Belajar
Toleransi dari Rumah Sakit
Sidik Nugroho ; Penulis Lepas dan Penikmat Film
|
DETIKNEWS, 08 Juni 2017
April dan Mei lalu adalah bulan yang tak terlupakan. Pada
bulan April, selama delapan hari saya berada di rumah sakit, menginap tiap
malam, menjaga adik yang mengalami sakit gangguan pencernaan. Pada bulan Mei,
selama lima hari saya kembali ke rumah sakit yang sama, bertugas malam
menjaga bapak yang mengalami sakit komplikasi.
Pada dua kesempatan itu kebetulan saya menjaga adik dan
bapak saya di kelas yang sama, yaitu kelas dua yang satu kamarnya bisa diisi
dua orang. Pada saat adik saya dirawat, ada pasien lain yang dirawat juga di
kamar yang sama sejak beberapa hari sebelumnya. Pasien itu berasal dari
Pengkang, sekitar dua puluh kilometer dari Pontianak. Bicaranya pelan, suka
tersenyum.
Pada saat bapak saya dirawat, ada dua pasien lain yang
sekamar. Dua-duanya berasal dari Pontianak. Pasien pertama hanya sehari,
pasien kedua masuk pada hari ketiga ayah saya dirawat dan masih dirawat
setelah bapak saya pulang dari sana.
Pada waktu-waktu itu—bahkan sampai sekarang—media sosial
cukup 'ramai'. Aksi demonstrasi menyalakan lilin, membela ulama, sebutan
'kafir' dan 'pribumi', sering kali muncul di kronologi media sosial. Ketika
menyimak berbagai kiriman teman dari ponsel, di kamar rumah sakit, tak jarang
saya merasa hidup di dua dunia yang berbeda.
Yang tak terlupakan adalah percakapan saya dengan
pasien-pasien itu—juga keluarga mereka—tentang kenyamanan tidur dan
beristirahat: lampu utama kami sepakati untuk dimatikan ketika tidur, hanya
lampu dekat tempat mencuci tangan yang menyala; pintu kamar mandi dan pintu
kamar akan selalu ditutup. Tak jarang, kami berbicara berbisik-bisik.
Tujuannya jelas, agar pasien lain di kamar yang sama tidak terganggu.
Para pasien dan keluarganya yang tidak saling kenal
sebelumnya, kemudian berkenalan di rumah sakit, didorong oleh niat yang sama
mendapatkan kesembuhan, secara otomatis mengembangkan toleransi. Apakah
manusia memang lebih mudah bersikap toleran ketika tak berdaya, atau—kalau
melihat dari perspektif keluarga pasien—dihadapkan pada ketidakberdayaan?
Mungkin begitu.
Alih-alih bersikap toleran, saya membayangkan, dua orang
yang mungkin tidak saling kenal, sedang tidak sakit, dan berbeda haluan dalam
berpolitik, lalu 'bertemu' di media sosial, mungkin akan 'bertengkar'. Saat
sehat, tampaknya manusia memang lebih suka memaksakan kehendak, pikiran, atau
gagasannya. Lalu lupa, bahwa dengan kesehatan tubuhnya, energi dan waktunya
dihabiskan untuk—salah satunya—bertengkar habis-habisan di media sosial.
Ya, saat kita sehat, seberapa sering kita mensyukuri
kesehatan itu? Dalam sebuah film yang diangkat dari kisah nyata pernah
dikisahkan orang-orang yang sulit sehat seperti sediakala, bahkan bisa
dikatakan nyaris 'mati', dan suatu ketika, karena keajaiban, mereka sehat!
Film Awakenings (sutradara Penny Marshall) mengisahkan
perjuangan seorang dokter bernama Malcolm Sayer (Robin Williams) dalam
menangani pasien gangguan syaraf akut (post-encephalitic). Dalam pekerjaannya
dr. Sayer dibantu asisten bernama Eleanor Costello (Julia Kavner) yang setia,
bekerja di Chronic Hospital di Bronx.
Penyakit itu membuat orang yang mengalaminya sulit
menggerakkan anggota tubuh dan perlu dibantu orang lain bila melakukan
berbagai aktivitas. Kebanyakan, mereka yang menderitanya hanya bisa duduk
diam di kursi roda. Gejalanya penyakit itu seperti parkinson, namun lebih
parah.
Suatu hari di musim panas pada 1969, kejaiban terjadi.
Seorang kimiawan datang ke Chronic Hospital, dan di hadapan para dokter di
sana ia mempresentasikan tentang kemungkinan kesembuhan penyakit itu dengan
pemberian ramuan kimia bernama L-Dopa. Ramuan itu pun dicobakan pada Leonard
Lowe (Robert De Niro). Keesokan harinya, setelah L-Dopa diberikan, Leonard
sembuh. Ia melakukan apa yang paling suka dilakukannya sejak kecil: menulis
namanya, Leonard.
Obat pun diberikan kepada lima belas pasien lainnya, dan
keajaiban terjadi: semuanya sembuh. Mereka menumpang bus, berjalan-jalan ke
pantai, berdisko dan bernyanyi di sebuah tempat hiburan dengan riang. Itulah
ekspresi daya hidup orang-orang yang sebelumnya 'mati' karena sakit yang
mereka derita.
Sayangnya, pengaruh L-Dopa hanya berlangsung selama musim
panas 1969. Setelah itu mereka semua kembali seperti semula: hanya diam,
duduk di atas kursi roda, menatap kosong. Sebelum film berakhir, dr. Sayer
menyampaikan pidatonya, berkata, "Jiwa manusia lebih kuat daripada obat
mana pun dan itulah yang perlu untuk terus dipelihara."
Saat film berakhir, saya menyadari bahwa orang-orang
'mati' yang 'hidup' kembali itu memilih melakukan apa yang bagi mereka paling
asyik, paling menggembirakan, dan paling mereka sukai. Itulah yang diabaikan
orang-orang yang hidup sehat, yang menghabiskan waktu berjam-jam untuk
hal-hal yang tak signifikan menunjang kehidupan atau lebih membuat berbahagia.
Termasuk saya.
Sampai-sampai, saya pun belajar lagi tentang toleransi di
rumah sakit, lalu belajar (lagi) mengutamakan hal-hal yang lebih perlu,
mendesak, dan penting. Bahkan toleransi itu sendiri, dari sebuah buku diktat
PPKn untuk SMA yang pernah saya gunakan untuk mengajar, artinya kurang lebih
"kesediaan untuk membiarkan hal-hal yang berbeda dengan pendapat atau
prinsip seseorang dalam masyarakat".
Banyak peristiwa di negeri ini yang sedang dan akan
terjadi yang memantik rasa penasaran kita, menggoda kita untuk ikut
berpolemik dan berdebat, juga mengajak kita membuktikan mana yang benar dan
salah. Kita seakan-akan ditantang untuk turut menjadi pakar dalam berbagai
persoalan sosial, tapi mengabaikan yang lebih utama dan penting bagi
kehidupan sendiri.
Saat itulah kita perlu memilah dan memilih, mana yang
perlu kita tanggapi atau abaikan. Mengutip kata-kata dr. Sayer, kita perlu
memelihara jiwa kita dengan bersikap selektif dalam menanggapi berbagai isu
dan kabar yang beredar.
Toh kita sebenarnya menyadari, tak jarang kita hanya punya
'suara kecil' untuk membuat perubahan dalam hal-hal yang kita amati dan
perhatikan. Toleransi, dengan demikian, menolong kita untuk membiarkannya,
dan terus melanjutkan perjalanan kehidupan kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar