Pembubaran
Partai
Hifdzil Alim ; Pengamat Hukum dan Peneliti
di Pusat Kajian Anti Korupsi
Fakultas Hukum UGM
|
KOMPAS, 20 Maret 2017
Proyek pengadaan dan penerapan kartu tanda penduduk
berbasis nomor induk kependudukan—yang dikenal dengan KTP elektronik
(KTP-el)—menjadi bancakan. Surat dakwaan Komisi Pemberantasan Korupsi
menyebut puluhan nama anggota DPR sebagai penikmat duit korupsi proyek.
Uang haram juga diduga mengalir ke partai. Misalnya, ada
dana sekitar 5,5 juta dollar AS diserahkan kepada Anas Urbaningrum yang
kemudian digunakan untuk membayar akomodasi Kongres Partai Demokrat di
Bandung. Tampaknya tak hanya Partai Demokrat, partai lain pun menerima
gelontoran anggaran pengerjaan KTP-el. Elite partai yang korupsi mengundang
sejumlah reaksi. Banyak pendapat meminta supaya partai—tempat anggota atau
petingginya terjerat korupsi—dibubarkan.
Inisiatif pembubaran
Partai politik (parpol) diatur dengan UU Nomor 2 Tahun
2008 jo UU Nomor 2 Tahun 2011. Undang-undang mengatur pembubaran partai dapat
dilakukan hanya melalui dua inisiatif. Pertama, inisiatif internal. Keinginan
membubarkan berasal dari dalam partai sendiri. Bentuknya bisa berupa
keputusan internal partai untuk membubarkan diri atau menggabungkan diri ke
partai lain. Kedua, inisiatif eksternal. Partai dibubarkan oleh Mahkamah
Konstitusi (MK).
Alasan pembubaran partai melalui MK bersifat limitatif.
Ketentuannya terdapat dalam Pasal 40 Ayat 2 dan Pasal 40 Ayat 5. Partai
dilarang melakukan kegiatan yang bertentangan dengan UUD 1945 dan peraturan
perundang-undangan. Selain itu, partai juga tidak diperbolehkan menggelar
kegiatan yang membahayakan keutuhan dan keselamatan NKRI.
Selanjutnya, partai dilarang menganut, mengembangkan, dan
menyebarkan paham komunisme/marxisme-leninisme. Limitasi larangan inilah
yang—menurut bahasa undang-undang— menjadi batasan/alasan untuk membubarkan
partai tanpa inisiatifnya sendiri.
Sepertinya musabab limitasi dalam UU Nomor 2 Tahun 2008
sedikit belajar dari sejarah pembubaran partai yang pernah ada di Indonesia.
Jimly Asshiddiqie dalam karyanya, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai
Politik, dan Mahkamah Konstitusi (2005), misalnya, merangkum sejarah
pembubaran Indische Partij (IP), Partai Komunis Indonesia (PKI), dan Partai
Nasional Indonesia (PNI).
IP yang didirikan Douwes Dekker pada 1912 dibubarkan
pemerintah kolonial Belanda pada 1913. Kritik keras IP terhadap program
politik etis menyulut kemarahan Belanda yang berujung pada pembubaran IP. PKI
dibubarkan akibat pemberontakan yang dilakukannya pada 1926 di Jawa dan pada
1927 di Sumatera. Adapun PNI dibubarkan karena sikap konfrontatif Soekarno,
ketuanya, kepada pemerintah kolonial.
Alasan pembubaran IP, PKI, dan PNI punya kemiripan, yakni
posisi ketiganya vis a vis dengan pemerintah. Paham komunisme/ marxisme dan
leninisme yang menjadi dasar pembubaran partai—dari luar inisiatif
partai—dianggap berlawanan dengan Pancasila, ideologi yang dianut pemerintah.
Wajar ada benang merah alasan pembubaran partai pada zaman kolonial dengan
kondisi saat ini—meski sekarang lebih luas, vis a vis dengan pemerintah.
Bagaimana dengan korupsi, apakah ia tak dapat menjadi
alasan pembubaran partai? Mustahil mengharapkan alasan korupsi sebagai
inisiatif internal pembubaran partai. Tengok saja, hampir semua partai sejak
era reformasi yang mengikuti Pemilu 2004, 2009, dan 2014 anggota atau
petingginya terjerat korupsi. Walau begitu, tetap tak ada kasak-kusuk usulan
membubarkan partai dari anggota atau elitenya.
Meski sudah kasatmata, korupsi yang dilakukan anggota atau
petinggi partai—yang tertera dalam surat dakwaan—menggerogoti keuangan dan
perekonomian negara, gerakan pembubaran partai dari internalnya tak muncul
sama sekali. Bahkan, jangan-jangan, tidak ada klausul yang termaktub dalam
anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai yang menempatkan korupsi
sebagai alasan pembubaran partai. Artinya, mengharapkan korupsi dipakai
sebagai inisiatif internal untuk membubarkan partai itu bak pungguk
merindukan bulan. Mustahil.
Harapan satu-satunya membubarkan partai karena korupsi ada
di tangan MK. Pasal 48 Ayat 3 UU Nomor 2 Tahun 2008 memberikan kewenangan
kepada MK untuk membubarkan partai atas alasan melakukan kegiatan yang
melanggar peraturan perundang- undangan. Sayangnya, kewenangan ini sedikit
tak mulus. Ada dua penyebabnya.
Pertama, Pasal 48 Ayat 3 sifatnya berjenjang. Partai yang
melanggar peraturan perundang- undangan dikenai sanksi pembekuan sementara.
Jika melanggar lagi dalam masa pembekuan, baru dibubarkan. Bagaimana kalau
korupsi dilakukan lagi setelah masa pembekuan? Apakah proses hukumannya
dimulai dari awal kembali atau langsung dibubarkan?
Kedua, frasa ”peraturan perundang-undangan” apakah
bermakna kelompok peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan partai
saja atau dapat diperluas? Jika maknanya hanya berada di seputar aturan yang
membincang partai saja, pupuslah alasan pembubaran partai karena korupsi.
Lagi pula, dalam undang-undang tentang partai, tak ada sama sekali kata
”korupsi” digunakan untuk membubarkan partai.
Jalan keluar
Meski demikian, membiarkan partai—baik secara aktif
melakukan maupun secara pasif dimanfaatkan—dalam kubangan korupsi tanpa
penjeraan adalah hal yang membahayakan bagi kelangsungan negara dan rakyat.
Korupsi harus bisa menjadi alasan pembubaran partai. Maka, dipandang perlu
strategi dan teknis yang tepat serta rasional secara hukum.
Mula-mula direncanakan terlebih dahulu perubahan Pasal 40
Ayat 2 UU Nomor 2 Tahun 2008. Kejahatan khusus, seperti korupsi dan
terorisme, dimasukkan sebagai alasan pembubaran partai. Teknisnya,
ditambahkan satu ketentuan, yakni Huruf c, bahwa kejahatan khusus dilarang
dilakukan oleh partai politik.
Konsekuensi dari perubahan Pasal 40 Ayat 2 adalah Pasal 48
harus diubah. Alasan kejahatan khusus tidak menimbulkan penjeraan yang
berjenjang, tetapi langsung. Jika ada partai yang korupsi atau terlibat dalam
aksi teror, sanksinya bukanlah pembekuan, melainkan langsung pembubaran. Oleh
karena itu, harus disusun satu ayat antara Ayat 3 dan Ayat 4 dalam Pasal 48,
yaitu Ayat 3a yang berisi sanksi pembubaran partai karena korupsi—atau
terlibat kejahatan khusus lain.
Jika amandemen UU dirasa memakan waktu yang cukup lama,
jalan keluar selanjutnya adalah memohon tafsir ke MK atas makna frasa
”peraturan perundang-undangan” yang tercantum dalam Pasal 40 Ayat 2 Huruf a.
Frasa tersebut wajib diartikan juga dengan semua peraturan
perundang-undangan, bukan hanya peraturan perundang-undangan dalam lingkup
pengaturan tentang partai.
Konsekuensi legis dan logisnya adalah Pasal 48 Ayat 3 UU
Nomor 2 Tahun 2008 wajib dianggap inkonstitusional (conditionally unconstitutional) apabila dimaknai juga untuk
kejahatan khusus. Dengan demikian, jerat hukum pembubaran partai politik yang
korupsi akan menjadi nyata dan bukan lagi pura-pura. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar