Ketika
Tax Amnesty Kurang Menarik
Candra Fajri Ananda ; Dekan dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan
Bisnis, Universitas Brawijaya
|
KORAN
SINDO, 04 Januari 2016
Sebagai tulang
punggung pendapatan negara, di ujung tahun 2015 sektor pajak menjadi trending topic bagi kalangan penggiat
ekonomi. Hal ini tidak terlepas dari tiga isu utama yang terkait dengan
pajak: (1) realisasi pendapatan pajak 2015; (2) target pendapatan pajak 2016;
dan (3) potensi tax amnesty.
Pertama, realisasi
pajak di tahun 2015 berlangsung cukup menggembirakan. Terlepas dari
persentase capaian target yang kemungkinan tidak lebih dari 85% dan tax ratio
yang hanya berkisar 11%, hingga perhitungan pada saat Natal kemarin pajak
yang terkumpul merupakan rekor tertinggi yang pernah terekam sejarah
perpajakan Indonesia. Pada 25 Desember
2015, jumlah pendapatan negara dari pajak telah mencapai Rp1.084 triliun dan
cukup jauh melampaui pendapatan tahun lalu yang terkumpul sebesar Rp982
triliun. Yang perlu kita apresiasi adalah langkah-langkah jitu dari segenap
pegawai Ditjen Pajak yang mampu menjaga tren pertumbuhan realisasi pajak di
tengah ekonomi nasional yang sedang lesu belakangan ini.
Kedua, isu yang
menarik berikutnya adalah proyeksi pendapatan dari pajak 2016 yang ”dipaksa”
kembali meningkat tajam dengan target mencapai Rp1.546,7 triliun, atau
meningkat 19,5% dari target APBN-P 2015. Angka ini terbilang cukup ”gila” dan
”berani” jika memandang keadaan eksisting, karena capaian di tahun ini saja
dapat dikatakan Ditjen Pajak cukup ngos-ngosan
untuk mengejar target penerimaan.
Ketiga, wacana
kebijakan pengampunan pajak (tax
amnesty) yang tengah marak dijadikan harapan untuk meningkatkan
penerimaan pajak. Tax amnesty dilakukan dengan cara menghapus ancaman proses pidana
bagi pelanggar pajak yang bersedia mengajukan permohonan amnesti dan
merevaluasi nilai pajaknya. Pengajuan amnesti nantinya akan diikuti dengan
berbagai konsekuensi yang bersifat mengikat, seperti dengan membayar paket
tarif tebusan dan memberikan akses kepada Ditjen Pajak untuk mengawasi
kantong-kantong aset kekayaan pemohon amnesti.
Sebenarnya sah-sah
saja ketika tax amnesty mendapat
begitu banyak perhatian, karena secara konseptual akan banyak hal positif
yang bisa dikumpulkan. Selain bertujuan untuk meningkatkan pendapatan dari
pajak, tax amnesty akan mendorong wajib pajak lebih jujur dan transparan,
serta yang paling utama ialah untuk memulangkan (merepatriasi)
potensi-potensi pajak dari asset-aset warga Indonesia yang banyak berhamburan
di luar negeri. Perkiraan Ditjen Pajak, aset masyarakat di luar negeri yang
bisa diamnestikan mencapai Rp2.000 triliun. Jika dihitung dari tarif tebusan
3% saja, potensi penerimaan yang didapat pemerintah bisa mencapai Rp60
triliun.
Akan tetapi,
pemerintah perlu memperluas perspektif mengenai wacana tax amnesty karena di
dalamnya juga terdapat beberapa tantangan yang tentunya harus banyak-banyak
diantisipasi. Misalnya kebijakan antara pemerintah dan lembaga-lembaga
antikorupsi (Kejaksaan, Kepolisian, KPK, BPK, dan PPATK) yang harus disinkronkan
karena sebagian pajak yang diamnesti diindikasikan berasal dari ”kerja
kotor”. Jangan sampai laporan yang dilampirkan pemohon amnesti justru menjadi
bahan bukti tindak pidana karena salah satu poin dari RUU Pengampunan
Nasional yang memuat tax amnesty menjamin
pemohon terlepas dari ancaman pidana.
Kedua, tantangan
mengenai kesiapan secara sosial yang terkait dengan budaya masyarakat untuk
”berani jujur” dan efek psikologis terhadap wajib pajak yang selama ini
relatif disiplin memenuhi kewajibannya. Belum lagi dengan kesiapan pemerintah
agar tax amnesty bisa lepas dari
pergunjingan dengan kepastian sasaran target (kualifikasi) penerima tax amnesty, jaminan perlindungan
investigasi, dan mekanisme pelaporan dan pengawasan.
Ketiga, jangan sampai
wacana tax amnesty justru membuat
pemerintah tidak jeli dengan potensi-potensi pajak lainnya. Seandainya target
penerimaan dari tax amnesty tercapai maksimal, kontribusinya hanya berkisar
3,88% dari target pajak akumulatif 2016 dan terhitung masih relatif kecil jika
dibandingkan dengan komponen target lainnya. Karenanya, jangan sampai
pemerintah justru mengabaikan pos-pos pajak lainnya hanya karena tax amnesty tengah menjadi perhatian
publik.
Kondisi perpajakan
2015 yang menjadi barometer awal pemerintahan Presiden Joko Widodo sudah
sepatutnya untuk dijadikan bahan renungan. Capaian realisasi pajak menjelang
akhir Desember 2015 yang memang cukup mengejutkan berbagai pihak ternyata
banyak disuplai dari peningkatan capaian PPh dan PPN. Nominal pajak yang
dihasilkan antara 1 Desember hingga 25 Desember 2015 mampu mencapai Rp242
triliun. Perolehan fantastis tersebut karena sepanjang bulan Desember
Kementerian Keuangan dan Ditjen Pajak berupaya melakukan beberapa kebijakan
strategis, antara lain dengan revaluasi aset perusahaan BUMN, perbankan, dan
perusahaan properti; pendekatan terhadap 50 wajib pajak besar; pajak dari
sektor migas; dan reinventing policy
(penghapusan sanksi administrasi pajak).
Dari beberapa
kebijakan tersebut ada kebijakan yang dipandang tidak cukup alami (dari segi
kebiasaan/tidak selalu terjadi setiap tahun di bidang perpajakan) yang telah
dilakukan, yakni reinventing policy
dan pola ijon . Reinventing policy
mampu mendorong penghasilan pajak karena menjadi alternatif untuk menghindari
sanksi pajak setelah ditundanya pemberlakuan tax amnesty di ujung 2015. Adapun pola ijon yang dimaksudkan tadi
ialah dengan mengimbau agar sejumlah wajib pajak besar untuk mengangsur pajak
kurang bayar untuk tahun 2015 lebih cepat dari semula yang sedianya diagendakan
paling lambat April 2016.
Penyebab lain yang
mendorong meningkatnya pencapaian pajak 2015 adalah dengan adanya
pertimbangan dari wajib pajak untuk memanfaatkan kebijakan keringanan tarif
pajak penghasilan (PPh) final atas revaluasi aktiva di akhir Desember 2015,
serta tren pembayaran pajak yang ramai dilakukan di akhir tahun ketika
pemeriksaan pajak selesai dilakukan. Menkeu Bambang PS Brodjonegoro bahkan
memperkirakan pembayaran pajak pada Desember mampu mencapai 1,5 kali lipat
dari perolehan November.
Berangkat pada kondisi
tersebut seharusnya pemerintah tidak berharap terlalu berlebihan terhadap tax amnesty, karena sejujurnya sektor
yang perlu didorong menjadi harapan terbesar untuk menjadi donatur negara
melalui pajak seharusnya tetap menjadikan sektor riil sebagai ujung
tombaknya. Apalagi tax amnesty
merupakan program jangka pendek. Yang paling logis adalah bagaimana upaya
agar potensi-potensi pajak dapat dipatenkan menjadi sumber penerimaan jangka
panjang, termasuk di antaranya melalui pengembangan sektor-sektor ekonomi
potensial dan strategis.
Pertumbuhan ekonomi
tetap harus dikejar melalui kebijakan fiskal dan moneter yang dinamis dan pro
pengembangan sektor riil. Harapannya ketika sektor riil mampu terus
bertumbuh, tingkat pendapatan tenaga kerja meningkat, sasaran target pajak
juga bisa ikut tumbuh. Sebagai catatan, data Ditjen Pajak hingga Maret 2015,
potensi wajib pajak dengan ukuran nomor pokok wajib pajak (NPWP) di Indonesia
sebenarnya mencapai sekitar 45-60 juta orang. Namun, hanya sekitar 28 juta
orang yang memiliki NPWP, serta hanya 23 juta orang di antaranya yang patuh
melaporkan surat pemberitahuan (SPT). Hal ini berarti sekitar 22-37 juta
orang yang belum bayar pajak sehingga sangat mungkin hal ini yang mendorong
tidak tercapainya target serapan pajak pada tahun ini. Ketika jumlah wajib
pajak meningkat, pemerintah tinggal meneruskan dengan rajin-rajin ”menjemput
bola” agar serapan pajak bisa optimal. Strategi ini terbukti efektif
sebagaimana yang terjadi pada Desember 2015, yaitu tindakan persuasif yang
dilakukan Kemenkeu dan Ditjen Pajak direspons positif oleh wajib pajak.
Target berikutnya
untuk meningkatkan pajak ialah dengan meningkatkan pengawasan pada pajak
tambang dan sumber daya alam (SDA). Koalisi Anti-Mafia memperkirakan kerugian
yang ditanggung pemerintah mencapai Rp4,6 triliun dari kekurangan pembayaran
iuran dan royalti perusahaan tambang sepanjang 2010- 2013. Data yang
dipublikasikan Publish What You Pay
(PWYP) Indonesia juga menghitung kisaran kerugian negara akibat kekurangan
bayar 4.361 izin usaha pertambangan (IUP) mencapai Rp3,768 triliun, yang
dihitung dari hasil rekapitulasi data Dirjen Mineral dan Batubara di 12
provinsi.
Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) pada awal 2015 pernah memberikan beberapa ide yang dapat
dikaitkan agar penerimaan pajak dari tambang dan SDA mampu dimaksimalkan.
Ide-ide tersebut (i) mendorong kebijakan pengolahan hasil tambang dan SDA
tidak dalam bentuk mentah serta listing perusahaan di bursa efek untuk
memudahkan pengawasan laporan keuangan; (ii) menyediakan administrasi khusus
perusahaan tambang di KPP wajib pajak pertambangan agar terfokus dan tidak
bercampur dengan sektor lain; dan (iii) membuat standar harga seperti Indonesia Coal Index untuk menentukan
PPh dan royalti yang harus dibayarkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar