Penodaan
Agama dan Kritik Agama
YD Anugrahbayu ; Peminat Filsafat
|
DETIKNEWS, 08 Juni 2017
Ada alasan untuk menolak penodaan agama, tetapi tak ada
alasan untuk menolak kritik agama. Perbedaannya dapat ditunjuk dengan lugas:
penodaan agama tak punya sasaran lain kecuali menjelekkan agama itu sendiri,
sedangkan kritik agama menyasar praktik atau penghayatan agama yang tak
segera jelas bagi akal sehat dan nurani.
Itulah mengapa kritik agama dapat bermanfaat bagi agama.
Ketika Karl Marx mengatakan bahwa agama adalah candu rakyat, ia sedang
melakukan kritik agama, bukan penodaan agama. Sasarannya adalah praktik atau
penghayatan agama yang diam-diam turut menyuntikkan kesadaran palsu dalam
sistem masyarakat kapitalis. Melalui agama, pengisapan buruh seakan mendapat
pembenaran, dengan ungkapan "upahmu besar di surga."
Orang beragama yang jernih tak buru-buru menjadi ateis
karena kritik itu. Orang beragama yang jernih juga tak buru-buru marah
karenanya. Sikapnya di tengah-tengah: jangan-jangan, penghayatan agama selama
ini kurang tepat; jangan-jangan, agama selama ini terlalu sibuk berdoa,
sambil melupakan orang miskin yang mengetuk pintu gereja.
Dari kegundahan itu muncullah teologi pembebasan di
Amerika Latin, yang salah satunya diilhami oleh kritik agama Marx. Sejak itu
Gereja tersengat, lalu meninjau ulang berbagai aspek ajarannya. Itulah contoh
bagaimana agama dapat menimba manfaat dari kritik agama.
Teologi pembebasan bukan satu-satunya. Agama-agama lain
tak kekurangan contoh serupa. Dalam peristiwa-peristiwa itu, praktik atau
penghayatan agama mengalami proses pendewasaan. Tak secuil pun kebenaran
agama yang gugur. Sebaliknya, agama justru terdorong menggali kesejatiannya.
Kesejatian itu sedang memburam di negeri ini, sebab segala
bentuk kritik agama terancam dianggap penodaan. Seakan-akan bagi agama
berlaku hak istimewa: hak untuk tidak dikritik. Di negeri ini apa saja dan
siapa saja boleh dikritik: kapitalisme, neoliberalisme, komunisme, anggota
DPR, presiden, menteri, seniman, bintang sinetron, asal bukan agama(wan).
Kenyataan ini mestinya mengkhawatirkan, terlebih bagi para
pekerja seni, penulis, akademisi, dan siapa saja yang terbiasa membicarakan
agama dengan jiwa yang bebas. Jangan-jangan, kaum perawat akal sehat itu
diam-diam kian enggan dan sungkan bicara agama, karena takut dianggap
menista. Apalagi, sekarang ada kebrutalan baru bernama "persekusi."
Sambil sejenak tercenung, layak direnungkan sebuah
pekerjaan besar: menemukan bentuk kritik agama yang pas untuk konteks
Indonesia. Sebab kalau bukan dengan kritik, dengan cara apa masyarakat akan
mendewasakan diri dalam praktik beragama? Cara paling lunak seperti
pendidikan pun, pada akhirnya, membutuhkan sikap kritis.
Barangkali masih ada yang belum selesai dengan masalah:
mengapa praktik beragama perlu didewasakan? Bagi mereka tersedia banyak
jawaban. Salah satunya: sebab kendati wahyu agama diyakini berasal dari
Tuhan, Sang Kebenaran, manusia yang menafsirkannya bukan Sang Kebenaran itu
sendiri, dan karenanya bisa keliru.
Itulah mengapa kritik agama diperlukan. Bukan demi
meniadakan agama, melainkan demi kian jernihnya pemahaman dan penghayatan
agama: bahwa beragama tak hanya soal ibadah, melainkan juga ikhtiar keilmuan,
kerja keras, dan amal kasih; bahwa beragama tak hanya memusingkan akhirat
semata, melainkan juga kemaslahatan bersama, kini dan di sini; bahwa beragama
adalah kesediaan berbalik dari kemunafikan menuju kesejatian.
Kejernihan-kejernihan itu sedang tergerus oleh keruhnya
gelombang politik belakangan ini. Ketika suara sedikit pedas segera dicap
"penistaan", di mana lagi ada jalan terbuka bagi kritik? Ketika
kemampuan sosial untuk membedakan antara "menista" dan
"mengritik" kian lemah, tidakkah setiap kritik akan segera
dibungkam oleh keroyokan kerumunan?
Barangkali, frasa "kritik agama" itu sendiri tak
nyaman untuk selera harmoni Indonesia —seakan-akan kritik harus berarti
penolakan, pembumihangusan. Memang ada bentuk-bentuk kritik agama seperti
itu, namun tentu bukan itu yang kita kehendaki.
Kalau kritik agama semakin mustahil, setidaknya perlu
diupayakan, dengan lebih semarak dan lantang, suatu pendekatan kritis atas
agama. Sebab dalam kenyataan, agama kerap ditungganggi oleh kepentingan
sempit yang mencoreng kesejatian agama itu sendiri.
Lewat pendekatan kritis atas agama, pengertian sehari-hari
tentang "belajar agama" mendapat nuansa baru. "Belajar
agama" berarti menggali, dengan segenap daya akal budi, kebenaran agama
dari sumber-sumbernya yang terpercaya. "Belajar agama" berarti
menunda segala prasangka dan sikap tahu segalanya, seraya membuka mata
terhadap tantangan dari luar sana, yang jawabannya tak selalu disediakan oleh
agama.
Dengan cara-cara itu, pemahaman dan penghayatan agama akan
bergerak menuju taraf dewasa. Dengan kedewasaan itu umat beragama akan siap
menyumbangkan perannya dalam masyarakat demokratis. Seperti pernah
dikemukakan oleh Jürgen Habermas dalam esainya, Religion in der
Öffentlichkeit, sekurang-kurangnya ada tiga syarat bagi umat beragama, untuk
dapat berperan positif dalam masyarakat demokratis.
Pertama, umat dari satu agama mampu memandang positif umat
beragama lain, juga yang berpandangan hidup lain. Contoh konkret: tidak
mengkafir-kafirkan. Kedua, umat beragama mampu menempatkan diri dalam
batas-batas demarkasi antara iman dan ilmu pengetahuan. Coontoh konkret:
kesanggupan mengakui bahwa kisah penciptaan tak dimaksudkan sebagai kisah
sejarah, sehingga tak ada halangan untuk menerima teori evolusi.
Ketiga, umat beragama mampu menempatkan diri dalam
kerangka bahasa pergaulan internasional, yakni nilai-nilai kemanusiaan
universal. Contoh konkret: pengakuan akan kesetaraan martabat individu.
Ketiganya, demikian Habermas, mesti dapat terpenuhi tanpa mengorbankan
kebenaran agama yang bersangkutan.
Tentu, umat beragama dapat bertanya: apakah agama yang
memenuhi ketiga syarat itu masih dapat disebut agama dalam arti sepenuhnya?
Sementara masalah itu tak terjawab, masalah sebaliknya pun tak kalah genting:
dapatkah umat beragama berperan positif dalam masyarakat demokratis tanpa
mengindahkan tiga syarat itu?
Pendekatan seperti itu harus diakui sangat terbatas. Daya
jangkaunya jauh lebih sempit daripada kritik agama, yang dapat menggelisahkan
atau menyadarkan masyarakat hampir di segala lapis. Namun itu lebih baik,
daripada tak ada sama sekali.
Kalau benar bahwa kritik agama telah mati pada tataran
hukum-politik, sekurang-kurangnya masih ada harapan untuk menunda,
mudah-mudahan juga mencegah, kematian itu pada tataran sosial-budaya.
Menolak penodaan agama, lepas dari perdebatan sengit
tentangnya, masih dapat dimengerti. Namun menolak kritik agama sama sekali
tak beralasan, kecuali keangkuhan dan kemunafikan. Menolak menerima kritik
bukan bukti kesungguhan beragama, melainkan sebaliknya: keengganan
meninggalkan nyamannya berdiam dalam kemunafikan —musuh agama mana pun. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar