Senin, 18 Januari 2016

MEA dan Pembangunan Sosial

MEA dan Pembangunan Sosial

Dinna Wisnu  ;   Pengamat Hubungan Internasional;
Co-founder & Director Paramadina Graduate School of Diplomacy
                                                  KORAN SINDO, 13 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Tahun 2016 adalah tahun dimulainya proses pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Selama lebih dari satu atau dua tahun, sosialisasi tentang MEA ini telah dilakukan pemerintah melalui segala jenis media massa.

Inti pesan dari sosialisasi itu adalah untuk tidak takut dan merasa positif serta optimistis menghadapi terbentuknya pasar dan basis produksi terintegrasi ASEAN. MEA diharapkan menjadi jalan menuju kawasan yang kompetitif, merata pembangunan ekonominya, dan terintegrasi dengan ekonomi dunia.

Saya tidak tahu apakah sosialisasi itu berhasil. Tim survei ASEAN LIPI dalam penelitian yang dipublikasikan Desember 2015 melaporkan bahwa kesadaran dan pemahaman masyarakat Indonesia tentang MEA masih rendah. Survei yang dilakukan di 16 kota dengan 2.500 sampel itu misalnya menyebutkan lebih dari 80% responden tidak mengetahui perihal liberalisasi tenaga kerja terampil di dalam MEA.

Pelaku usaha yang diharapkan dapat memanfaatkan MEA ternyata hanya 27,8% yang paham tentang MEA. Sementara itu hampir 75% masyarakat Indonesia minim pengetahuannya tentang MEA. Apabila masyarakat tidak tahu MEA, bagaimana mungkin mereka menjadi takut? Presiden Joko Widodo dalam berbagai kesempatan telah mengatakan bahwa siap tidak siap Indonesia harus menghadapi liberalisasi ekonomi.

Mantan Presiden Megawati sebagai ketua umum partai pemenang pemilu yang menguasai hampir 50% jabatan kepala daerah se-Indonesia, dalam kongres Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) minggu ini bahkan mengatakan bahwa MEA jelas merupakan tantangan tersendiri sebagai bangsa, tetapi kita tidak perlu takut. Kewaspadaan tetaplah diperlukan.

Kita harus mempersiapkan sumber daya manusia yang ada guna menjawab tantangan liberalisasi terkait dengan arus bebas tenaga kerja terampil. Sebenarnya pemerintah patut becermin tentang mengapa ada kekhawatiran sejumlah kalangan tentang MEA dan kegiatan liberalisasi ekonomi lainnya.

Karena jika ditilik ke belakang, pada hakikatnya perekonomian Indonesia sudah relatif lama didorong ke arah keterbukaan ekonomi, bahkan komitmen itu dituangkan dalam bentuk partisipasi Indonesia pada tahun 1989 untuk ikut sebagai salah satu pelopor forum APEC (Asia-Pacific Economic Cooperation).

Pada saat itu secara terbuka kita bersama 11 negara Asia-Pasifik sepakat untuk menolak cara-cara menutup diri (proteksionis) karena kita meyakini bahwa cara proteksionis membatasi potensi suatu negara untuk berkembang ekonominya. Artinya bahwa rasa takut pada MEA itu perlu dimaknai sebagai kritik terhadap pemerintah ketika pasar telanjur dibuka.

Dari sisi penduduk misalnya, akan ada kira-kira 617 juta orang yang potensial menjadi pasar di mana 50%-nya adalah penduduk Indonesia. Pasar potensial lain adalah negara-negara berkembang di dataran IndoChina yang disebut CLMV (Cambodia/Kamboja, Laos, Myanmar, dan Vietnam). Jumlah keseluruhannya adalah 167 juta penduduk.

Mereka menjadi target untuk barang-barang manufaktur yang berkualitas menengah-bawah dengan biaya produksi yang rendah. Ketika suatu negara dibidik sebagai ”pasar”, masyarakat di sana akan dipengaruhi untuk membeli atau mengonsumsi produk-produk barang dan jasa dari negara-negara produsen. Jika kapasitas produksi negara tersebut justru rendah, neraca ekonomi di negara tersebut otomatis mengalami defisit.

Defisit dalam perekonomian akan terasa dampaknya dalam ketersediaan layanan publik, ketersediaan lapangan pekerjaan, dan keleluasaan pemerintah dalam menjalankan agenda-agen-da pembangunan sosial ekonomi. Hal ini baru bisa ”disembuhkan” bila segenap kalangan di suatu negara membangun pusat-pusat produksi barang dan jasa untuk kemudian dijual ke negaranegara yang relatif berduit.

Inisiatif semacam ini membutuhkan kesigapan pemerintah dalam merespons peluang bisnis. Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap pernyataan pejabat dan tokoh politik yang bersikap positif dan optimistis terhadap liberalisasi arus perdagangan di ASEAN, sebagai bagian dari masyarakat sipil kita juga perlu tetap kritis mencermati apa dampak dari MEA ini terhadap perlindungan sosial dan kesejahteraan masyarakat.

Bersikap kritis bukan berarti pesimistis atau takut menghadapi persaingan, tetapi mempertanyakan secara mendasar bagaimana akumulasi kekayaan atau keuntungan yang akan dilahirkan dari MEA itu didistribusikan secara adil. Sikap tersebut perlu dipahami secara konstruktif karena ada atau tidak ada MEA, masyarakat Indonesia khususnya mereka yang masuk dalam kategori miskin seperti penerima upah minimum,

pekerja kontrak, outsourcing , buruh tani, petani mandiri, perempuan, buruh anak atau kelompok-kelompok lain sudah bekerja keras lebih dari kerja waktu normal untuk membiayai kehidupan mereka. Dengan adanya MEA, kerja keras apa lagi yang dibutuhkan dari mereka? Dari dunia sebetulnya kita dapat belajar bahwa mengejar pertumbuhan ekonomi semata justru bisa menimbulkan kesenjangan kesejahteraan di tengah masyarakat.

Laporan Bank Dunia menyebutkan kesenjangan ekonomi di Indonesia semakin lebar. Selama 2011-2014, koefisien gini meningkat menjadi 0,41 walaupun pertumbuhan ekonomi melaju dengan cepat. Meski pertumbuhan ekonomi kita selama lima tahun terakhir ini memiliki kinerja yang baik bila dibandingkan dengan negara- negara tetangga di ASEAN, Indeks Pembangunan Manusia kita masih berada di posisi ke- 110 dari 188 negara di dunia.

Indeks kita satu kelompok dengan negara-negara yang baru beranjak dan terintegrasi dengan pasar dunia seperti Kamboja, Vietnam atau Myanmar. Sementara negara yang usia pembangunannya seusia kita seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand lebih tinggi posisinya. Kita hanya masih lebih tinggi 5 peringkat dari Filipina. Data itu mengingatkan kita untuk kembali meletakkan fokus pembangunan kepada manusia dan tidak hanya pada angka-angka ekonomi.

Human Development Index adalah salah satu ukuran yang meletakkan indikator harapan hidup (life expectancy at birth), pendidikan (rata-rata partisipasi sekolah), dan GNI per kapita. Mengukur kesejahteraan hanya pada pertumbuhan ekonomi atau PDB tidaklah akurat karena ukuran itu hanya ukuran kapasitas produksi sebuah negara.

Amartya Sen misalnya memberi contoh, sebuah negara yang penduduknya menyukai transportasi umum akan lebih baik daripada negara yang pertumbuhan ekonominya lebih tinggi karena didorong oleh penjualan mobil pribadi. Sebuah desa yang lebih menyukai kesenian tradisional belum tentu tidak bahagia daripada desa yang dipenuhi bioskop yang memutar film-film internasional.

Contoh tersebut adalah gambaran bagaimana tidak semua investasi atau kegiatan ekonomi yang mendorong pertumbuhan ekonomi itu baik dari sisi manusianya. Sebaliknya, kegiatan ekonomi semestinya justru memfasilitasi kesejahteraan dan kebahagiaan dari penduduk mayoritasnya dan tidak sekadar mencari akumulasi modal.

Oleh sebab itu, menarik ajakan mantan Presiden Megawati untuk kembali menghidupkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang pernah dijalankan pada pemerintahan Orde Baru. Terlepas dari kerumitan yang akan dihadapi terkait dengan sistem hukum ketatanegaraan kita bila GBHN hendak dihidupkan kembali,

penetapan GBHN harus melibatkan partisipasi masyarakat umum dan tidak sekadar disusun oleh para elite dan teknokrat yang tidak mengetahui secara dekat potensi dan kapasitas yang dimiliki masyarakat Indonesia yang sangat heterogen dari sisi keyakinan kepercayaan, budaya, sosial, dan lain-lainnya. Visi para penyusun haruslah jangka panjang.

GBHN yang diinginkan hari ini perlu berbeda dari GBHN masa lalu yang lebih sarat muatan politiknya sehingga justru melanggengkan kemiskinan dan ketidakberdayaan dari satu generasi ke generasi lainnya. GBHN hari ini harus mempertimbangkan posisi strategis Indonesia dalam pasar ekonomi global dan cara-cara yang dikedepankan untuk menjamin terpenuhinya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar