Kokain
Goenawan Mohamad ; Esais; Mantan
Pemimpin Redaksi Majalah Tempo
|
TEMPO.CO, 19 Juni 2017
"Orang
tak pernah begitu keji, sepenuh hati dan antusias, seperti ketika ia bertindak
berdasarkan keyakinan agama."
Simonini mengatakan itu dengan yakin, tapi
kita tak perlu mempercayainya. Ia cuma manusia fiktif, tokoh dalam novel
Umberto Eco, Il cimitero di Praga (Pekuburan di Praha), seseorang yang hidup
dari dusta dan pemalsuan.
Ya, kita tak perlu mempercayainya. Tapi
kita pernah, belum lama ini, melihat foto leher-leher manusia yang ditebas di
Irak, masjid-masjid yang jemaahnya ditembaki di Pakistan, rombongan ziarah
yang dibom di Afganistan, gadis-gadis yang diculik di Nigeria, sejumlah
wartawan yang dibunuh di sebuah kantor majalah di Prancis, penonton konser
yang diberondong peluru di Inggris -- dan beberapa tahun yang lalu, saling
bantai di Maluku, dan sebelumnya lagi, mayat-mayat yang terapung di
sungai-sungai dengan tubuh yang dipotong di Jawa, 1965.
Dan kita baca atau dengar, kekejian itu
dilakukan dengan iman.
Jangan-jangan Simonini benar. Ia sebut
agama bukan candu yang diisap sembari berbaring hingga lemas, melainkan
kokain yang merangsang orang berangkat buat membunuh.
Tak hanya terkait dengan "Islam".
Di satu bagian reportase yang memukau tentang Kota Mumbai, India, Maximum
City: Bombay Lost and Found, Suketu Mehta menemui para aktivis Shiv Sena,
kaum ekstremis Hindu. Mereka membumihanguskan kampung dan manusia, di bulan
Januari 1993. Untuk menyelamatkan Hinduisme.
Sunil, salah seorang dari mereka, dengan
kalem menceritakan apa yang terjadi pada orang yang dibakarnya: "Orang
itu bangun, lari menyelamatkan diri, jatuh, bangun lagi, lari”. Minyak
menetes dari tubuhnya, bola matanya membesar, makin besar, bagian putihnya
kelihatan, putih, putih, dan jika kita sentuh tangannya -- bagian putihnya
juga kelihatan. Terutama di hidungnya minyak menetes, air menetes, putih,
putih sekujur badan."
Itu bukan hari-hari untuk berpikir. Kami
berlima membakar seorang muslim. Pagi pukul 4 orang banyak berkumpul, jenis
orang yang belum pernah aku lihat. Ibu-ibu, bapak-bapak. Mereka ambil senjata
apa saja yang bisa dibawa. Lalu kami berbaris ke daerah muslim. Di jalan
raya, kami ketemu seorang pavwallah naik sepeda. Aku kenal dia. Ia penjual
roti, dan aku membeli dari dia tiap hari. Aku bakar dia. Kami tuangkan minyak
ke tubuhnya lalu kami kasih api. Aku cuma berpikir, dia ini muslim.
Tubuhnya
gemetar. Ia menangis. "Aku punya anak, aku punya anak!" jeritnya.
Aku balas: "Ketika orang-orang muslim membunuhi orang Radhabi Chawl,
memangnya kamu memikirkan anak-anak mereka?"
Tak banyak cerita sedetail itu tentang
kekejaman dan iman, tapi sejarah punya rekam jejak yang mungkin lebih tua ketimbang
yang disebut dalam Kitab Yosua. Alkisah, Kota Yerikho ditaklukkan Bani Israel
yang dipimpin Yosua dan, konon berdasarkan hukum Tuhan, herem, tiap
penduduknya dibunuh--termasuk perempuan dan anak-anak.
Tentu saja bukan hanya agama yang punya
jejak pembasmian itu. Setelah 1492, orang Eropa datang dan bermukim di Benua
Amerika. Dengan cepat, penduduk "Indian" yang sudah lebih dulu di
sana berangsur-angsur menciut. Mereka terdesak, mereka tertular penyakit
pendatang, atau mereka dibantai. Dalam catatan Bartolomé de Las Casas,
seorang padri dan sejarawan abad ke-16, ada beberapa kejadian ketika
orang-orang Spanyol bertaruh siapa yang siap menyembelih seorang Indian atau
merenggutkan bayi dari susu ibunya dan menghantamkan kepalanya ke batu.
Abad ke-20: Hitler mencoba menghabisi orang
Yahudi bersama mereka yang tak dianggap ras "Arya"; sekitar 6 juta
mati. Stalin melakukan "pembersihan" besar-besaran dan diperkirakan
600 ribu sampai dengan 3 juta jiwa (yang dianggap "kontrarevolusioner")
dihabisi. Di Tiongkok, "Revolusi Kebudayaan" digerakkan Mao Zedong
dengan mengerahkan ribuan anak muda, "Pengawal Merah". Dengan
fanatik mereka hancurkan apa saja yang dianggap "menyeleweng".
Diperkirakan 500 ribu sampai 2 juta orang tewas--antara lain dengan
pembunuhan massal dan kanibalisme.
Mungkin ada titik-titik yang sama antara
agama dan ajaran "sekuler" seperti Naziisme dan Maoisme. Sesuatu di
sana membuka pintu bagi kekejaman ramai-ramai. Ada wacana tentang pengabdian
yang total, pengorbanan buat sesuatu yang lebih luhur ketimbang hidup
sehari-hari, ada surga yang dijanjikan kelak, ada ritus dan
ritual--menghormat sang Führer dengan mengangkat tangan, melambai gembira
dengan "Buku Merah Ketua Mao". Juga ada kader pilihan, ada sabda
yang dihafal--dan otak yang sudah dibersihkan dari pikiran "sesat".
Permusuhan pun jadi kosmis, tak
memperebutkan kepentingan praktis yang sebentar. Agenda adalah mengubah
manusia, memproduksi "manusia baru".
Tak mengherankan bila tumbuh keyakinan
besar yang dengan mudah jadi keangkuhan. Dalam novelnya yang lain Eco
menyebutnya "keangkuhan rohani", l'arroganza dello spirito:
"iman yang tanpa senyum, kebenaran yang tak pernah dijangkiti
ragu." ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar