Bersatu Memuliakan Guru
Fathur Rokhman ; Rektor Universitas Negeri Semarang
|
SUARA
MERDEKA, 09 Januari 2016
SEORANG guru SD di
Majalengka, Jawa Barat, dicukur oleh orang tua siswa. Pasalnya, orang tua
siswa tidak terima karena anaknya dicukur oleh guru bersangkutan.
Guru itu menerima
intimidasi, harus berperkara di pengadilan, meskipun akhirnya divonis tidak
bersalah oleh Mahkamah Agung. Kabar tentang pencukuran guru oleh orang tua
siswa sungguh terasa menampar.
Siapa pun yang berprofesi
sebagai pendidik, atau memiliki kedekatan emosional dengannya, akan merasa
bahwa kemuliaan guru telah direndahkan. Sebagai seorang pendidik guru
dibebani dengan ekspektasi demikian tinggi, namun pada saat yang sama harus
menanggung risiko diri dan profesinya dilecehkan.
Kejadian di Majalangka
barangkali hanya fenomena gunung es. Dari sekitar tiga juta guru di
Indonesia, bisa jadi ada puluhan atau ratusan yang mengalami penistaan. Oleh
karena itu, perlu ditempuh berbagai ikhtiar agar guru kembali pada posisi
sosialnya sebaga profesi mulia, memuliakan, dan termuliakan.
Kelas dan Modal
Cara masyarakat
memandang guru merupakan akumulasi atas pergaulan guru dalam ruang sosial
tertentu. Secara personal dan komunal guru merupakan satuan sosial yang
menempati ruang sosial.
Dalam ruang sosial
itulah guru menjalin jejaring relasi yang unik dengan masyarakat. Pada satu
situasi dapat berelasi secara koordinatif, namun ada situasi lain dapat
berelasi secara konfrontatif.
Sebagai entitas, guru
menjadi pemain yang bermain di ruang sosial, berebut posisi yang
menguntungkan dengan entitas lain. Untuk mencapai posisi yang ideal, guru
melakukan serangkaian tindakan yang berkonsekuensi pada terakumulasinya
modal. Semakin tepat dan positif tindakan yang diambil, semakin terakumulasi
modal yang dimiliki.
Sebaliknya, jika
tindakan yang diambil justru keliru, modal yang dimilikinya berkurang. Para
sosiolog merinci ada empat jenis modal yang memiliki determinasi terhadap
kekuatan seseorang dalam ruang sosial, yaitu modal intelektual, modal sosial,
modal finansial, dan modal simbolik.
Secara sederhana,
modal intelektual berkaitan dengan pengetahuan dan wawasan yang dimiliki
seseorang terhadap sesuatu. Intelektualitas bukan hanya berupa pengetahuan
ensiklopedik, melainkan pengetahuan yang dibumikan dalam konteks ruang dan
waktu tempat seseorang hidup. Modal sosial biasanya dikaitkan dengan
jaringan.
Modal sosial berkaitan
dengan posisi dirinya dalam masyarakat yang berpengaruh terhadap bagaimana
orang lain menyikapinya. Dalam praktik, modal sosial dapat berwujud dalam
bentuk persahabatan, pengaruh, dan ketersohoran.
Semakin baik modal
sosial seseorang, ia memiliki kekuatan semakin kuat untuk menjadikan gagasan
personalnya menjadi gagasan publik. Modal finansial berkaitan dengan
penguasaan aset ekonomi. Modal finansial memengaruhi daya tawar seseorang
dalam transaksi ekonomi.
Daya tawar ini
berkorelasi terhadap keleluasaan seseorang memenuhi kebutuhan-kebutuhan
mendasar dalam masyarakat ekonomi. Akumulasi modal finansial yang baik
berkorelasi positif terhadap kesejahteraan dan pilihan-pilihan ekonomi yang
semakin luas. Selain ketiganya, modal simbolik juga memiliki determinasi yang
besar.
Modal simbolik
memungkinkan ketiga jenis modal di atas dapat dipahami dan diakui keberadaannya
oleh orang lain. Akumulasi modal simbolik akan melahirkan kepercayaan dan
legitimasi. Guru-guru di Indonesia sebenarnya memiliki tiga pendukung yang
memiliki kekuatan cukup handal.
Ketiga pendukung
tersebut dapat membuatnya mengakumulasi empat jenis modal tersebut jika
dikelola dengan benar. Ketiga pihak tersebut adalah lembaga pendidikan tenaga
kependidikan (LPTK), pemerintah, dan organisasi profesi.
LPTK memiliki tugas
yang spesifik memberikan bekal pengetahuan yang baik ketika calon guru
menempuh pendidikan dan berlanjut saat guru menjalani tugasnya. Tidak hanya
pengetahuan tentang materi yang akan diajarkan, LPTK juga memberi pengetahuan
tentang bagaimana pengetahuan tersebut diajarkan.
LPTK juga memberikan
pengetahuan sosiologis dan filososif pendidikan agar guru dapat membumikan
pengetahuan yang dimilikinya pada konteks zaman tempatnya mengajar tanpa
kehilangan substansinya.
Di sisi lain,
pemerintah telah memberikan pengakuan yuridis yang baik terhadap posisi guru.
Pengkuan telah tertuang melalui Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2015 tentang
Guru dan Dosen. Pengakuan pemerintah masih penting karena guru memerlukan
kepercayaan, otoritas kultural, dan legitimasi ketika ia menjalankan
tugasnya.
Adapun organisasi
profesi memiliki tugas spesifik melakukan advokasi ketika guru mengalami
masalah sosial dan hukum. Keberadaan organisasi profesi sebesar PGRI mestinya
bisa membuat guru memiliki jaringan luas. Bangsa kita telah menimpakan
tanggung jawab yang demikian besar kepada para guru.
Tidak fair jika tanggung
jawab tersebut tidak diimbangi dengan hak-hak dasar. Kejadian di Majalengka
dapat menjadi pelajaran, diperlukan lebih dari sekadar niat baik untuk
menjaga kemuliaan guru. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar