Rabu, 20 Januari 2016

Strategi Politik Luar Negeri Menghadapi NIIS

Strategi Politik Luar Negeri Menghadapi NIIS

Evan A Laksmana  ;   Peneliti CSIS Jakarta;
Kandidat Doktor Maxwell School of Citizenship and Public Affairs, Syracuse University
                                                       KOMPAS, 20 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Menjelang akhir 2015, ancaman Negara Islam di Irak dan Suriah atau NIIS di Indonesia semakin tampak nyata. Berbagai laporan menunjukkan makin banyak WNI yang berangkat ke medan pertempuran NIIS dan bertambahnya kelompok radikal yang menyatakan kesetiaan kepada NIIS atau mengambil inspirasi dari aksi teror mereka. Beberapa waktu lalu dilaporkan bahwa aparat keamanan telah menggagalkan plot serangan teror Natal dan Tahun Baru yang diduga direncanakan kelompok pendukung NIIS.

Ancaman NIIS tidak bisa lagi dipandang sebagai sekadar ancaman terorisme layaknya kelompok Jemaah Islamiyah (JI) yang aktif hingga akhir tahun 2000-an. Kehadiran dan aktivitas NIIS sebagai ”negara khilafah” di Timur Tengah juga harus direspons dengan strategi kebijakan luar negeri sebagai bagian dari strategi raya kontra-teror.

Dalam hal ini, pemerintah perlu mengkaji tiga langkah kebijakan luar negeri. Pertama, karena episentrum NIIS berada di Timur Tengah, Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) harus lebih meningkatkan kehadiran, keterlibatan, dan sumber daya diplomatik di wilayah tersebut.

Masalahnya, data anggaran beberapa tahun terakhir menunjukkan rendahnya fokus kebijakan luar negeri kita di Timur Tengah. Dari total anggaran Dirjen Asia Pasifik dan Afrika, Kemenlu, sebesar Rp 185,4 miliar dalam APBN 2013, pemantapan hubungan luar negeri di Timur Tengah hanya mendapat alokasi Rp 3,9 miliar.

Belakangan, anggaran Asia Pasifik dan Afrika dalam APBN 2016 malah turun jadi Rp 59,2 miliar—meski anggaran diplomasi multilateralisme berlipat ganda menjadi Rp 610,2 miliar. Pos-pos ini tidak termasuk kegiatan perwakilan RI di luar negeri dan dukungan manajemen (termasuk gaji) yang masuk anggaran Sekretariat Jenderal Kemenlu (biasanya sebesar 80-85 persen anggaran total).

Terlebih lagi, jumlah total staf perwakilan RI untuk seluruh kawasan Timur Tengah (tidak termasuk Turki dan negara-negara Afrika Utara) diperkirakan hanya sekitar 115 orang. Padahal, mereka harus menangani berbagai persoalan kompleks politik luar negeri kita di kawasan tersebut, termasuk persoalan haji.

Jika kita memutar balik tren kebijakan luar negeri ini, kita dapat meningkatkan kehadiran dan keterlibatan diplomatik Indonesia di Timur Tengah—bukan sekadar menyatakan mendukung Palestina—sebagai salah satu modalitas strategis untuk membangun koalisi multilateral menghadapi NIIS. Selain itu, kita juga berkesempatan memperluas akses informasi intelijen lapangan terkait dengan kegiatan ratusan WNI yang bergabung dengan NIIS. Belum lagi keuntungan jangka panjang terkait dengan persoalan keanggotaan kita di OPEC dan perlindungan TKI.

Kepemimpinan Indonesia

Peningkatan sumber daya diplomasi Timur Tengah ini juga terkait dengan pilihan langkah kebijakan luar negeri kedua: kepemimpinan Indonesia di kancah politik Islam global.

Berbagai kalangan sebenarnya sudah sejak lama menginginkan nuansa keislaman untuk lebih mewarnai politik luar negeri Indonesia. Argumen mereka: sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia yang mempunyai jiwa Islam moderat dan catatan sukses menyandingkan Islam dengan demokrasi, sudah sewajarnya Islam menjadi salah satu elemen soft power politik luar negeri Indonesia.

Namun, kenyataannya, sebagaimana dibahas Rizal Sukma dalam Islam in Indonesian Foreign Policy (2003), persoalan identitas ganda negara Indonesia (bukan sekuler ataupun teokratik) dan berbagai hambatan domestik justru sering kali menghasilkan kebijakan luar negeri yang menomorduakan Islam. Akibatnya, meski sempat jadi suara Islam moderat di medio 2000-an melalui kegiatan lintas agama internasional, gaung Indonesia di kancah politik Islam global, terutama terkait dengan NIIS, makin melemah. Bahkan, di Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), justru Arab Saudi yang berinisiatif mendorong koalisi global menghadapi NIIS.

Sayangnya, Kemenlu tampak kurang menekankan persoalan NIIS dalam perencanaan strategis mereka. Dokumen Rencana Strategis Kemenlu 2015-2019 memang membahas dialog lintas agama (sebagai soft power), tetapi persoalan strategis NIIS tidak mendapat prioritas.

Mengingat urgensi dan kompleksitas tantangan NIIS yang mengisap negara-negara besar, seperti Rusia dan Amerika Serikat, ke dalam pertarungan strategis di Timur Tengah, pemerintah perlu membangkitkan kembali kepemimpinan Indonesia di kancah politik Islam global. Selain menjadi suara Islam moderat di kancah multilateral, Indonesia juga dapat menggunakan modal strategis kontribusi Kontingen Garuda di Timur Tengah untuk memperkuat keterlibatan aktif dan investasi diplomatik kita.

Terakhir, dalam posisi lemahnya sumber daya dan investasi strategis kita di Timur Tengah ataupun di kancah politik Islam global, kita perlu memperkuat operasionalisasi berbagai kerangka kerja sama regional (seperti Konvensi ASEAN tentang Kontra Terorisme) ataupun bilateral (seperti yang kita tanda tangani dengan Australia di pertengahan Desember 2015). Ke depan, mungkin kita perlu mengkaji lebih lanjut opsi bergabung ke Koalisi Global Melawan NIIS (Global Coalition to Counter ISIL) yang diprakarsai AS sejak 2014. Sejauh ini ada 65 negara yang bergabung secara resmi, termasuk Malaysia dan Singapura.

Selain operasi militer, koalisi global ini juga bergerak di berbagai bidang politik dan keuangan, termasuk kontra-radikalisasi dan kontra-pembiayaan terorisme. Selain menghadapi ancaman bersama, kabarnya keanggotaan koalisi ini juga membuka pintu-pintu kerja sama strategis dengan AS dan sekutunya di berbagai bidang. Pemerintah perlu melihat cermat hakikat ancaman NIIS bukan hanya tantangan keamanan dalam negeri, melainkan juga sebagai persoalan strategis kebijakan luar negeri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar