Sabtu, 16 Januari 2016

Menanti Kiprah Bung Fay

Menanti Kiprah Bung Fay

Anton Kurnia  ;   Penulis dan Pemerhati Kebudayaan
                                                      JAWA POS, 12 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

PELANTIKAN Hilmar Farid Setiadi PhD sebagai Dirjen Kebudayaan pada 31 Desember 2015 merupakan angin baik bagi kita. Saya pribadi berharap ada terobosan-terobosan baru dan kreatif dari seorang intelektual serta aktivis seperti dia dalam menangani permasalahan kebudayaan yang kompleks.
Bergabungnya Hilmar yang akrab disapa Fay ke dalam jajaran birokrasi Kemendikbud tentu patut disambut gembira. Apalagi rekrutmen Hilmar dilakukan melalui seleksi terbuka oleh panitia independen. Langkah itu merupakan terobosan positif Kemendikbud di bawah kepemimpinan Menteri Anies Baswedan. Hilmar adalah pejabat eselon I pertama di Kemendikbud yang tidak berasal dari lingkungan birokrat atau PNS.

Sebagai Dirjen Kebudayaan baru yang menggantikan pejabat sebelumnya, Kacung Marijan, Hilmar bisa melanjutkan dan menguatkan tiga strategi Kemendikbud dalam isu pendidikan dan kebudayaan. Tiga strategi itu adalah penguatan pelaku pendidikan dan kebudayaan, peningkatan mutu dan akses, serta efektivitas birokrasi melalui perbaikan tata kelola dan pelibatan publik.
Sejak 1990-an, Hilmar yang setahun lalu meraih gelar doktor di bidang studi kebudayaan dari National University of Singapore (NUS) berkiprah sebagai pegiat di dunia kebudayaan, antara lain, dengan mendirikan dan mengelola Jaringan Kerja Budaya (Jaker).

Saat itu Jaker dikenal sebagai salah satu ikhtiar penting untuk menyuarakan kelompok yang dimarginalkan di tengah represi pemerintah Orde Baru yang otoriter. Bersama Jaker, Hilmar menerbitkan jurnal Media Kerja Budaya yang aktif mendiskusikan persoalan-persoalan kebudayaan.

Saya menyoroti, setidaknya ada dua hal yang perlu menjadi perhatian dan kepedulian Hilmar sebagai Dirjen Kebudayaan yang baru. Pertama, kontroversi RUU Kebudayaan yang kini dibahas pemerintah setelah diserahkan DPR akhir tahun lalu. RUU tersebut, dari segi nama saja, sudah rancu. Sebab, kebudayaan adalah sesuatu yang tidak dapat diatur.

Selain itu, sudah ada undangundang yang lebih khusus, misalnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Sementara itu, dari sisi isi, RUU tersebut juga mengandung persoalan dan rawan disusupi kepentingankepentingan sesaat yang sesat.

Salah satu contoh adalah sempat dimasukkannya pasal kontroversial tentang keretek sebagai warisan budaya Indonesia yang kental dengan kepentingan sepihak para pengusaha rokok. Contoh lain adalah gagasan keblinger untuk memasukkan ketentuan tentang sertifikasi terhadap para seniman dan budayawan.

Salah satu prinsip yang harus dipegang dalam hal kebudayaan ini adalah apa yang termaktub dalam pasal 32 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945: ’’Negara memajukan kebudayaannasionalIndonesiaditengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilainilai budayanya.’’

Karena itu, Kemendikbud, dalam hal ini Direktorat Kebudayaan, yang ditunjuk menjadi sektor yang memimpin pembahasan RUU Kebudayaan perlu menangani hal tersebut secara bijak dengan melibatkan serta mempertimbangkan masukan dari kalangan budayawan.

Yang kedua adalah membuat strategi jangka panjang dalam memperkenalkan dan memajukan hasil kebudayaan kita di pentas dunia. Ini merupakan bagian dari diplomasi budaya dengan melibatkan segenap potensi publik tanpa terhambat sekat-sekat birokratis. Jika perlu, harus dibentuk lembaga khusus.

Salah satu pencapaian positif Kemendikbud, khususnya Direktorat Jenderal Kebudayaan, setahun terakhir adalah keikutsertaan Indonesia sebagai tamu kehormatan dalam Pameran Buku Frankfurt, Oktober 2015. Komite nasional yang dibentuk Kemendikbud melibatkan para sastrawan dan budayawan nasional demi menyukseskan acara tersebut.

Terlepas dari berbagai kontroversi yang sempat mengemuka dalam persiapannya, bisa dikatakan pe na mpilan Indonesia dalam ajang pameran buku terbesar di dunia itu cukup baik. Selain menerjemahkan dan menampilkan sekitar 300 buku dari berbagai genre, terutama karya sastra, ditampilkan pula beragam kekayaan budaya Indonesia seperti sajian kuliner, tarian, karya rupa, dan musik.

Namun, upaya mulia itu hendaknya tidak berhenti sampai di situ saja. Pameran 
Buku Frankfurt bukanlah tujuan akhir, melainkan awal kebangkitan ekosistem literasi kita dan satu langkah maju dalam diplomasi budaya.

Ke depan, perlu disiapkan satu lembaga independen yang didukung pemerintah melalui Kemendikbud yang bergerak untuk melakukan diplomasi kebudayaan di kancah global. Misalnya, mengelola dan mendanai tampilnya para penulis serta seniman terbaik kita dan kar ya mereka di pentas dunia melalui berbagai ajang pameran buku, festival kepenulisan, dan festival seni rupa seperti Pameran Buku Frankfurt, Pameran Buku London, Festival Winternachten di Rotterdam, serta Festival Europalia.

Untuk itu, yang diperlukan adalah komitmen dan kesungguhan segenap insan serta ekosistem pendidikan dan kebudayaan, terutama para pemimpinnya, termasuk Dirjen Kebudayaan yang baru. Juga, kemauan untuk melibatkan publik secara lebih aktif dalam kegiatan-kegiatan kebudayaan.

Kita punya beragam persoalan kebudayaan yang membutuhkan upaya-upaya terobosan dalam menanganinya. Kita berharap Hilmar alias Bung Fay bisa memenuhi ekspektasi khalayak dalam menghadapi berbagai persoalan kebudayaan demi kemaslahatan rakyat banyak agar cita-cita revolusi mental tidak berhenti sekadar sebagai slogan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar