Senin, 18 Januari 2016

Siap?

Siap?

Samuel Mulia  ;   Penulis Kolom “PARODI’ Kompas Minggu
                                                       KOMPAS, 17 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Di suatu acara makan siang, sebuah pertanyaan dilontarkan oleh klien saya. ”Tahun baru ini kan gak akan lebih baik dari tahun kemarin, gimana persiapan elo menghadapinya? Aku denger beberapa majalah dan koran udah pada tutup tuh.”

Tidak bahagia

Makan siang itu adalah ritual yang menjadi favorit dibandingkan dua acara makan lainnya. Tetapi, kalau sambil makan siang saya dihadapkan dengan pertanyaan yang menyodok ulu hati, otak, dan nurani, saya suka rada gimana gitu.

Maka mulut yang baru saja menelan sambal terasi dan petai plus ayam bakar mengeluarkan jawaban untuk pertanyaan yang jleb itu dengan sekadarnya. ”Waduh… kalau aku mah dijalanin aja, Mbak. Pokoknya kerja yang bener aja. Yaah… diirit-iritlah semuanya. Dan kalau sudah begitu, ternyata harus tutup pintu, yaa… mau gimana lagi. Ya kan, Mbak?”

Saya tak tahu apa yang ada dalam pikiran si mbak mendengar jawaban itu, tetapi masalah lain segera timbul. Setelah perut sedikit terisi, bukannya malah ngantuk, saya malah jadi kepikiran. ”Apa ya persiapan gue tahun ini?” Itu adalah perasaan keder pertama saya di tahun baru ini. Kekederan itulah yang membuat saya mulai introspeksi.

Saya mulai dengan mempertanyakan diri sendiri tanpa melihat kamus bahasa Indonesia, apa makna dari persiapan. Buat saya, persiapan adalah sebuah tindakan yang dilakukan dengan kesadaran penuh, bisa jadi tidak di bawah tekanan atau malah terjadi di bawah tekanan yang bertujuan untuk menghadapi sebuah situasi.

Tekanan itu bisa bermacam-macam bentuknya. Dari kondisi ekonomi, politik, sampai bos yang gampang panik, bawel, tidak percaya kepada siapa pun, termasuk dirinya sendiri sampai klien yang sama tipenya seperti bos itu.

Nah, itu penjelasan soal persiapan versi otak saya. Terus bagaimana dengan kata siap itu sendiri? Masih menurut otak saya yang gitu deh itu, siap adalah keadaan atau kondisi dari faktor internal seseorang yang diperlukan dalam melakukan persiapan.

Kalau sering Anda dan saya membaca kalimat macam sudah siapkah Anda, itu berarti sebuah pertanyaan yang sedang mempertanyakan soal faktor internal Anda dan saya. Seberapa ’sehat’-nya faktor internal itu dalam menghadapi sebuah situasi, dan bukan soal mempertanyakan pemahaman Anda dan saya atas faktor eksternal yang menekan.

Bahagia

Selama menjalani kehidupan ini, saya jarang pernah siap. Sudah berusia setengah abad lebih, sudah terbang ke sana kemari tetap tak pernah matang-matang. Saya sendiri suka heran, mengapa bisa begitu. Teman saya suka mengatakan itu karena IQ saya yang lumayan. Lumayan B, katanya. B itu biasa banget.

Kenapa saya tidak matang? Apakah benar hanya karena jam terbang yang kurang meski sudah setengah abad lebih? Atau IQ yang B itu? Saya mengartikan bahwa siap itu adalah cermin atau gambaran seberapa sehatnya bagian dalam diri itu, yang sejujurnya justru menjadi kekuatan seseorang dalam melakukan persiapan. Kekuatan di dalam siap itu bukan soal pemahaman materi yang dipaparkan dalam bentuk power point, bukan dalam pengertian dan pengetahuan yang dahsyat soal situasi politik dan ekonomi.

Kalau siap adalah sebuah kekuatan, dari mana saya menghimpun kekuatan itu? Setelah beberapa hari mencari dalam perenungan, saya mendapatkan jawabannya. Penghimpunan kekuatan itu justru datang dari hal-hal nonmaterial.

Saya tidak siap karena saya ini tidak bahagia. Karena tidak bahagia, saya tak bisa tenang. Otak saya tidak tenang, jiwa saya tidak tenang, emosi saya tidak tenang. Saya percaya Anda pernah mengalami perasaan tidak bahagia. Itu dalam bahasa sehari-hari diucapkan dengan kalimat sederhana: ”Gue kesellll banget.”

Kesal itu tidak bahagia. Kata tekanan itu adalah istilah yang lahir karena melihat sebuah situasi dari kacamata yang tidak bahagia. Orang kalau tidak bahagia itu, melihat tekanan itu sebagai sebuah hal yang negatif, dan kemudian merembet ke mana-mana. Ya, kan?

Tidak bahagia mampu menimbulkan reaksi emosional yang berlebihan, sehingga waktu melihat bos dan klien bawel, melihat keadaan ekonomi yang tidak nyaman, maka kepanikan akan muncul. Nah, bahagia itu diperlukan untuk bisa mengurangi reaksi emosional yang berlebihan.

Coba Anda ingat-ingat lagi saat Anda dalam situasi yang berbahagia, semua rasanya oke-oke saja, bukan? Anda dan saya akan mudah bersyukur. Aksi bersyukur itu adalah bukti sebuah perjalanan spiritual yang dapat dilihat secara duniawi.

Siap itu kekuatan yang justru dihimpun dari sikap dan perilaku yang nonmaterial. Kekuatan melawan tekanan tidak pernah akan bisa dirasakan dari ketidakbahagiaan. Maka yang utama yang harus Anda lakukan dalam menghadapi sebelas bulan ke depan dan hari-hari setelah sebelas bulan itu adalah menghimpun kekuatan secara spiritual dan bukan duniawi. Kekuatan itu tidak ada dalam presentasi di power point Anda atau di dalam otak Anda yang terbatas itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar