Media
Literasi Siswa
Qaimah Umar ; Guru SDN 04 Harapan Baru, Bekasi
|
MEDIA
INDONESIA, 13 Maret 2017
'WE all live in two world: the
real world and the media world. The real world is where we come in direct
contact with other people, locations and events. Most of us feel that the
real world is too limited, that is, we cannot get all the experiences and
information we want from just the real world. In order to get those
experience and information, we journey into the media world'. (Potter,
2001: vii)
Kutipan di atas hendak menegaskan bahwa saat ini kita
hidup dalam dua dunia yang berbeda; dunia nyata dan dunia media. Kedua fakta
itu menuntut kita untuk terus membaca agar gap antara dunia nyata dan dunia
media dapat mendekatkan diri kita pada kemampuan melihat sesuatu yang terjadi
secara bijak dan cerdas.
Sebagai guru, kemampuan membaca media merupakan
keterampilan yang harus dimiliki seorang guru agar tak ketinggalan berita. Karena
itu, membaca tetap merupakan kunci utama bagi setiap guru dalam mengarungi
proses belajar-mengajar di kelas.
Kemampuan membaca guru harus benar-benar teruji oleh
derasnya arus literasi media saat ini, jika guru tak ingin tertinggal dengan
siswanya.
Sebagai pusat informasi di mata para siswa, jelas kemampuan
membaca guru di bidang media harus sejalan dengan upaya menjadikan anak-anak
terlindungi oleh berita-berita yang sangat beragam dan bahkan bisa mengganggu
anak-anak dalam belajar.
Secara definitif, media literasi atau literasi media
sebenarnya merupakan kemampuan seseorang dalam membaca beragam jenis berita. Baik
dalam bentuk suara, gambar maupun tulisan di media, baik internet, televisi,
surat kabar, majalah, hingga media sosial.
Diperlukan keluasan pengetahuan guru dalam melihat
fenomena bertumbuhnya beragam jenis media sosial saat ini sehingga berita itu
mampu dianalisis dan dieksplorasi secara cerdas dan dapat menjadi sebuah
bahan diskusi menarik di ruang kelas.
Empat tahap
Dalam memahami media literasi, setidaknya ada empat tahap
yang bisa digunakan setiap guru untuk menerima, memilah, menyeleksi informasi
sesuai dengan kebutuhan intelektual yang diinginkannya terjadi dalam proses
belajar-mengajar. Sebagai anggota masyarakat, guru jelas sekali memainkan
peran penting dalam meliterasi media bagi para siswa mereka sebagai bentuk
tanggung jawab moral.
Menurut James Porter dalam Rahayu (Media Literasi Agenda
"Pendidikan" Nasional yang Terabaikan: 171-184) Volume 1 Nomor 2,
empat tahap untuk memahami media literasi bagi kebutuhan proses
belajar-mengajar yang bertanggung jawab ialah explore, recognize symbols, recognize patterns, dan matching meaning.
Keahlian dan keterampilan untuk mengeksplorasi sebuah
bangunan berita, baik dalam bentuk gambar maupun tulisan, merupakan jenis
keterampilan yang harus dimiliki guru ketika melihat sebuah peristiwa melalui
media.
Dalam bahasa agama, seorang guru wajib hukumnya untuk
melakukan tabayyun atau klarifikasi atau semacam check and recheck terhadap
beragam jenis berita di media agar pikiran menjadi jelas dengan informasi
yang diterima. Mencari semua sudut pemberitaan secara bijaksana akan
menempatkan seorang guru berbeda dengan individu lainnya karena kemampuan
eksplorasi itu sesungguhnya berkaitan erat dengan kecerdasan dan luasnya
pengetahuan seorang guru.
Kemampuan kedua ialah mengenali simbol-simbol berita
secara simultan dan terus-menerus. Dalam bahasa pendidikan, mengenali simbol
sesungguhnya identik dengan keahlian menempatkan masalah menjadi tujuan
pembelajaran. Misalnya, jika simbol anak cerdas ialah otak, guru yang kreatif
akan memaknai simbol otak sebagai gambar lampu, jalanan, jempol, buku, dan
beragam simbol lainnya untuk kebutuhan penilaian dan pemetaan kemampuan
siswa.
Selain mengenali simbol pada unsur setiap berita, seorang
guru juga harus memiliki kecerdasan lain ketika berhadapan dengan beragam
berita yang muncul, yaitu keahlian untuk mengenali pola-pola pemberitaan
berdasarkan database pengetahuan kita. Misalnya, bagaimana seorang guru
memetakan kemampuan siswa dalam melihat perbedaan pola berita berdasarkan
persepsi agama, sosial, hukum, ekonomi, dan sebagainya.
Tahap terakhir dari keahlian yang harus dimiliki seorang
guru dalam melihat sebuah berita ialah kemampuan menangkap makna dari setiap
pemberitaan berdasarkan tuntunan etika dan moral yang baik. Mengambil hikmah
dari setiap pemberitaan akan membuat seorang guru dianggap berbeda ketika
berhadapan dengan beragam tafsir yang muncul di kepala para siswa. Artinya,
seorang guru harus peka terhadap realitas berita yang penuh dengan ragam simbol
dan pola. Namun, ketika sampai pada pemaknaan guru selalu mengarahkan siswa
untuk memahami sebuah berita dari sisi yang positif dan penuh dengan pesan
moral yang tegas dan bijaksana.
Memahami empat tahapan itu sesungguhnya akan membuat kita
tersadar bahwa 'media are constructed
and construct reality' (Christ, 2004: 92-96).
Eksistensi media di masyarakat sebagai alat komunikasi
menjadikan media dikonstruksi lingkungannya, baik itu lingkungan sosial
maupun ekonomi.
Representasi media juga dapat mengonstruksi realitas,
yakni ketika seseorang tidak memiliki informasi tentang suatu peristiwa dari
sumber atau referensi lain selain media, besar kemungkinan orang itu
beranggapan peristiwa itu sama dengan realitasnya. Padahal, kenyataannya
tidak selalu demikian.
Demi siswa
Sudah saatnya dan semestinya seorang guru harus melek
media atau sadar tentang pentingnya literasi media demi kedewasaan
siswa-siswi mereka. Posisi guru sangat penting dan unik serta memiliki
relevansi yang tinggi untuk masalah literasi media karena guru setiap saat
selalu berinteraksi dengan para siswa yang sangat gemar dengan pemberitaan
media beserta isinya.
Salah satu definisi yang populer menyatakan literasi media
adalah kemampuan untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi, dan mengomunikasikan
isi pesan media. Dari definisi itu dipahami bahwa fokus utamanya berkaitan
dengan isi pesan media.
Dapat kita lihat sendiri isi acara televisi dan media
sosial lainnya di gadget para siswa yang sering meresahkan masyarakat. Misalnya
karena berdampak buruk bagi anak-anak yang belum bisa memilih tayangan yang
layak untuk di tonton, seperti kekerasan, seks dan pornografi, perlindungan
terhadap anak-anak dan remaja, gossip/infotainment, mistik, reality show yang
terkesan lebay.
Banyak pula persepsi yang salah berkembang karena media
terus mengekspos pelanggaran etika, sebagai contoh, program berita kriminal
yang terlalu menonjolkan sensasionalisme dan sadisme, juga informasi tentang
selebritas yang melanggar privasi. Yang lebih parah ialah banyak masyarakat
yang belajar dari acara televisi seperti cara mencemooh orang, memaki, dan
sejuta umpatan lainnya saat orang itu tidak ada di depannya.
Karena itu, kemampuan para guru untuk menjadikan literasi
media sebagai sarana belajar-mengajar sangat penting dilakukan. Dalam bahasa
yang sederhana, memahami empat tahap bagaimana cara menyikapi sebuah
pemberitaan di media seperti digambarkan di atas harus dilakukan para guru
dengan kesadaran demi masa depan siswa yang lebih baik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar