ASN
di Negara Kesatuan
Miftah Thoha ; Guru Besar Ilmu Administrasi Negara UGM
|
KOMPAS, 20 Juni 2017
Istilah aparatur sipil negara atau ASN mulai kita kenal
sejak Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 diundangkan. Sebelumnya, dari sejak
Negara Kesatuan Republik Indonesia berdiri tahun 1945, yang kita kenal adalah
Undang-Undang Pokok Kepegawaian.
Undang-undang ini mengatur tata kelola atau administrasi
yang menentukan kebutuhan, pengangkatan, penempatan, promosi, penggajian, dan
pemberhentian pegawai. ASN tidak sekadar mengelola atau administrasi
kepegawaian, tetapi sebutan bagi organisasi kepegawaian yang mengutamakan
profesi jabatan bagi aparatur negara yang berlandaskan kompetensi profesionalitas
dan sistem merit.
Belum genap umur dua tahun undang-undang ini diberlakukan,
media sudah dipenuhi upaya merevisi, mengkritik, dan menghapuskannya. Bahkan
di DPR yang mengesahkan UU ini, ada salah satu fraksi partai politik yang
mengusulkan revisi UU ASN.
Di perguruan tinggi pun ada guru besar yang, karena kurang paham
tentang ASN, menulis dengan nada perlu disempurnakan. Maka, tulisan ini
berupaya menjelaskan perlunya ASN di negara kesatuan yang berbeda sistem penataannya
dengan negara yang otonomi dan desentralisasi federalistis.
Landasan konstitusi
Pembagian kekuasaan negara di awal teori pembagian
kekuasaan negara menekankan pada konstitusi negara. Akan tetapi, karena
konstitusi sering berubah atau diamendemen, konstitusi acap diberi nama paper
barricade. Lalu mulai dicari landasan untuk membagi kekuasaan negara,
lahirlah pembagian kekuasaan vertikal dan horizontal.
Pembagian kekuasaan secara vertikal melahirkan pembagian
kekuasaan pada dua sistem negara, yakni negara kesatuan dan negara federalistis.
Pembagian kekuasaan horizontal melahirkan bentuk pemerintahan parlementer dan
presidensial.
Indonesia, sejak proklamasi, memilih pembagian kekuasaan
negara berupa negara kesatuan dan pemerintahan berupa kabinet presidensial,
walaupun pernah merasakan sebentar kabinet parlementer.
Amerika Serikat memilih pembagian kekuasaan pada sistem
federalistis yang disepakati oleh negara-negara bagian yang berdaulat penuh.
Negara-negara bagian menyerahkan kekuasaan menjalankan kewenangan di bidang keuangan,
luar negeri, pertahanan, pos, dan telepon kepada pemerintah federal,
kewenangan sisanya berada secara otonom di negara bagian.
Di negara kesatuan, kekuasaan menjalankan negara di tangan
pemerintah pusat. Kewenangan dan kekuasaan pemerintah daerah bukan secara
otonom diberikan, melainkan melalui asas desentralisasi. Asas ini dilakukan
pemerintah pusat atas dasar prinsip "by the pleasure of central
government" (Encyclopedia Americana, Glolier Inc, 1985). Cara ini
membuat sistem pemerintahan suatu negara kesatuan bisa sangat sentralistis,
bisa pula sangat desentralisasi yang ditafsirkan sebagai otonomi daerah.
Bentuk dan sistem ASN dilakukan sesuai bentuk negara dan
pemerintah masing-masing. Di negara federalistis, pemerintah federal yang
menata aparatur sipil dan militer untuk administrasi pemerintah federal. Di
negara bagian aparatur sipil juga diatur pemerintah bagian. Cara semacam ini
dilakukan pemerintah federal AS.
Di Kantor Presiden AS ada dua lembaga federal yang
mengurusi personel dan budget, yakni OPM (Office Personel Management) dan OMB
(Office Management Budget). Berbeda dengan pemerintah federal Kanada. Semula
karena Kanada berbentuk negara kesatuan, kekuasaan pemerintahan di tangan
pemerintah pusat. Kemudian Kanada berubah menjadi negara federal sehingga
akhirnya berbentuk campuran atau integrated antara sistem negara kesatuan dan
federal.
Di sinilah barangkali mengapa PBB berpendapat ada tiga
model bentuk negara yang becermin pada negara kesatuan seperti Indonesia,
Singapura, Jepang, bentuk negara federal Amerika Serikat, dan federal Kanada.
Desentralisasi
Di negara kesatuan sebenarnya pemerintah daerah tidak
mempunyai hak otonomi. Namun, di Indonesia otonomi pemerintah pusat sebagian
didesentralisasikan kepada pemda.
Di awal reformasi tahun 1999, sistem pemerintahan daerah
pun diatur dalam UU No 22/1999 yang kemudian direvisi menjadi UU No 32/2014.
Kedua undang-undang ini dikenal sebagai undang-undang otonomi daerah karena
sebelumnya pemerintah sangat sentralistis dan otoriter. Semangat saat itu
adalah mewujudkan pemerintah daerah yang desentralistis.
Salah satu pasal UU No 22 dan 32 menyatakan bahwa titik
berat otonomi diletakkan pada pemerintah daerah kabupaten dan kota, sedangkan
wakil pemerintah pusat berada di provinsi. Sering kita jumpai, di awal
reformasi ada bupati dan wali kota yang merasa tidak perlu berkoordinasi
dengan gubernur.
Sekarang sudah ada pengertian bagaimana sebaiknya menurut
konstitusi kita hubungan pemerintah pusat yang dipimpin presiden dengan
pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota. Istilah dan pemahaman
otonomi disejajarkan dengan istilah desentralisasi dalam arti bahwa
pemerintah daerah mempunyai otonomi mengurus kewenangan dasar daerahnya
sesuai asas desentralisasi. Dengan demikian, istilah otonomi daerah itu bukan
otonomi seperti negara bagian di pemerintahan federal, tetapi otonomi yang
diperoleh melalui asas desentralisasi yang diatur pemerintah pusat.
Perkembangan pelaksanaan desentralisasi di pemerintah
daerah sekarang telah maju karena kemajuan informasi teknologi dan
ditemukannya sumber daya alam yang bisa membawa kemakmuran di daerah. Namun,
sebagai bagian dari negara kesatuan, keterikatan aturan dan ketentuan
pemerintah pusat masih sangat menentukan.
ASN di negara kesatuan
UU No 5/2014 yang mengatur aparatur sipil di negara
kesatuan tidak ada persoalan dengan aparatur sipil di daerah. Pemerintah
daerah memperoleh kewenangan mengatur pemerintahannya berdasarkan asas
desentralisasi dari pemerintah pusat, bukan otonomi dari awal seperti negara
bagian.
Otonomi di pemda adalah kewajiban pemda mengatur
kewenangan dasar setiap pemda yang diatur melalui asas desentralisasi.
Kekuasaan dan kewenangan mengatur ASN di
pemerintah daerah diatur oleh pemerintah pusat. Pemda tidak bisa
otonom mengatur aparaturnya. Setiap pemda melaksanakan pengaturan administrasi aparatur pegawai
daerah sebagai pelaksana ketentuan pemerintah pusat.
Etika perpindahan jabatan aparatur bisa dilakukan
antarinstansi pemda, demikian juga pindah ke daerah lain dan ke pemerintah
pusat. Namun, karena alasan keterbatasan anggaran dan formasi, perpindahan
kepegawaian masih banyak soal.
Maka, di pemerintah pusat ada organisasi Badan Kepegawaian
Negara (BKN) seperti OPM di AS yang mengatur aparatur personel federal, dan
pemda ada unit organisasi biro atau bagian kepegawaian daerah. Walaupun BKN
berada di pemerintah pusat, di setiap daerah terdapat juga instansi atau
kantor.
Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) seperti BKN di
pemerintah pusat memproteksi sistem merit agar dilaksanakan di semua wilayah
Indonesia sehingga birokrasi aparatur sipil netral dan tidak bisa
diintervensi oleh kepentingan politik partai politik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar