Karya Tradisi di Tengah Nilai yang Berubah
Imam Muhtarom ; Penulis Cerita Pendek;
Anggota Forum Studi Sastra dan
Seni Luar Pagar (FS3LP), Surabaya
|
KOMPAS,
17 Januari 2016
Nilai yang dianut oleh
sebuah masyarakat menentukan kesenian apa yang diapresiasi. Nilai menjadi
dasar bagi bangunan perspektif anggota komunitas yang bersangkutan dalam
memandang keseluruhan kehidupannya. Pegangan yang paling konkret sekaligus
paling abstrak ada pada nilai ini. Nilai disebut paling konkret sebab ia memberi
arah bagaimana sebuah individu dalam komunitas masyarakatnya menjalani
kehidupannya.
Sedangkan nilai
disebut paling abstrak lantaran nilai tidak bisa ditunjuk secara langsung.
Selain memang ada dalam tataran ide, nilai hanya bisa ditunjuk dalam jejak
yang berupa aktivitas individu atau kolektif di dalam masyarakatnya.
Dalam sebuah komunitas
masyarakat yang masih menyukai wayang kulit atau reyog bulkiyo di Blitar
bagian utara menganut nilai-nilai yang tertentu yang sejalan dengan apa yang
menjadi ekspresi karya tradisi tersebut. Nilai itu misalkan masih percaya
kebaikan selalu menang melawan kejahatan. Kepercayaan tersebut begitu meresap
dalam komunitas sehingga dalam memandang keseharian secara niscaya nilai ini
diterapkan. Dalam perilaku sehari-hari kebaikan diutamakan sebab perbuatan
jahat selalu akan dapat dikalahkan.
Kepercayaan yang jauh
meresap dalam lubuk individu tidak lain manifestasi dari pandangan yang
dilandasi metafisika. Adanya kebaikan di dunia nyata ini bukan semata berasal
dari lubuk manusia. Kebaikan diyakini sudah ada semenjak manusia belum ada.
Kebaikan sudah eksis dalam jagat di luar kehidupan manusia, katakanlah dalam
dunia dewa-dewa atau di dunia sebelum atau sesudah manusia ada. Kepercayaan
ini lazim dalam dunia komunitas tradisi di mana pun khususnya di Nusantara.
Kepercayaan ini juga menjadi dasar dari pandangan pada Islam, Buddha, Hindu,
dan Kristiani.
Wayang kulit akan
mudah diterima oleh pelbagai masyarakat yang memandang dunia ini hanyalah
sesaat dan alam sesudah kematian dianggap alam kelanggengan atau abadi.
Wayang kulit merupakan ekspresi paling baik untuk mengutarakan nilai bahwa
dunia tidak lebih dari bayang-bayang. Apa yang mewujud secara fisik hanyalah
kefanaan, sementara rasa yang tidak punya wujud itulah yang hakiki. Dunia ide
telah lama dikenal masyarakat Jawa jauh sebelum konsepsi tersebut
diperkenalkan dari khazanah pemikiran Yunani. Wayang kulit, reyog bulkiyo, dan jenis karya
masyarakat tradisi lainnya hidup di tengah nilai sebagaimana diuraikan di
atas.
Warung kopi
Semua orang telah tahu
nilai yang tumbuh berkembang di masyarakat saat ini adalah nilai yang
menempatkan kebutuhan materi sebagai hal yang utama. Dalam perbincangan
santai di warung kopi sampai dengan rapat di era Kabinet Kerja urusan ekonomi
hari ini sebagai hal yang utama. Persoalan ekonomi selalu terkait dengan
tingkat konsumsi suatu masyarakat. Apabila konsumsi masyarakat menurun
menjadi indikator pokok bahwa terjadi pelemahan tingkat perekonomian suatu
negara.
Dalam lain perkataan,
pandangan akan pentingnya ekonomi menjadi nilai yang digunakan banyak pihak
dalam memahami kehidupan. Pandangan hidup saat ini menempatkan realitas di
dunia lebih diutamakan daripada kehidupan sesudah mati. Nilai yang berkembang
di masyarakat lebih mementingkan kehidupan di dunia hari ini.
Kenyataan ini bukan
hendak menyesali adanya perubahan nilai yang berkembang di masyarakat,
melainkan mencermati implikasinya terhadap karya tradisi. Secara teoretis
bisa dikatakan menguatnya nilai material ini akan menentukan keberadaan karya
tradisi ini, apakah kemudian bertahan dengan mengakomodasi nilai yang sedang
menguat atau kukuh dengan pakem lama. Konsekuensi yang pertama, sebuah
pertunjukan akan kehilangan esensi tradisinya namun tetap memiliki
penggemarnya. Sedangkan konsekuensi yang kedua, sebuah pertunjukan akan
kehilangan penggemarnya namun tetap memiliki esensi tradisinya.
Sebuah wayang akan
kehilangan esensi tradisinya ketika pada babak manyura yang mestinya berisi
kisah sarat akan ajaran moral klasik ternyata diganti dengan pertunjukan
campursari hingga sampai jam 3 dini hari. Alhasil, cerita jadi tak selesai
atau dipaksa selesai. Hal ini tidak saja dilakukan dalang jawatimuran dengan
gaya wetanan (disertasi Ribut
Basuki, 2010), tetapi juga dalang jawatengahan kulonan yang dikenal lebih
teguh menjaga pakem. Namun pertunjukan di pedesaan di Jawa dari tengah malam
hingga menjelang pagi itu penonton tambah semangat lantaran ada sindhen yang
goyangnya bak penyanyi dangdut pantura.
Sementara itu, reyog
bulkiyo dari Blitar bagian utara yang taat pakem harus kehilangan
penontonnya. Pertunjukan reyog ini semenjak akhir abad ke-19 tidak banyak
yang berubah. Tidak ada inovasi dan para pelakunya bilang tidak memerlukan
inovasi demi menjaga pakem dari para leluhur. Pada pihak lain, penonton
bilang pertunjukan reyog ini membosankan lantaran pemainnya tua-tua dan
tariannya itu-itu aja. Mereka lebih suka pada jaranan yang ada campursari dan
goyang ngebor ala pantura.
Ada fungsi yang
berubah dari karya tradisi di dalam masyarakatnya. Dulu pertunjukan wayang
kulit pada 1930-an di pedesaan di Blitar seorang dalang dianggap orang yang
memiliki kemampuan dalam hal ilmu moral dan ilmu batin. Seorang dalang
posisinya sebagai pusat ajaran yang disebarkan kepada masyarakat lewat
pertunjukan wayang kulit. Sebuah pertunjukan wayang kulit adalah sebuah
pertunjukan yang sakral sebab di dalamnya terdapat petuah yang diberikan oleh
seorang dalang yang mumpuni.
Demikian juga dengan reyog bulkiyo, jaranan, reyog
ponorogo, wayang jemblung, topeng sumenep, topeng malang, tari seblang,
kentrung, dan lainnya. Karya tradisi ini dalam hubungannya dengan masyarakat
berfungsi secara ritual. Karya itu menjadi penanda dalam daur kehidupan
manusia berupa kelahiran, pernikahan, sunatan, masa panen atau bersih desa
lewat sebuah pertunjukan. Dari segi intrinsik maupun konteksnya karya tradisi
ini menyatu dengan komunitas pendukungnya. Bisa diterima kemudian Ben
Anderson memahami orang Jawa lewat wayang kulit, Clifford Geertz memahami orang
Bali lewat adu jago, Ninuk Kleden memahami orang Betawi dengan topeng betawi,
dan Pudentia MPSS memahami orang Melayu Riau dengan makyong.
Saat ini persoalannya
menjadi praktis. Karya tradisi yang mengakomodasi nilai yang berbasis materi
akan bertahan dengan tetap memiliki penggemarnya. Sebaliknya, karya tradisi
yang tidak mengakomodasi nilai berbasis materi ini perlahan dengan pasti
kehilangan pendukungnya. Karyatradisi ini tidak lagi mendapat undangan pentas
dari masyarakatnya sebab mereka membutuhkan hiburan yang menggairahkan
inderawi daripada petatah-petitih sarat petuah moralyang barangkali tidak
mereka perlukan.
Untuk itu, karya
tradisi yang kukuh dengan pakem semakin kehilangan komunitasnya. Ia tidak
memiliki tempat berjejak di tanah kelahirannya seperti 20 atau 50 tahun yang
lalu. Bila dibiarkan terus dengan pasti karya tradisi akan punah. Punah
pertunjukannya dan punah pula esensi tradisinya yang sarat nilai luhur. Dalam
hal ini sudah saatnya dipikirkan dan adanya kebijakan yang berorientasi
pelestarian karya tradisi yang merupakan bagian dari tradisi lisan yang amat
berharga. Sekiranya tidak mungkin mengembalikan kepada fungsi
ritualnya—sesuatu yang terlalu ambisius, tentu saja—paling tidak memberi
kesempatan pertunjukan secara periodik kepada karya tradisi tersebut di
daerahnya masing-masing. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar