Strategi Politik Luar Negeri Menghadapi NIIS
Evan A Laksmana ; Peneliti CSIS Jakarta;
Kandidat Doktor Maxwell School of
Citizenship and Public Affairs, Syracuse University
|
KOMPAS,
20 Januari 2016
Menjelang akhir 2015,
ancaman Negara Islam di Irak dan Suriah atau NIIS di Indonesia semakin tampak
nyata. Berbagai laporan menunjukkan makin banyak WNI yang berangkat ke medan
pertempuran NIIS dan bertambahnya kelompok radikal yang menyatakan kesetiaan
kepada NIIS atau mengambil inspirasi dari aksi teror mereka. Beberapa waktu
lalu dilaporkan bahwa aparat keamanan telah menggagalkan plot serangan teror
Natal dan Tahun Baru yang diduga direncanakan kelompok pendukung NIIS.
Ancaman NIIS tidak
bisa lagi dipandang sebagai sekadar ancaman terorisme layaknya kelompok
Jemaah Islamiyah (JI) yang aktif hingga akhir tahun 2000-an. Kehadiran dan
aktivitas NIIS sebagai ”negara khilafah” di Timur Tengah juga harus direspons
dengan strategi kebijakan luar negeri sebagai bagian dari strategi raya
kontra-teror.
Dalam hal ini,
pemerintah perlu mengkaji tiga langkah kebijakan luar negeri. Pertama, karena
episentrum NIIS berada di Timur Tengah, Kementerian Luar Negeri (Kemenlu)
harus lebih meningkatkan kehadiran, keterlibatan, dan sumber daya diplomatik
di wilayah tersebut.
Masalahnya, data
anggaran beberapa tahun terakhir menunjukkan rendahnya fokus kebijakan luar
negeri kita di Timur Tengah. Dari total anggaran Dirjen Asia Pasifik dan
Afrika, Kemenlu, sebesar Rp 185,4 miliar dalam APBN 2013, pemantapan hubungan
luar negeri di Timur Tengah hanya mendapat alokasi Rp 3,9 miliar.
Belakangan, anggaran
Asia Pasifik dan Afrika dalam APBN 2016 malah turun jadi Rp 59,2 miliar—meski
anggaran diplomasi multilateralisme berlipat ganda menjadi Rp 610,2 miliar.
Pos-pos ini tidak termasuk kegiatan perwakilan RI di luar negeri dan dukungan
manajemen (termasuk gaji) yang masuk anggaran Sekretariat Jenderal Kemenlu
(biasanya sebesar 80-85 persen anggaran total).
Terlebih lagi, jumlah
total staf perwakilan RI untuk seluruh kawasan Timur Tengah (tidak termasuk
Turki dan negara-negara Afrika Utara) diperkirakan hanya sekitar 115 orang.
Padahal, mereka harus menangani berbagai persoalan kompleks politik luar
negeri kita di kawasan tersebut, termasuk persoalan haji.
Jika kita memutar
balik tren kebijakan luar negeri ini, kita dapat meningkatkan kehadiran dan
keterlibatan diplomatik Indonesia di Timur Tengah—bukan sekadar menyatakan
mendukung Palestina—sebagai salah satu modalitas strategis untuk membangun
koalisi multilateral menghadapi NIIS. Selain itu, kita juga berkesempatan
memperluas akses informasi intelijen lapangan terkait dengan kegiatan ratusan
WNI yang bergabung dengan NIIS. Belum lagi keuntungan jangka panjang terkait
dengan persoalan keanggotaan kita di OPEC dan perlindungan TKI.
Kepemimpinan Indonesia
Peningkatan sumber
daya diplomasi Timur Tengah ini juga terkait dengan pilihan langkah kebijakan
luar negeri kedua: kepemimpinan Indonesia di kancah politik Islam global.
Berbagai kalangan
sebenarnya sudah sejak lama menginginkan nuansa keislaman untuk lebih
mewarnai politik luar negeri Indonesia. Argumen mereka: sebagai negara dengan
penduduk Muslim terbesar di dunia yang mempunyai jiwa Islam moderat dan
catatan sukses menyandingkan Islam dengan demokrasi, sudah sewajarnya Islam
menjadi salah satu elemen soft power politik luar negeri Indonesia.
Namun, kenyataannya,
sebagaimana dibahas Rizal Sukma dalam Islam
in Indonesian Foreign Policy (2003), persoalan identitas ganda negara
Indonesia (bukan sekuler ataupun teokratik) dan berbagai hambatan domestik
justru sering kali menghasilkan kebijakan luar negeri yang menomorduakan
Islam. Akibatnya, meski sempat jadi suara Islam moderat di medio 2000-an
melalui kegiatan lintas agama internasional, gaung Indonesia di kancah politik
Islam global, terutama terkait dengan NIIS, makin melemah. Bahkan, di
Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), justru Arab Saudi yang berinisiatif
mendorong koalisi global menghadapi NIIS.
Sayangnya, Kemenlu
tampak kurang menekankan persoalan NIIS dalam perencanaan strategis mereka.
Dokumen Rencana Strategis Kemenlu 2015-2019 memang membahas dialog lintas
agama (sebagai soft power), tetapi
persoalan strategis NIIS tidak mendapat prioritas.
Mengingat urgensi dan
kompleksitas tantangan NIIS yang mengisap negara-negara besar, seperti Rusia
dan Amerika Serikat, ke dalam pertarungan strategis di Timur Tengah,
pemerintah perlu membangkitkan kembali kepemimpinan Indonesia di kancah
politik Islam global. Selain menjadi suara Islam moderat di kancah
multilateral, Indonesia juga dapat menggunakan modal strategis kontribusi
Kontingen Garuda di Timur Tengah untuk memperkuat keterlibatan aktif dan
investasi diplomatik kita.
Terakhir, dalam posisi
lemahnya sumber daya dan investasi strategis kita di Timur Tengah ataupun di
kancah politik Islam global, kita perlu memperkuat operasionalisasi berbagai
kerangka kerja sama regional (seperti Konvensi ASEAN tentang Kontra
Terorisme) ataupun bilateral (seperti yang kita tanda tangani dengan
Australia di pertengahan Desember 2015). Ke depan, mungkin kita perlu
mengkaji lebih lanjut opsi bergabung ke Koalisi Global Melawan NIIS (Global Coalition to Counter ISIL) yang
diprakarsai AS sejak 2014. Sejauh ini ada 65 negara yang bergabung secara
resmi, termasuk Malaysia dan Singapura.
Selain operasi
militer, koalisi global ini juga bergerak di berbagai bidang politik dan
keuangan, termasuk kontra-radikalisasi dan kontra-pembiayaan terorisme.
Selain menghadapi ancaman bersama, kabarnya keanggotaan koalisi ini juga
membuka pintu-pintu kerja sama strategis dengan AS dan sekutunya di berbagai
bidang. Pemerintah perlu melihat cermat hakikat ancaman NIIS bukan hanya
tantangan keamanan dalam negeri, melainkan juga sebagai persoalan strategis
kebijakan luar negeri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar