Selasa, 05 Januari 2016

Kapsul Waktu dan Mimpi Jokowi

Kapsul Waktu dan Mimpi Jokowi

  I Basis Susilo  ;  Dosen FISIP Universitas Airlangga Surabaya
                                                      JAWA POS, 01 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

KETIKA meresmikan kapsul waktu yang berisi resolusi dan mimpi-mimpi dari rakyat Indonesia di Merauke, Papua (30/12), Presiden Jokowi mengguratkan tulisan ” Impian Indonesia 2015–2085.” Impian Jokowi terdiri atas tujuh poin.
Pertama, SDM Indonesia yang kecerdasannya mengungguli bangsa-bangsa lain di dunia. Kedua, masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi pluralisme, berbudaya, religius, dan menjunjung nilai-nilai etika. Ketiga, Indonesia menjadi pusat pendidikan, teknologi, dan peradaban dunia. Keempat, masyarakat dan aparatur pemerintah yang bebas dari perilaku korupsi. Kelima, terbangunnya infrastruktur yang merata di seluruh Indonesia. Keenam, Indonesia menjadi negara yang mandiri dan paling berpengaruh di Asia Pasifik. Dan, ketujuh, Indonesia menjadi barometer pertumbuhan ekonomi dunia.

Visi dan Proyeksi  

Target masa depan, visi, road map, blueprint, rencana, garis besar, atau apa pun namanya menjadi amat penting bagi suatu negara-bangsa. Apalagi negara-bangsa itu besar seperti Indonesia. Ide mengadakan kapsul waktu menunjukkan adanya arti penting dan strategisnya visi, road map, arah, dan target bagi negara-bangsa kita. Dengan tujuan dan arah yang jelas itu, perhatian dan energi bisa kita proyeksikan dan prioritaskan sehingga produktif untuk pembangunan negara-bangsa. Singapura dan Tiongkok bisa kita jadikan contoh sukses.

Singapura menjadi negara maju karena ada mimpi Lee Kuan Yew pada 1959. Bahwa Singapura bisa menyamai negara-negara Eropa Barat pada 1980. Lee bekerja keras merealisasikan mimpinya dengan mendisplinkan Singapura menjadi masyarakat meritokratik yang memang berhasil menyamai –bahkan melampaui– Eropa Barat. 

Tiongkok juga punya arah yang jelas. Semua pemimpin Tiongkok, seperti Mao Tse-tung, Deng Xiaoping, dan Xi Jinping, punya mimpi mengalahkan AS pada 2049 atau 100 tahun setelah Tiongkok berdiri. Lalu, pada Maret 2005, Pusat Penelitian Modern Tiongkok mencanangkan target: 2015 menyamai Jepang, 2050 jadi negara maju secara relatif, 2080 jadi negara maju menyamai AS, dan 2100 jadi adidaya ( superpower) menggantikan AS. 

Di Indonesia, kita mengenal pelbagai istilah untuk ikhwal arah dan target nasional. Saat Orde Lama, ada rencana pembangunan sepuluh tahun, rencana pembangunan lima tahun, dan rencana pembangunan nasional semesta berencana. Di masa Orde Baru ada GBHN, propenas, propeda, dan repelita. Di era reformasi ada randangan pembangunan jangka menengah dan panjang (RPJMP) serta rencana tata ruang wilayah nasional (RTRWN).

Jika dibandingkan dengan impian Lee dan road map Tiongkok, rumusan GBHN atau RPJMP lebih panjang dan kompleks karena semuanya ingin dicakup. Akibatnya, tidak seperti di Singapura dan Tiongkok, masyarakat awam di Indonesia tak bisa tahu persis rumusan sederhana target dan arah pembangunan nasionalnya. Masyarakat lebih mudah memahami visi Indonesia 2030 yang diluncurkan Yayasan Forum Indonesia pada Maret 2007. Sebab, targetnya ringkas dan amat jelas.

Produktivitas, Kemaritiman, dan Demokrasi  

Lalu, masyarakat mengetahui Nawacita yang dikenalkan Jokowi sejak kampanye Pilpres 2014. Nawacita tentu saja mendasari tulisan tangan Jokowi untuk kapsul waktu. Namun, secara umum, tujuh poin Jokowi itu masih kurang spesifik. Targetnya tidak tegas bila dibanding impian Lee dan road map Tiongkok. 
Tujuh poin impian Jokowi ditulis tangan sehingga mungkin ide yang keluar bersifat spontan. Namun, karena yang menulis adalah presiden, kita cukup yakin tujuh poin impian itu dipersiapkan oleh timnya. Apa pun, setidak-tidaknya ada tiga hal yang perlu dicatat dari impian Jokowi tersebut.

Pertama, soal kecerdasan dan produktivitas. Dalam poin pertama impian Jokowi, hanya disebutkan soal kecerdasan. Tidak disebutkan soal produktivitas. Mungkin asumsinya, kecerdasan menyangkut kemampuan untuk menghadapi dan mengelola kehidupan secara bijak, efektif, dan efisien.

Presiden Jokowi sendiri terus-menerus mengampanyekan semangat kerja, kerja, dan kerja. Kabinetnya pun dinamai Kabinet Kerja. Poin kelima Nawacita disebutkan selain ”Indonesia pintar”, ada ”Indonesia kerja” dan ”Indonesia sejahtera”. Poin keenam Nawacita juga menyebutkan secara esplisit peningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing.

Kedua, soal kemaritiman. Amat mengherankan, dari tujuh poin impian Jokowi itu, tidak ada kata ”maritim”. Padahal, secara masif dikampanyekan oleh Jokowi bahwa Indonesia menjadi poros maritim dunia. Buktinya, enam kata terakhir dari poin pertama Nawacita berbunyi ”... memperkuat jati diri sebagai negara maritim.” Tiadanya kata ’’maritim” dalam impian Jokowi sangat disayangkan karena tidak sesuai dengan semangat dasar yang ingin dibangunnya dan bisa melemahkan perjuangan memperkuat jati diri negara maritim kita.

Ketiga, soal demokrasi. Dari tujuh poin itu, juga tidak ada kata ”demokrasi” sama sekali. Yang mendekati kata itu pun, seperti kerakyatan, partisipasi rakyat, perwakilan rakyat, musyawarah, juga tidak ada. Mestinya kata ”demokrasi” atau padanannya masuk di poin kedua. Hal itu penting karena sejak 1998 kita sudah memilih demokrasi sebagai alternatif pengelolaan bernegara kita. Bahwa di sana-sini masih ada kelemahan dalam pelaksanaan, itu bisa dipahami dan harus diperbaiki. Dengan itu pun, kita kini dihargai dan jadi model bagi komunitas internasional sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia setelah India dan AS.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar