Myth
of Happiness
Ahmad Baedowi ; Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 20 Maret 2017
ADAKAH kesadaran dalam masyarakat kita yang memercayai
bahwa sumber kebahagiaan harus dan selalu datang karena seseorang mengalami
perubahan disebabkan pendidikan yang diterimanya?
Jika jawabannya benar, tentulah siapa pun akan setuju
bahwa hanya dengan pendidikan seseorang bisa mengalami kebahagiaan.
Tanpa pendidikan, bisa saja seseorang selalu merasa
bahagia karena mereka bisa memperoleh harta berlimpah hanya karena warisan
orangtua yang kaya atau pernah berkuasa penuh.
Namun, bisa dipastikan bahwa sumber kebahagiaan tidak
melulu soal materi dan kekayaan semata.
Mungkin inilah yang juga bisa menjelaskan alasan
psikologis bahwa kebahagiaan memang tidak bermula dari hal-hal yang bersifat
materialistis.
Sonja Lyubomirsky, profesor jurusan psikologi di
University of California yang menulis buku Myth of Happiness, menyimpulkan
ternyata rasa bahagia tidak berhubungan dengan kekayaan materi, tetapi karena
hubungan antarsesama, yaitu melalui persahabatan, bersama pasangan, dan
keluarga.
Pertanyaannya kemudian, apakah persahabatan yang
serbasaling membantu dalam pengertian yang negatif juga menjadi penyebab
tumbuhnya kebahagiaan setiap orang?
Paradoks
Beberapa waktu lalu, kita dikejutkan sebuah riset yang
mencoba memetakan anak-anak paling berbahagia.
Banyak pengamat, praktisi, dan ahli di bidang pendidikan
dan kependidikan merasa aneh, mengapa para siswa di RI termasuk kategori
siswa/mahasiswa paling berbahagia di dunia?
Padahal, secara paradoks, hasil pemeringkatan PISA
menunjukkan para siswa Indonesia berada pada level terendah dalam penguasaan
matematika, sains, dan literasi.
Salah satu jawaban yang muncul di tengah masyarakat kita
ialah statement bahwa ketidaktahuan merupakan sebuah kebahagiaan.
Jawaban lain ditunjukkan dari SMS salah seorang kolega
saya di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Jangan-jangan, katanya, selama ini kita tidak melakukan
bisnis pendidikan (education), tetapi lebih memilih mengurusi aspek
edu-tainment.
Yang penting bagaimana membuat anak-anak bahagia, meskipun
mereka bodoh, agar terus bisa dibodoh-bodohi.
Jadi, biarkanlah anak-anak kita terus dibuai aktivitas
chatting tiada henti melalui Facebook, dan segala macam bentuk media sosial
dan sinetron yang mengajarkan perilaku serbainstan, sehingga para siswa kita
akan cepat mengambil kesimpulan, orang bodoh di Indonesia tetap bisa hidup
karena biasanya mereka selalu dikelilingi nasib baik.
Kecurigaan lain juga bisa muncul dari gejala lain, mengapa
para siswa kita lebih berbahagia daripada para siswa di mana pun di dunia
ini, yaitu mudahnya mereka memperoleh pengakuan (ijazah).
Karena meskipun tak bekerja dan belajar dengan keras,
mereka pasti berhasil.
Orientasi pendidikan yang berfokus pada hasil itu membuat
proses belajar-mengajar tak lagi dianggap penting.
Karena meskipun mereka tidak belajar, jika ujian akhir
(UN), mereka pasti 'diluluskan' para guru mereka.
Jadi, wajar jika para siswa di Indonesia terus merasa
bahagia di dunia ini.
Secara psikologis, jelas sekali ada paradoks yang besar
antara capaian akademik yang rendah dan rasa bahagia ini.
Biasanya seseorang akan merasa bahagia jika memperoleh
kesuksesan karena bekerja keras dan belajar secara bersungguh-sungguh.
Namun, untuk anak Indonesia, karena sistem yang
serbainstan sudah menjadi keseharian, kata kerja keras dan belajar keras
menjadi kehilangan konteksnya.
Wellbeing
Kebahagiaan dalam bentuk lain yang serbainstan juga sangat
mudah didapat melalui kecanggihan gadget yang padat dan serbadigital.
Di tengah arus teknologi yang serbaringkas dan cepat,
dunia pendidikan justru sebaliknya harus kita kembalikan kepada habitat
budaya yang longgar.
Tidak menjadikan teknologi sebagai alat sekaligus tujuan
terciptanya kebahagiaan anak-anak kita.
Sesulit dan serunyam apa pun kondisi pendidikan, kita
harus terus memercayai bahwa alam dan hati nurani yang bersih tetap mampu
membimbing proses kesadaran, kesediaan, dan kesabaran kita menuju martabat
bangsa yang menghargai kerja keras.
Belajar dari Finlandia, misalnya, menjunjung tinggi nilai
dan harkat kemanusiaan ialah sumber kebahagiaan abadi dan tujuan pendidikan
bangsa Finnish.
"School aim is to raise human beings to find
strengths in their own personality, to be responsible and to respect each
other's fundamental rights. Human being with good self esteem are eager to
learn the necessary knowledge and skills." (Finnish vision of school:
1970).
Dalam bahasa sederhana, fungsi sekolah sebenarnya
bagaimana membelajarkan anak agar menjadi diri mereka sendiri berdasarkan
tuntutan yang berkembang di sekitar mereka.
Dalam riset-riset kependidikan di Finlandia, sekolah pada
akhirnya harus diberi kepercayaan agar memiliki kekuatan untuk menjadi katalisator
kebahagiaan para siswa.
Wellbeing harus lebih penting daripada knowledge,
nilai-nilai kemanusiaan lebih berharga daripada pengetahuan.
Karena itu, setiap sekolah harus memiliki keberanian
saling percaya dan menghargai satu sama lain, terutama guru, siswa, dan
orangtua.
Sekolah harus terbiasa mengeksplorasi kekuatan mereka
berdasarkan kearifan lokal yang disepakati antara guru, siswa, dan orangtua.
Seluruh sekolah di Finlandia kebanyakan tak satu pun yang
menyelenggarakan evaluasi sejenis ujian nasional.
Ini pun disebabkan adanya saling percaya antara guru,
pemerintah, dan masyarakat.
Menurut Pasi Sahlberg, para guru di Finlandia tak menyukai
jenis tes seperti UN karena musuh utama dari keingintahuan ialah tes atau
ujian.
Padahal, tulang punggung dan jantung proses pendidikan di
sekolah ialah keingintahuan dan kreativitas. Dalam banyak kasus, UN memang
mematikan rasa ingin tahu dan kreativitas dalam waktu yang bersamaan.
Agar kebahagiaan memiliki arti yang benar dan hakiki,
hubungan antara teori dan praktik dalam dunia pendidikan juga harus berubah
dan sadar akan fenomena sosial.
Kesalahan dalam tradisi pendidikan kita, menurut
Smagorinsky, Cook, Moore, Jackson & Fry (2004) dalam naskah akademik
mereka, rata-rata guru secara tradisional hanya memiliki kemampuan menyiapkan
bahan ajar berdasarkan teori-teori tertentu, tetapi tak pernah memikirkan
keterkaitan bahan ajar dengan dinamika kehidupan di luar kelas dan sekolah.
Gap antara kelas, sekolah, dan dunia luar seolah begitu
jauh karena kurikulum kita sangat formal dan administratif sehingga para guru
memahami kurikulum bukan sebagai road map, melainkan dokumen tertulis yang
perlu dilaporkan setiap saat.
Laboratorium sosial seperti pasar tradisional, rumah
sakit, kantor-kantor pelayanan publik seperti kantor polisi, pengadilan, dan
lain-lain sebenarnya merupakan objek belajar yang menarik sebagai basis
pembelajaran keseharian.
Belum lagi jika sebuah daerah memiliki museum, taman
bermain seperti kebun binatang atau tanaman hutan rakyat.
Semuanya merupakan bentuk kelas yang seharusnya
dieksplorasi guru dan sekolah dalam proses belajar-mengajar bersama siswa
mereka. Kepala sekolah dan guru harus memasukkan seluruh jenis laboratorium
sosial itu sebagai tempat untuk melakukan proses belajar-mengajar.
Bisa dibayangkan, jika siswa kita terbiasa untuk mengamati
pasar, misalnya, pasti hal itu akan meningkatkan daya nalar secara kritis
karena pasar merupakan objek observasi yang sesuai dengan keseharian hidup
siswa.
Di pasar bisa diamati perilaku orang dalam berinteraksi
satu sama lain.
Termasuk mengikuti fluktuasi harga sembako yang bisa jadi
setiap hari mengalami perubahan.
Mata ajar agama, ekonomi, sosiologi, hingga matematika
bisa dilakukan guru dengan menggunakan pasar sebagai basis laboratorium
sosial sekolah.
Karena interaksi jenis itulah yang akan menjadikan siswa
kita menjadi siswa yang berbahagia lahir dan batin. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar