Teror
dan Polusi Pikiran
AS Laksana ; Penulis; Tinggal di Jakarta
|
JAWA
POS, 19
Maret 2017
“Life is very short and there’s no
time for fussing and fighting, my friend.” – The Beatles
Saya memutar berulang-ulang lagu dari kelompok musik Inggris
tersebut beberapa hari belakangan, mungkin karena dirasuki perasaan
sentimentil berada di tengah keributan dan pertengkaran yang sepertinya tak
sudah-sudah. Setiap hari ada berita buruk, dan jumlahnya banyak. Itu adalah
polusi bagi pikiran.
Polusi udara meracuni lingkungan dan akan membuat kita
sesak napas jika sudah keterlaluan. Polusi pikiran meracuni ucapan dan
tindakan orang. Ia menebarkan ancaman kepada lingkungan sekitar, memengaruhi
pikiran bawah sadar, dan mengacaukan emosi tanpa Anda menyadarinya. Ia
memberikan perasaan cemas dan menguras energi sehingga Anda tidak memiliki
ruang dan mungkin kehabisan stamina untuk memikirkan diri sendiri.
Anda membaca berita tentang orang yang jenazahnya tidak
akan disalatkan di musala atau masjid karena pilihan politik yang berbeda.
Anda membaca berbagai umpatan di media sosial. Anda mendengar keluhan teman
Anda. Anda mendengar para politikus saling menyerang, seolah-olah bibir
mereka adalah sepasang sayap yang terus mengepak. Dalam sehari pikiran Anda menyerap
berbagai cerita buruk, dan masih ditambah dengan kabar-kabar rekayasa.
Pertanyaannya, apa kabar baik yang Anda baca hari ini?
Mungkin tidak ada. Pada dasarnya kita tidak suka membaca kabar baik karena ia
tidak kita anggap sebagai berita menarik. Kita secara naluriah lebih
menyukai, misalnya, siaran langsung bunuh diri.
Itu berita terakhir yang diburu orang-orang. Media sosial
Facebook beberapa waktu lalu menambahkan fasilitas baru yang memungkinkan
Anda membuat siaran langsung. Dengan fasilitas itu Anda bisa membuat live
show memandikan kucing, atau memberi makan kura-kura, atau duduk melamun di
depan jendela jika Anda seorang penulis. Duduk melamun adalah pekerjaan utama
seorang penulis, sedangkan mengetik adalah pekerjaan tukang ketik.
Saya yakin Facebook tidak pernah berpikir bahwa fasilitas
tersebut akan digunakan oleh lelaki dari Jagakarsa, Jakarta, untuk membuat
siaran langsung bunuh diri. Begitulah, setiap ciptaan sering berkembang
melampaui apa yang dipikirkan oleh penciptanya, seperti makhluk ciptaan
Victor Frankenstein dalam novel Mary Shelley. Victor hanya ingin menghidupkan
kembali orang yang sudah mati, tetapi yang lahir dari percobaan
laboratoriumnya adalah monster yang kemudian meneror penciptanya sendiri.
Dan kita, sama seperti Victor, diam-diam juga sedang
menghidupkan monster yang meneror diri sendiri, dengan cara meracuni pikiran
dengan segala macam polusi. Lalu kita ikut bertengkar.
Di tengah perasaan sentimentil itu akibat memikirkan
polusi, menemukan artikel Cal Newport, seorang profesor ilmu komputer,
tentang figur Yuval Harari terasa bagi saya seperti menemukan sebutir batu
permata. Yuval adalah sejarawan Israel berusia 41 tahun, meraih gelar doktor
dengan spesialisasi sejarah militer abad pertengahan. Ia sangat produktif menulis
dan sampai sekarang sudah menulis lima buku dan banyak artikel dan memenangi
sejumlah penghargaan, termasuk dua kali menerima Penghargaan Polonsky untuk
kreativitas dan orisinalitasdari Akademi Sains dan Kemanusiaan Israel. Buku
pertamanya, Sapiens: A Brief History of Humankind (2011), adalah buku yang
direkomendasikan kepada khalayak oleh Bill Gates dan Mark Zuckerberg. Bulan
lalu, Yuval menerbitkan lanjutannya, Homo Deus: A Bried History of Tomorrow.
Anda keliru jika menyangka Yuval adalah orang yang sangat
sibuk dengan pekerjaannya. Sebaliknya, ia bekerja dalam waktu yang lebih
pendek dibandingkan orang-orang lain dan lebih banyak melakukan meditasi. Ia
bermeditasi dua jam sehari dan menyepi dari keramaian satu sampai dua bulan
setiap tahun.
’’Meditasi memberi saya kemampuan untuk fokus,” katanya
dalam sebuah wawancara.
’’Dalam meditasi, Anda harus memberi perhatian, misalnya,
kepada napas Anda. Itu melatih kita berdisiplin untuk fokus pada hal-hal lain
yang lebih besar dan tahu mana yang penting dari begitu banyak hal di sekitar
kita.”
Dalam wawancara itu Yuval mengakui bahwa ia baru tahu
Donald Trump terpilih sebagai presiden pada 20 Januari 2017 saat tiba di
rumah setelah menyepi sejak November tahun sebelumnya.
Cal Newport menulis tentang Yuval sebagai bagian dari
proyeknya untuk mengamati orang-orang yang menyepi dan menghasilkan
karya-karya besar --salah satu yang ia contohkan adalah Carl Gustav Jung. Ia
menyampaikan kepada kita pentingnya menyepi dari keramaian dan memfokuskan
pikiran pada apa yang menjadi tujuan kita. Menyepi adalah cara terbaik untuk
fokus dan merawat pikiran agar tidak melemah oleh polusi.
Di tengah situasi beracun, yang membuat Anda bingung,
kelelahan, dan mungkin ikut-ikutan mengamuk, menyepi dan melatih pikiran
untuk fokus akan menjadi cara berterima kasih atas kehidupan yang kita
jalani. Kehidupan bisa sangat menyenangkan, bisa sangat mengecewakan,
terserah bagaimana kita memandang segala sesuatu. Saya menyukai The Beatles,
dan sepakat dengan kalimat dalam lirik lagu We Can Work It Out bahwa hidup
ini sangat singkat dan sayang jika hanya digunakan untuk ribut dan
bertengkar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar