Menanti Kiprah Bung Fay
Anton Kurnia ;
Penulis dan Pemerhati Kebudayaan
|
JAWA
POS, 12 Januari 2016
PELANTIKAN
Hilmar Farid Setiadi PhD sebagai Dirjen Kebudayaan pada 31 Desember 2015
merupakan angin baik bagi kita. Saya pribadi berharap ada terobosan-terobosan
baru dan kreatif dari seorang intelektual serta aktivis seperti dia dalam
menangani permasalahan kebudayaan yang kompleks.
Bergabungnya
Hilmar yang akrab disapa Fay ke dalam jajaran birokrasi Kemendikbud tentu
patut disambut gembira. Apalagi rekrutmen Hilmar dilakukan melalui seleksi
terbuka oleh panitia independen. Langkah itu merupakan terobosan positif
Kemendikbud di bawah kepemimpinan Menteri Anies Baswedan. Hilmar adalah
pejabat eselon I pertama di Kemendikbud yang tidak berasal dari lingkungan
birokrat atau PNS.
Sebagai Dirjen
Kebudayaan baru yang menggantikan pejabat sebelumnya, Kacung Marijan, Hilmar
bisa melanjutkan dan menguatkan tiga strategi Kemendikbud dalam isu
pendidikan dan kebudayaan. Tiga strategi itu adalah penguatan pelaku
pendidikan dan kebudayaan, peningkatan mutu dan akses, serta efektivitas
birokrasi melalui perbaikan tata kelola dan pelibatan publik.
Sejak 1990-an,
Hilmar yang setahun lalu meraih gelar doktor di bidang studi kebudayaan dari
National University of Singapore (NUS) berkiprah sebagai pegiat di dunia
kebudayaan, antara lain, dengan mendirikan dan mengelola Jaringan Kerja
Budaya (Jaker).
Saat itu Jaker
dikenal sebagai salah satu ikhtiar penting untuk menyuarakan kelompok yang
dimarginalkan di tengah represi pemerintah Orde Baru yang otoriter. Bersama
Jaker, Hilmar menerbitkan jurnal Media Kerja Budaya yang aktif mendiskusikan
persoalan-persoalan kebudayaan.
Saya
menyoroti, setidaknya ada dua hal yang perlu menjadi perhatian dan kepedulian
Hilmar sebagai Dirjen Kebudayaan yang baru. Pertama, kontroversi RUU
Kebudayaan yang kini dibahas pemerintah setelah diserahkan DPR akhir tahun
lalu. RUU tersebut, dari segi nama saja, sudah rancu. Sebab, kebudayaan
adalah sesuatu yang tidak dapat diatur.
Selain itu, sudah
ada undangundang yang lebih khusus, misalnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2010 tentang Cagar Budaya. Sementara itu, dari sisi isi, RUU tersebut juga
mengandung persoalan dan rawan disusupi kepentingankepentingan sesaat yang
sesat.
Salah satu
contoh adalah sempat dimasukkannya pasal kontroversial tentang keretek
sebagai warisan budaya Indonesia yang kental dengan kepentingan sepihak para
pengusaha rokok. Contoh lain adalah gagasan keblinger untuk memasukkan
ketentuan tentang sertifikasi terhadap para seniman dan budayawan.
Salah satu
prinsip yang harus dipegang dalam hal kebudayaan ini adalah apa yang
termaktub dalam pasal 32 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945: ’’Negara memajukan
kebudayaannasionalIndonesiaditengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan
masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilainilai budayanya.’’
Karena itu,
Kemendikbud, dalam hal ini Direktorat Kebudayaan, yang ditunjuk menjadi
sektor yang memimpin pembahasan RUU Kebudayaan perlu menangani hal tersebut
secara bijak dengan melibatkan serta mempertimbangkan masukan dari kalangan
budayawan.
Yang kedua
adalah membuat strategi jangka panjang dalam memperkenalkan dan memajukan
hasil kebudayaan kita di pentas dunia. Ini merupakan bagian dari diplomasi
budaya dengan melibatkan segenap potensi publik tanpa terhambat sekat-sekat
birokratis. Jika perlu, harus dibentuk lembaga khusus.
Salah satu
pencapaian positif Kemendikbud, khususnya Direktorat Jenderal Kebudayaan,
setahun terakhir adalah keikutsertaan Indonesia sebagai tamu kehormatan dalam
Pameran Buku Frankfurt, Oktober 2015. Komite nasional yang dibentuk
Kemendikbud melibatkan para sastrawan dan budayawan nasional demi
menyukseskan acara tersebut.
Terlepas dari
berbagai kontroversi yang sempat mengemuka dalam persiapannya, bisa dikatakan
pe na mpilan Indonesia dalam ajang pameran buku terbesar di dunia itu cukup
baik. Selain menerjemahkan dan menampilkan sekitar 300 buku dari berbagai genre, terutama karya sastra,
ditampilkan pula beragam kekayaan budaya Indonesia seperti sajian kuliner,
tarian, karya rupa, dan musik.
Namun, upaya
mulia itu hendaknya tidak berhenti sampai di situ saja. Pameran
Buku
Frankfurt bukanlah tujuan akhir, melainkan awal kebangkitan ekosistem
literasi kita dan satu langkah maju dalam diplomasi budaya.
Ke depan, perlu
disiapkan satu lembaga independen yang didukung pemerintah melalui
Kemendikbud yang bergerak untuk melakukan diplomasi kebudayaan di kancah
global. Misalnya, mengelola dan mendanai tampilnya para penulis serta seniman
terbaik kita dan kar ya mereka di pentas dunia melalui berbagai ajang pameran
buku, festival kepenulisan, dan festival seni rupa seperti Pameran Buku
Frankfurt, Pameran Buku London, Festival Winternachten di Rotterdam, serta
Festival Europalia.
Untuk itu,
yang diperlukan adalah komitmen dan kesungguhan segenap insan serta ekosistem
pendidikan dan kebudayaan, terutama para pemimpinnya, termasuk Dirjen
Kebudayaan yang baru. Juga, kemauan untuk melibatkan publik secara lebih
aktif dalam kegiatan-kegiatan kebudayaan.
Kita punya beragam persoalan
kebudayaan yang membutuhkan upaya-upaya terobosan dalam menanganinya. Kita
berharap Hilmar alias Bung Fay bisa memenuhi ekspektasi khalayak dalam
menghadapi berbagai persoalan kebudayaan demi kemaslahatan rakyat banyak agar
cita-cita revolusi mental tidak berhenti sekadar sebagai slogan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar