Korupsi
Mengepung Desa
Ade Irawan ; Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch
|
KOMPAS, 19 Juni 2017
Korupsi sudah merambah pengelolaan dana desa. Program
pembangunan dan pemberdayaan masyarakat menjadi sasaran. Apabila tidak ada
upaya serius untuk mengantisipasi, bukan peningkatan kesejahteraan yang
terwujud, melainkan pemerataan korupsi hingga ke pelosok desa.
Melalui kebijakan dana desa, perekonomian dan
kesejahteraan masyarakat diharapkan bisa meningkat. Alokasi anggaran yang
disediakan pemerintah pun terus bertambah. Pada 2017, total dana desa dari
APBN sebesar Rp 60 triliun, bertambah Rp 13,1 triliun daripada tahun
sebelumnya. Jika dibagi rata, tiap desa setidaknya akan mengelola uang
sebesar Rp 800 juta.
Berdasarkan Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah
Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 22 Tahun 2016 tentang Penetapan Prioritas
Penggunaan Dana Desa Tahun 2017, uang yang diterima pemerintah desa harus
digunakan untuk membiayai pelaksanaan program dan kegiatan di bidang
pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Di antaranya pengembangan dan
perbaikan infrastruktur, prasarana ekonomi, dan pelayanan sosial dasar,
seperti pendidikan, kesehatan, atau pemberdayaan perempuan dan anak.
Jika digunakan sesuai aturan, cita-cita meningkatkan
kesejahteraan masyarakat desa semestinya bisa segera terwujud. Namun,
sayangnya, peningkatan alokasi dana desa ternyata malah diiringi peningkatan
korupsi. Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Alexander Marwata,
mengatakan, laporan penyelewengan dana desa sangat tinggi. Sampai akhir 2016
saja, KPK menerima 300 laporan masyarakat soal dugaan penyelewengan dana
desa.
Begitu juga hasil kajian Indonesia Corruption Watch. Dalam
tren penanganan kasus korupsi 2016, kasus penyimpangan dana desa mengalami
peningkatan yang cukup tinggi. Kasus itu berada di urutan ketiga kasus yang
paling banyak ditangani oleh aparat penegak hukum, seperti kejaksaan dan
kepolisian. Dua kasus di atasnya adalah keuangan daerah dan dana pendidikan.
Modus korupsi
Paling tidak ada 48 kasus korupsi dana desa yang sudah
masuk dalam tahap penyidikan di kepolisian dan kejaksaan. Kasus menyebar di
16 provinsi, antara lain Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Sulawesi Tenggara.
Jumlah tersangka mencapai 61 orang. Sebagian besar merupakan perangkat desa,
terutama kepala desa.
Dari sisi modus, korupsi dana desa umumnya sangat
sederhana. Para pelaku masih menggunakan cara-cara lama, seperti markup
proyek, penggelapan, kegiatan atau program fiktif, dan pemotongan anggaran.
Modus-modus tersebut tidak memerlukan teknik yang canggih.
Sebagai contoh, program pembangunan dan pengadaan barang.
Pelaku menyiasati dengan membuat rencana anggaran biaya yang jauh lebih mahal
dibandingkan standar teknis pembangunan. Cara lain, mengurangi volume
pekerjaan dan membeli barang yang spesifikasinya lebih rendah dibandingkan
yang ditetapkan dalam rencana anggaran.
Dalam program-program pemberdayaan, modus yang sering
digunakan adalah membuat kegiatan-kegiatan fiktif: ada dalam
pertanggungjawaban keuangan, tetapi tidak ada kegiatan atau barangnya.
Kalaupun ada kegiatan, jumlah peserta dan durasi waktu riil jauh lebih
sedikit dibandingkan dalam laporan pertanggungjawaban. Temuan lain,
pemotongan honorarium untuk kader desa atau guru mengaji.
Ada beberapa faktor yang membuat para pelaku bisa begitu
mudah menyelewengkan dana desa. Pertama, monopoli anggaran. Dominasi
penyelenggara desa dalam penyusunan dan pengelolaan anggaran desa masih
sangat besar. Hanya mereka yang mengetahui rincian anggaran dan kegiatan.
Akibatnya, walau mereka memanipulasi, markup, mengubah spesifikasi barang,
atau menyunat anggaran, tidak akan ada yang tahu dan protes.
Kedua, kemauan dan kemampuan masyarakat berpartisipasi dalam
perencanaan dan pengawasan masih lemah. Banyak yang tidak tahu ada dana desa
dan tujuan penggunaannya. Ada pula yang menganggap penyusunan dan pengawasan
bukan urusan mereka. Kalaupun ada yang memiliki kemauan, hal itu tidak
ditunjang oleh kemampuan untuk berpartisipasi dalam proses perencanaan
ataupun pengawasan, seperti cara-cara menyusun anggaran dan mengawasi
pelaksaan proyek.
Ketiga, tekanan struktur. Pelaku korupsi dana desa bukan
hanya perangkat desa. Dalam beberapa kasus, perangkat kecamatan pun turut
terlibat. Mereka biasanya menggunakan kewenangan memverifikasi anggaran,
rencana pembangunan jangka menengah desa, dan laporan pertanggungjawaban
untuk mendapat setoran atau tanda terima kasih dari penyelenggara desa.
Selain itu, ada pula kasus korupsi dana desa yang terjadi
karena faktor teknis. Para penyelenggara desa tidak memiliki rencana
melakukan penyelewengan. Mereka terjebak korupsi karena tidak memahami aturan
dan prosedur penganggaran ataupun penggunaan anggaran.
Korupsi dana desa menyebabkan hilang atau berkurangnya
modal untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Program yang semestinya
bisa menjawab berbagai masalah klasik di desa, seperti infrastruktur yang
buruk dan sulitnya akses masyarakat terhadap modal ekonomi, bisa terancam gagal.
Tidak hanya itu, korupsi pun menghambat penguatan
demokrasi di desa. Proses demokrasi dalam penganggaran tidak berjalan karena
penyelenggara desa menutup ruang bagi masyarakat untuk ikut berpartisipasi
dan melakukan pengawasan. Prinsip dasarnya: semakin tertutup, semakin besar
ruang bagi mereka untuk melakukan penyimpangan, sekalipun anggaran tidak
mencerminkan aspirasi semua pemangku kepentingan desa.
Penguatan pendampingan
Langkah strategis mencegah agar korupsi tak makin menyebar
sangat sederhana, yaitu memperkuat demokrasi dan tata kelola keuangan desa.
Proses penyusunan rencana kegiatan dan anggaran dilakukan secara partisipatif
sehingga mengakomodasi masalah dan kebutuhan semua pemangku kepentingan desa.
Implementasi dan pertanggungjawabannya pun terbuka sehingga semua orang bisa
mengawal.
Syarat agar kondisi tersebut terwujud adalah perangkat
desa dan masyarakat sama-sama punya pengetahuan dan keterampilan dalam
penyusunan rencana program dan anggaran. Pendamping desa bisa menjalankan
tugas penting itu. Selama ini, mereka lebih banyak fokus mendampingi
perangkat desa. Selain itu, posisi tawarnya pun lemah dan banyak yang hanya
berperan sebagai penasihat kepala desa. Pada akhirnya, keberadaan pendamping
desa tak jauh beda dengan komite sekolah: hanya jadi tukang stempel kepala
sekolah.
Penguatan kapasitas, posisi, dan peran pendamping desa
menjadi kebutuhan mendesak. Hal penting lain adalah memperbaiki proses
perekrutan dengan menghentikan politisasi dan "jatah-jatahan"
pendamping. Seleksi harus mengutamakan kapasitas dan integritas sehingga
mereka yang terpilih tidak hanya independen, tetapi juga memiliki kapasitas
untuk mendampingi dan menjadi jembatan masyarakat dengan perangkat desa.
Apabila demokrasi dan tata kelola keuangan desa berjalan baik,
pemerintah tidak perlu repot-repot mengajak KPK untuk menakut-nakuti para
penyelenggara desa agar tidak korupsi. Sebab, korupsi dengan sendirinya akan
berkurang. Cita-cita meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa pun bisa
segera terwujud. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar