Siap?
Samuel Mulia ; Penulis Kolom “PARODI’ Kompas Minggu
|
KOMPAS,
17 Januari 2016
Di suatu acara makan
siang, sebuah pertanyaan dilontarkan oleh klien saya. ”Tahun baru ini kan gak
akan lebih baik dari tahun kemarin, gimana persiapan elo menghadapinya? Aku
denger beberapa majalah dan koran udah pada tutup tuh.”
Tidak bahagia
Makan siang itu adalah
ritual yang menjadi favorit dibandingkan dua acara makan lainnya. Tetapi,
kalau sambil makan siang saya dihadapkan dengan pertanyaan yang menyodok ulu
hati, otak, dan nurani, saya suka rada gimana gitu.
Maka mulut yang baru
saja menelan sambal terasi dan petai plus ayam bakar mengeluarkan jawaban
untuk pertanyaan yang jleb itu dengan sekadarnya. ”Waduh… kalau aku mah dijalanin
aja, Mbak. Pokoknya kerja yang bener aja. Yaah… diirit-iritlah semuanya. Dan
kalau sudah begitu, ternyata harus tutup pintu, yaa… mau gimana lagi. Ya kan,
Mbak?”
Saya tak tahu apa yang
ada dalam pikiran si mbak mendengar jawaban itu, tetapi masalah lain segera
timbul. Setelah perut sedikit terisi, bukannya malah ngantuk, saya malah jadi
kepikiran. ”Apa ya persiapan gue tahun ini?” Itu adalah perasaan keder
pertama saya di tahun baru ini. Kekederan itulah yang membuat saya mulai
introspeksi.
Saya mulai dengan
mempertanyakan diri sendiri tanpa melihat kamus bahasa Indonesia, apa makna
dari persiapan. Buat saya, persiapan adalah sebuah tindakan yang dilakukan
dengan kesadaran penuh, bisa jadi tidak di bawah tekanan atau malah terjadi
di bawah tekanan yang bertujuan untuk menghadapi sebuah situasi.
Tekanan itu bisa
bermacam-macam bentuknya. Dari kondisi ekonomi, politik, sampai bos yang
gampang panik, bawel, tidak percaya kepada siapa pun, termasuk dirinya
sendiri sampai klien yang sama tipenya seperti bos itu.
Nah, itu penjelasan
soal persiapan versi otak saya. Terus bagaimana dengan kata siap itu sendiri?
Masih menurut otak saya yang gitu deh itu, siap adalah keadaan atau kondisi
dari faktor internal seseorang yang diperlukan dalam melakukan persiapan.
Kalau sering Anda dan
saya membaca kalimat macam sudah siapkah Anda, itu berarti sebuah pertanyaan
yang sedang mempertanyakan soal faktor internal Anda dan saya. Seberapa
’sehat’-nya faktor internal itu dalam menghadapi sebuah situasi, dan bukan
soal mempertanyakan pemahaman Anda dan saya atas faktor eksternal yang
menekan.
Bahagia
Selama menjalani
kehidupan ini, saya jarang pernah siap. Sudah berusia setengah abad lebih,
sudah terbang ke sana kemari tetap tak pernah matang-matang. Saya sendiri
suka heran, mengapa bisa begitu. Teman saya suka mengatakan itu karena IQ
saya yang lumayan. Lumayan B, katanya. B itu biasa banget.
Kenapa saya tidak
matang? Apakah benar hanya karena jam terbang yang kurang meski sudah
setengah abad lebih? Atau IQ yang B itu? Saya mengartikan bahwa siap itu
adalah cermin atau gambaran seberapa sehatnya bagian dalam diri itu, yang
sejujurnya justru menjadi kekuatan seseorang dalam melakukan persiapan.
Kekuatan di dalam siap itu bukan soal pemahaman materi yang dipaparkan dalam
bentuk power point, bukan dalam pengertian dan pengetahuan yang dahsyat soal
situasi politik dan ekonomi.
Kalau siap adalah
sebuah kekuatan, dari mana saya menghimpun kekuatan itu? Setelah beberapa
hari mencari dalam perenungan, saya mendapatkan jawabannya. Penghimpunan
kekuatan itu justru datang dari hal-hal nonmaterial.
Saya tidak siap karena
saya ini tidak bahagia. Karena tidak bahagia, saya tak bisa tenang. Otak saya
tidak tenang, jiwa saya tidak tenang, emosi saya tidak tenang. Saya percaya
Anda pernah mengalami perasaan tidak bahagia. Itu dalam bahasa sehari-hari
diucapkan dengan kalimat sederhana: ”Gue kesellll banget.”
Kesal itu tidak
bahagia. Kata tekanan itu adalah istilah yang lahir karena melihat sebuah
situasi dari kacamata yang tidak bahagia. Orang kalau tidak bahagia itu,
melihat tekanan itu sebagai sebuah hal yang negatif, dan kemudian merembet ke
mana-mana. Ya, kan?
Tidak bahagia mampu
menimbulkan reaksi emosional yang berlebihan, sehingga waktu melihat bos dan
klien bawel, melihat keadaan ekonomi yang tidak nyaman, maka kepanikan akan
muncul. Nah, bahagia itu diperlukan untuk bisa mengurangi reaksi emosional
yang berlebihan.
Coba Anda ingat-ingat
lagi saat Anda dalam situasi yang berbahagia, semua rasanya oke-oke saja,
bukan? Anda dan saya akan mudah bersyukur. Aksi bersyukur itu adalah bukti
sebuah perjalanan spiritual yang dapat dilihat secara duniawi.
Siap itu kekuatan yang
justru dihimpun dari sikap dan perilaku yang nonmaterial. Kekuatan melawan
tekanan tidak pernah akan bisa dirasakan dari ketidakbahagiaan. Maka yang
utama yang harus Anda lakukan dalam menghadapi sebelas bulan ke depan dan
hari-hari setelah sebelas bulan itu adalah menghimpun kekuatan secara
spiritual dan bukan duniawi. Kekuatan itu tidak ada dalam presentasi di power point Anda atau di dalam otak
Anda yang terbatas itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar