Merekam
Jejak Empati Siswa
Ahmad Baedowi ; Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 13 Maret 2017
TANTANGAN kehidupan sosial saat ini meningkat dengan
kompleksitas yang tak terbayangkan sebelumnya. Tatanan masyarakat yang dulu
guyub dan terjaga keramahannya kini berubah menjadi mudahnya orang terseret
kemarahan karena perkara sepele.
Kebencian merajalela hingga ke batas akhir kehidupan
seseorang, kematian. Bahkan kematian sekarang ini seakan tak bernilai karena
setelah seseorang mati pun, tetap dibawa dan terbawa oleh kemarahan karena
faktor kebencian dan kebodohan. Seakan tak ada lagi empati di hati masyarakat
karena mereka melihat kehidupan ini dengan hitam putih tanpa pengetahuan yang
memadai.
Mengapa kebencian merajai
kehidupan kita saat ini?
Mengapa hanya karena pilkada seseorang bisa dinisbatkan
sebagai kafir oleh tetangga sebelah rumahnya, bahkan oleh anaknya sendiri? Bagaimana
dengan masa depan anak-anak kita jika mereka dibesarkan kebencian? Apa yang
bisa kita persiapkan menghadapi pergeseran nilai-nilai sosial saat ini
terhadap pertumbuhan rasa anak-anak kita?
Sederet pertanyaan itu bisa ditambah ratusan bahkan ribuan
pertanyaan tentang hilangnya rasa kasih sayang sesama manusia di belahan bumi
bernama Indonesia.
Empati dan kebaikan
Dalam lingkungan sosial yang sedang berubah seperti
sekarang ini, keterampilan tentang empati dan kebaikan perlu segera diajarkan
terus-menerus di lingkungan pendidikan kita karena empati dan kebaikan akan
membantu kita membangun hubungan yang rasional dan autentik. Terutama dalam
memahami setiap masalah yang muncul dari perspektif orang lain serta
menciptakan solusi yang berarti.
Semakin cepat kita mengajarkan empati dan kebaikan kepada
anak-anak kita, akan semakin cepat mengubah kesuraman masa depan dunia.
Sekolah harus menjadi titik tumpu permulaan dalam
melatihkan empati dan kebaikan kepada anak-anak kita.
Sebagai sebuah keterampilan, empati dan kebaikan ialah
perkara besar dan mendasar yang harus menjadi acuan proses belajar-mengajar
di ruang-ruang kelas. Dengan menanamkan empati dan kebaikan ke dalam otak
anak-anak kita, ketika dimanfaatkan, empati akan memainkan peran penting
dalam inovasi, perubahan keputusan, dan memecahkan masalah secara sistemis.
Meskipun dalam teks-teks yang ada empati diartikan sebagai
'kemampuan untuk memahami apa yang orang lain rasakan', tapi ketika
dimasukkan ke dalam praktik, empati memiliki arti jauh lebih banyak.
Empati dan kebaikan mampu memahami banyak sisi dari sebuah
masalah yang kompleks saat ini dan kemampuan untuk berkolaborasi dengan orang
lain dalam menyelesaikan sebuah masalah. Empati juga bisa berarti sebagai
proses mendengarkan gagasan orang lain dan mengartikulasikan posisi diri
sendiri. Serta empati juga dapat berarti kemampuan seseorang untuk memimpin
sebuah tim pada satu hari, dan berpartisipasi sebagai anggota tim di hari
berikutnya.
Dalam kehidupan sehari-hari, empati dan kebaikan akan
membawa kita pada kesadaran untuk berkontribusi menyelesaikan setiap masalah
yang muncul tinimbang membiarkan masalah menjadi liar dan tanpa solusi.
Mengapa penting?
Pentingnya menumbuhkan kepekaan sosial siswa saat ini
melalui empati dan kebaikan ialah imperatif. Kita banyak sekali melihat
sebuah keberhasilan secara individual karena tekad dan ketekunan. Namun,
jarang kita melihat ada keberanian dan kemauan seseorang untuk terus berbagi
tentang pentingnya menjaga kohesi sosial. Anak-anak perlu dilatih dengan cara
kerja yang lebih mengedepankan perasaan orang lain secara kolektif, serta
melihat persoalan diri sendiri dari kacamata orang lain.
Dalam dunia yang sepenuhnya dikuasai persaingan global
antarindividu dan golongan, empati dan kebaikan akan menjadi mata uang yang
sangat berharga dalam dunia yang penuh dengan konektivitas dan perubahan.
Fenomena maraknya perilaku sosial menyimpang yang diikuti
rendahnya kualitas moral individu sangat terlihat jelas akhir-akhir ini. Munculnya
isu rasialisme, sektarianisme, dan diskriminasi yang mengelompok serta tak
habis-hentinya budaya koruptif penyelenggara negara ialah pertanda rendahnya
moralitas bangsa ini. Meskipun kita melihat ada begitu banyak peribadatan
yang dilakukan kaum beragama, simpul-simpul kemunafikan jelas tak bisa
dibohongi dengan banyaknya pemberitaan yang menunjukkan rusaknya moral masyarakat
kita.
Sebagai pendidik, sering kali para mahasiswa dan orangtua
bertanya kepada saya, mengapa bangsa ini sulit sekali untuk berubah kepada
kemajuan secara ekonomi serta memiliki keadaban perilaku yang baik dan
konsisten.
Jawaban saya selalu bermula dari analisis terhadap kondisi
pendidikan di Tanah Air, dengan Indonesia hari ini ialah cerminan dari produk
pendidikan 40 tahun terakhir. Sebagaimana diketahui, dalam 40 tahun terakhir
pemerintah kita tak meyakini secara tulus bahwa pendidikan merupakan aspek
paling penting yang harus dilakukan terlebih dahulu tinimbang pertumbuhan
ekonomi.
Namun, karena persoalan ekonomi juga tak kalah penting,
bahkan perkembangannya jauh lebih pesat dari sektor mana pun, akhirnya
persoalan pendidikan tidak menjadi prioritas utama yang diperhatikan
pertumbuhannya. Akibatnya ialah benar masyarakat tetap bisa makan dan tidak
kelaparan, tetapi relung jiwa mereka kosong karena tak diisi proses
pertumbuhan sistem pendidikan yang berorientasi pada moralitas. Bahkan sering
kali pendidikan dijadikan komoditas politik dan ditarik-tarik ke ranah hukum,
padahal sejatinya pendidikan ialah urusan moral semata. Pada titik ini,
persoalan pentingnya menanamkan empati dan kebaikan dalam proses
belajar-mengajar menjadi seperti sedikit terabaikan.
Di sekolah, pendekatan pembelajaran lebih banyak
berorientasi pada aspek daya saing, sebuah budaya untuk mengalahkan dan
menyisihkan orang lain, sehingga menimbulkan banyak sekali labeling seperti
murid pandai dan murid bodoh, kelas biasa dan kelas khusus, sekolah nasional
dan sekolah internasional. Serta atribut lain yang sungguh menyiksa perasaan
siswa dan orangtua karena tingginya diskriminasi.
Karena itu, wajar jika orang seperti Ivan Illich dan Paulo
Freire menganggap bahwa proses pendidikan di sekolah tak ubahnya seperti
ladang tempat para guru membunuh dan menindas potensi kemanusiaan siswa-siswi
mereka dan meniadakan empati dan kebaikan pada diri siswa.
Padahal, menciptakan jejaring dan kolaborasi antarsekolah
sangat dibutuhkan dalam rangka menciptakan partnership antara satu sekolah
dan yang lainnya.
Dengan menggunakan pendekatan sebagai pusat sumber belajar
bersama (common learning resources
center), misalnya, sebuah sekolah harus menawarkan diri kepada
sekolah-sekolah sekitar untuk bekerja sama dalam melakukan proses
belajar-mengajar. Tujuan strategi itu memberikan ruang yang luas kepada
sekolah untuk mempelajari apa saja yang mereka inginkan dari lingkungan
sekitar, yang akhirnya dapat menopang posisi sekolah sebagai lembaga pendidikan
yang mendorong keterlibatan masyarakat dalam proses pendidikan.
Mari kita bersama-sama mengubah haluan, dari halusinasi
pendidikan yang selalu mengejar keberhasilan dengan cara kompetisi menjadi
kesadaran yang menghargai kolaborasi. Pendidikan kita membutuhkan kesadaran
sekaligus kesediaan para guru dan orangtua untuk terlibat secara aktif dan
bertanggung jawab terhadap masa depan pendidikan anak-anak kita secara benar
dan bertanggung jawab.
Kesadaran dan kesediaan untuk bertahan dan percaya bahwa pendidikan
ialah proses investasi berjangka panjang yang membutuhkan kerja sama,
kesabaran, keuletan, dan kerja keras. Kata kunci dari semua itu ialah empati
dan kebaikan bersama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar