. Pada ranah kehidupan ekonomi, tarik-menarik antara pemikiran kolektivitas dan pemikiran individualitas berlangsung seru dan cepat. Mudah ditemukan praktik bisnis yang sudah memisahkan dengan urusan keluarga. Tidak ada istilah “harga keluarga”.

Artinya, kolektivitas sudah dikalahkan oleh individualitas. Ini rasional, berjalan sebagai kesadaran, demi kesuksesan bisnis itu sendiri. Diperkirakan, proses akulturasi berlangsung lama, dalam dinamika tinggi, sebelum tercapai suatu keadaan proporsional yakni kehidupan bernegara sebagai dianalogikan dengan keluarga besar.

Menengok ke negara Jepang, sebagai negara yang mendongengkan banyak cerita sukses di bidang ekonomi maupun bidang-bidang lain, ternyata negara itu pernah mengalami kegelisahan tentang pergeseran kolektivitas menjadi individualitas.

Ichiro Ozawa dalam Rethinking of a Nation (1994) mendeskripsikan bahwa Jepang yang selama ini memiliki jiwa kolektivitas tinggi, disiplin sosial ketat, etos kerja hebat, ternyata secara diamdiam mulai menerapkan prinsip keterbukaan, yang di dalamnya terkandung prinsip “kebebasan” individu untuk menentukan cara hidup terbaik. Ozawa membenarkan bahwa Jepang mulai berpikir liberal.

Perwujudan kebebasan berpikir tampak nyata dalam bidang ekonomi. Mulai dari sana, Jepang unggul dalam pergaulan perekonomian dunia dan berhasil meraih berbagai prestasi gemilang. Jepang memang cerdas, tahu dan mampu mengelola kolektivitas dan individualitas secara proporsional dan kontekstual. Negara-negara ASEAN mestinya banyak belajar dari cerita sukses Jepang di atas.

Dalam konteks MEA, strategi kolektif tetap diunggulkan, dan semaksimal mungkin ego kompetitif dikendalikan secara ketat. Beberapa agenda agar strategi kolektif tersebut efektif adalah sebagai berikut: Pertama, persamaan persepsi dan konsep negara-negara ASEAN tentang MEA agar tidak ada hambatan internal mengenai apa, mengapa, dan bagaimana masalah-masalah MEA harus dikelola secara adil.

Kedua, upaya peningkatan daya saing negara-negara ASEAN terhadap negara-negara lain, tidak boleh dipisahkan dari aspek nasionalisme masing-masing negara. Ketiga, orientasi pelaksanaan dan tolok ukur keberhasilan MEA dirumuskan secara konkret. Keunikan, keterbatasan, dan keunggulan kultural masing-masing negara ASEAN dipertimbangkan seksama. Keempat, strategi kolektif dalam MEA bersifat multidimensional, banyak faktor, dan banyak pihak terkait.

Karena itu, semua negara ASEAN harus saling berkontribusi, dilandasi integritas dengan visi kebangsaan. Kepentingan bangsa tidak boleh terkorbankan karena MEA. Semua negara ASEAN harus berani melepaskan diri dari kungkungan liberalisme, positivisme, dan kapitalisme, yang selama ini membelenggu, dan berani melakukan pencerahan dengan nilai-nilai luhur dari budaya nasionalnya. Khusus bagi Indonesia adalah berpegang teguh pada Pancasila. Wallahualam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar