MEA dan Pembangunan Sosial
Dinna Wisnu ; Pengamat Hubungan Internasional;
Co-founder & Director
Paramadina Graduate School of Diplomacy
|
KORAN
SINDO, 13 Januari 2016
Tahun 2016 adalah tahun dimulainya proses pembentukan Masyarakat
Ekonomi ASEAN (MEA). Selama lebih dari satu atau dua tahun, sosialisasi
tentang MEA ini telah dilakukan pemerintah melalui segala jenis media massa.
Inti pesan dari sosialisasi itu adalah untuk tidak takut dan
merasa positif serta optimistis menghadapi terbentuknya pasar dan basis
produksi terintegrasi ASEAN. MEA diharapkan menjadi jalan menuju kawasan yang
kompetitif, merata pembangunan ekonominya, dan terintegrasi dengan ekonomi
dunia.
Saya tidak tahu apakah sosialisasi itu berhasil. Tim survei
ASEAN LIPI dalam penelitian yang dipublikasikan Desember 2015 melaporkan
bahwa kesadaran dan pemahaman masyarakat Indonesia tentang MEA masih rendah.
Survei yang dilakukan di 16 kota dengan 2.500 sampel itu misalnya menyebutkan
lebih dari 80% responden tidak mengetahui perihal liberalisasi tenaga kerja
terampil di dalam MEA.
Pelaku usaha yang diharapkan dapat memanfaatkan MEA ternyata
hanya 27,8% yang paham tentang MEA. Sementara itu hampir 75% masyarakat
Indonesia minim pengetahuannya tentang MEA. Apabila masyarakat tidak tahu
MEA, bagaimana mungkin mereka menjadi takut? Presiden Joko Widodo dalam
berbagai kesempatan telah mengatakan bahwa siap tidak siap Indonesia harus
menghadapi liberalisasi ekonomi.
Mantan Presiden Megawati sebagai ketua umum partai pemenang
pemilu yang menguasai hampir 50% jabatan kepala daerah se-Indonesia, dalam
kongres Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) minggu ini bahkan
mengatakan bahwa MEA jelas merupakan tantangan tersendiri sebagai bangsa,
tetapi kita tidak perlu takut. Kewaspadaan tetaplah diperlukan.
Kita harus mempersiapkan sumber daya manusia yang ada guna
menjawab tantangan liberalisasi terkait dengan arus bebas tenaga kerja
terampil. Sebenarnya pemerintah patut becermin tentang mengapa ada
kekhawatiran sejumlah kalangan tentang MEA dan kegiatan liberalisasi ekonomi
lainnya.
Karena jika ditilik ke belakang, pada hakikatnya perekonomian
Indonesia sudah relatif lama didorong ke arah keterbukaan ekonomi, bahkan
komitmen itu dituangkan dalam bentuk partisipasi Indonesia pada tahun 1989
untuk ikut sebagai salah satu pelopor forum APEC (Asia-Pacific Economic Cooperation).
Pada saat itu secara terbuka kita bersama 11 negara Asia-Pasifik
sepakat untuk menolak cara-cara menutup diri (proteksionis) karena kita
meyakini bahwa cara proteksionis membatasi potensi suatu negara untuk
berkembang ekonominya. Artinya bahwa rasa takut pada MEA itu perlu dimaknai
sebagai kritik terhadap pemerintah ketika pasar telanjur dibuka.
Dari sisi penduduk misalnya, akan ada kira-kira 617 juta orang
yang potensial menjadi pasar di mana 50%-nya adalah penduduk Indonesia. Pasar
potensial lain adalah negara-negara berkembang di dataran IndoChina yang
disebut CLMV (Cambodia/Kamboja, Laos, Myanmar, dan Vietnam). Jumlah
keseluruhannya adalah 167 juta penduduk.
Mereka menjadi target untuk barang-barang manufaktur yang
berkualitas menengah-bawah dengan biaya produksi yang rendah. Ketika suatu
negara dibidik sebagai ”pasar”, masyarakat di sana akan dipengaruhi untuk
membeli atau mengonsumsi produk-produk barang dan jasa dari negara-negara
produsen. Jika kapasitas produksi negara tersebut justru rendah, neraca
ekonomi di negara tersebut otomatis mengalami defisit.
Defisit dalam perekonomian akan terasa dampaknya dalam
ketersediaan layanan publik, ketersediaan lapangan pekerjaan, dan keleluasaan
pemerintah dalam menjalankan agenda-agen-da pembangunan sosial ekonomi. Hal
ini baru bisa ”disembuhkan” bila segenap kalangan di suatu negara membangun
pusat-pusat produksi barang dan jasa untuk kemudian dijual ke negaranegara
yang relatif berduit.
Inisiatif semacam ini membutuhkan kesigapan pemerintah dalam
merespons peluang bisnis. Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap pernyataan
pejabat dan tokoh politik yang bersikap positif dan optimistis terhadap
liberalisasi arus perdagangan di ASEAN, sebagai bagian dari masyarakat sipil
kita juga perlu tetap kritis mencermati apa dampak dari MEA ini terhadap
perlindungan sosial dan kesejahteraan masyarakat.
Bersikap kritis bukan berarti pesimistis atau takut menghadapi
persaingan, tetapi mempertanyakan secara mendasar bagaimana akumulasi
kekayaan atau keuntungan yang akan dilahirkan dari MEA itu didistribusikan
secara adil. Sikap tersebut perlu dipahami secara konstruktif karena ada atau
tidak ada MEA, masyarakat Indonesia khususnya mereka yang masuk dalam
kategori miskin seperti penerima upah minimum,
pekerja kontrak, outsourcing , buruh tani, petani mandiri,
perempuan, buruh anak atau kelompok-kelompok lain sudah bekerja keras lebih
dari kerja waktu normal untuk membiayai kehidupan mereka. Dengan adanya MEA,
kerja keras apa lagi yang dibutuhkan dari mereka? Dari dunia sebetulnya kita
dapat belajar bahwa mengejar pertumbuhan ekonomi semata justru bisa
menimbulkan kesenjangan kesejahteraan di tengah masyarakat.
Laporan Bank Dunia menyebutkan kesenjangan ekonomi di Indonesia
semakin lebar. Selama 2011-2014, koefisien gini meningkat menjadi 0,41
walaupun pertumbuhan ekonomi melaju dengan cepat. Meski pertumbuhan ekonomi
kita selama lima tahun terakhir ini memiliki kinerja yang baik bila
dibandingkan dengan negara- negara tetangga di ASEAN, Indeks Pembangunan
Manusia kita masih berada di posisi ke- 110 dari 188 negara di dunia.
Indeks kita satu kelompok dengan negara-negara yang baru
beranjak dan terintegrasi dengan pasar dunia seperti Kamboja, Vietnam atau
Myanmar. Sementara negara yang usia pembangunannya seusia kita seperti
Singapura, Malaysia, dan Thailand lebih tinggi posisinya. Kita hanya masih
lebih tinggi 5 peringkat dari Filipina. Data itu mengingatkan kita untuk
kembali meletakkan fokus pembangunan kepada manusia dan tidak hanya pada
angka-angka ekonomi.
Human
Development Index adalah salah satu ukuran yang
meletakkan indikator harapan hidup (life
expectancy at birth), pendidikan (rata-rata partisipasi sekolah), dan GNI
per kapita. Mengukur kesejahteraan hanya pada pertumbuhan ekonomi atau PDB
tidaklah akurat karena ukuran itu hanya ukuran kapasitas produksi sebuah
negara.
Amartya Sen misalnya memberi contoh, sebuah negara yang
penduduknya menyukai transportasi umum akan lebih baik daripada negara yang
pertumbuhan ekonominya lebih tinggi karena didorong oleh penjualan mobil
pribadi. Sebuah desa yang lebih menyukai kesenian tradisional belum tentu
tidak bahagia daripada desa yang dipenuhi bioskop yang memutar film-film
internasional.
Contoh tersebut adalah gambaran bagaimana tidak semua investasi
atau kegiatan ekonomi yang mendorong pertumbuhan ekonomi itu baik dari sisi
manusianya. Sebaliknya, kegiatan ekonomi semestinya justru memfasilitasi
kesejahteraan dan kebahagiaan dari penduduk mayoritasnya dan tidak sekadar
mencari akumulasi modal.
Oleh sebab itu, menarik ajakan mantan Presiden Megawati untuk
kembali menghidupkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang pernah
dijalankan pada pemerintahan Orde Baru. Terlepas dari kerumitan yang akan
dihadapi terkait dengan sistem hukum ketatanegaraan kita bila GBHN hendak
dihidupkan kembali,
penetapan GBHN harus melibatkan partisipasi masyarakat umum dan
tidak sekadar disusun oleh para elite dan teknokrat yang tidak mengetahui
secara dekat potensi dan kapasitas yang dimiliki masyarakat Indonesia yang
sangat heterogen dari sisi keyakinan kepercayaan, budaya, sosial, dan lain-lainnya.
Visi para penyusun haruslah jangka panjang.
GBHN yang diinginkan hari ini perlu berbeda dari GBHN masa lalu
yang lebih sarat muatan politiknya sehingga justru melanggengkan kemiskinan
dan ketidakberdayaan dari satu generasi ke generasi lainnya. GBHN hari ini
harus mempertimbangkan posisi strategis Indonesia dalam pasar ekonomi global
dan cara-cara yang dikedepankan untuk menjamin terpenuhinya keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar