Menakar
Bahaya Kapitalisasi Agama
Zuhairi Misrawi ; Intelektual Muda Nahdlatul Ulama;
Ketua Moderate Muslim Society
(MMS)
|
MEDIA
INDONESIA, 20 Maret 2017
AKHIR-AKHIR ini, ruang publik kita disuguhi dengan wajah
agama yang menyeramkan. Ada spanduk larangan menyalati jenazah, bahkan
jenazah tidak disalati karena perbedaan preferensi politik. Tidak hanya itu,
beredar selebaran yang berisi ajakan Tamasya Al-Maidah, di samping
festivalisasi 'kafir' dan 'munafik'. Pesta demokrasi yang semestinya menjadi
pertarungan gagasan dan program lalu direndahkan menjadi ajang 'jual-beli'
agama.
Pilkada DKI Jakarta menjadi momen pertaruhan besar bagi
republik, akankah demokrasi mampu membuahkan hidup damai di tengah
kebinekaan. Akankah Pancasila sebagai
dasar negara yang sudah terbukti dalam bentangan sejarah mampu mempersatukan
seluruh elemen bangsa untuk dapat mengatasi efek-efek destruktif dari
kapitalisasi agama?
Agama sebagai komoditas
Banyak pihak menyebut dunia saat ini mengarah pada
menguatnya arus konservatisme.
Salah satu indikatornya, setiap warga ingin disebut
'religius'.
Tesis ini mematahkan argumen sekularisasi yang selama ini
dianggap sebagai konsekuensi demokratisasi.
Namun, faktanya tidak demikian, demokratisasi justru
melahirkan masyarakat yang ingin diidentifikasi religius.
Masyarakat justru mengalami desekularisasi.
Agama masih menjadi sebuah identitas yang penting dalam
ruang publik.
Tidak ayal jika agama menjadi salah satu pemantik yang
penting dalam pesta demokrasi.
Hal itu bisa dilihat dalam pilkada DKI Jakarta.
Isu agama dan SARA pada umumnya menjadi salah satu isu
sentral, bahkan menenggelamkan program-program yang semestinya menjadi agenda
prioritas dalam perdebatan ruang publik.
Menurut Farish A Noor (2016), kecenderungan global tidak
terkecuali kawasan Asia mengarah pada kuatnya arus konservatisme.
Hal tersebut sejalan dengan fenomena agama sebagai
komoditas.
Segala hal yang terkait dengan agama semakin laris manis
di pasar. Pakaian, kitab suci, musik, ritual, ziarah, dan lain-lain menjadi
komoditas yang menarik.
Konon, omzet yang didapatkan dari komoditas agama mencapai
triliunan.
Pandangan Farish A Noor tersebut bukan isapan jempol.
Haji dan umrah saja setiap tahunnya bisa mencapai Rp30
triliun, belum lagi penjualan buku-buku, hijab, tasbih, dan lain-lain, yang
angkanya sangat fantastis.
Agama sebagai komoditas telah menjadi identitas yang bisa
dikonversi sebagai instrumen untuk mendulang dukungan politik.
Faktanya, komodifikasi agama berkaitkelindan dengan kepentingan
politik.
Lihat fenomena demonstrasi 212 yang kemudian
bermetamorfosis menjadi basis penguatan ekonomi melalui pendirian koperasi
212.
Sulit rasanya untuk melihat apa yang selama ini
dipersepsikan sebagai 'membela agama' benar-benar ingin menggali nilai-nilai
luhur dan mengamalkannya dalam realitas kehidupan.
Tarikan agama sebagai komoditas menjadi sesuatu yang tidak
dapat dielakkan karena pada dirinya mereka sedang ingin mengambil keuntungan
sebesar-besarnya dari agama.
Maka dari itu, perlu pandangan kritis untuk melihat
fenomena kapitalisasi agama yang makin kuat ini.
Persekongkolan di antara mereka yang ingin mendapatkan
keuntungan secara materi dan politik dari agama akan membawa dampak-dampak
yang sangat destruktif.
Pertama, agama akan hilang identitasnya sebagai sumber
kasih dan damai.
Dalam logika kapitalisme dan politik, yang terjadi ialah
pertarungan untuk mendapatkan keuntungan dan perebutan kekuasaan.
Bahkan, jika perlu menghalalkan segala cara untuk mencapai
tujuan.
Di sini, agama yang di dalamnya mengajarkan hidup damai
dan saling menghormati akan terjebak dalam tafsir tunggal melalui fatwa-fatwa
keagamaan yang ekstrem.
Hal tersebut terlihat di dalam pilkada DKI Jakarta, di
saat paham keagamaan yang diproduksi melalui fatwa dan ceramah-ceramah sangat
menyeramkan dan menakutkan.
Ada kelompok yang memonopoli kebenaran, seolah-olah hanya
pandangan mereka yang benar, sedangkan pandangan pihak lain salah.
Padahal, agama menyediakan ruang tafsir yang sangat
terbuka dengan catatan setiap tafsir mampu membawa kemaslahatan bersama.
Kedua, agama akan menjadi semakin ekstrem dan kehilangan
daya moderasinya. Agama yang hanya dijadikan sebagai komoditas ekonomi dan
politik akan melahirkan pandangan-pandangan yang ekstrem.
Lihat tafsir terhadap kafir dan munafik yang berkembang di
permukaan. Mereka cenderung menggunakan tafsir terhadap kafir dan munafik
secara serampangan tanpa mempertimbangkan konteks dari turunnya ayat suci dan
hadis.
Dalam hal ini, yang diuntungkan ialah kalangan ekstremis
yang selama ini memang mengomsumsi pandangan keagamaan yang kaku dan rigid.
Dalam suasana normal, paham mereka cenderung ditolak
mayoritas muslim di Tanah Air yang mempunyai pandangan moderat.
Namun, dalam suasana hiruk-pikuk politik yang di dalamnya
terdapat kontestasi perebutan kekuasaan, pandangan mereka yang diproduksi
secara kontinu dapat dipersepsikan publik sebagai sebuah kebenaran.
Ketiga, agama akan kehilangan identitasnya sebagai entitas
yang mampu membangun persaudaraan (ukhuwah). Komodifikasi agama telah
terbukti memecah belah umat.
Ironisnya, perpecahan di antara sesama umat di dalam
intraagama.
Situsi ini sangat tidak kondusif karena belajar dari
sejarah, perpecahan di antara sesama umat akan melahirkan luka dan duka yang
sangat mendalam.
Lihat misalnya konflik antara Sunni dan Syiah yang umurnya
sudah berabad-abad.
Hal tersebut sangat terkait dengan komodifikasi agama.
Pada puncaknya, komodifikasi agama akan memecah belah
bangsa.
Agama yang semestinya memecut kita untuk saling
menghormati dan saling menghargai antarsesama akan terjerambap dalam kubangan
kebencian, kecurigaan, bahkan kekerasan dan diskriminasi.
Agama jalan kemanusiaan
Sebelum terlambat, kapitalisasi agama yang semakin jauh
dari nilai-nilai luhur agama harus dikritisi dan diluruskan kembali agar
memerankan agama sebagai jalan kemanusiaan.
Dorongan untuk semakin religius pada hakikatnya merupakan
fenomena yang baik karena setiap agama mengajarkan kebajikan.
Bagi mereka yang benar-benar mampu memahami agama dengan
baik, hal tersebut akan mampu membangun karakter yang kuat bagi dirinya.
Pengalaman Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah dalam
bentangan sejarah bangsa ini patut dijadikan contoh.
Kedua ormas terbesar di negeri ini telah mampu menyerap
nilai-nilai luhur agama sehingga mampu menjadikan agama sebagai elan
pembebasan dan kemanusiaan.
Muhammadiyah telah mampu menjadikan Surat Al-Ma'un sebagai
pijakan ideologis bahwa beragama sesungguhnya membebaskan anak-anak yatim dan
menyantuni fakir miskin.
Karena itu, yang dibangun Muhammadiyah ialah
sekolah-sekolah hingga perguruan tinggi, dan rumah sakit untuk mengobati
orang-orang miskin.
Paham keagamaan yang ditawarkan Muhammadiyah ialah Islam
yang berkemajuan, yaitu Islam yang mampu membangun rasionalitas dan berbakti
sepenuhnya pada kemanusiaan.
Muhammadiyah telah menjadi kekuatan garda terdepan untuk
menjaga Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Nahdlatul Ulama sebagai salah satu jimat negeri ini juga
mengukuhkan paham ahlussunnah wal jamaah yang moderat, toleran, dan
berkeadilan.
Melalui pesantren-pesantren dan perguruan tingginya, NU
telah berjuang untuk menggaungkan Islam Nusantara yang merangkul, bukan
memukul. Islam yang damai, bukan Islam yang ekstrem.
Beberapa tradisi yang dianut warga NU pada hakikatnya
bertujuan membangun harmoni antarsesama sehingga Islam yang hadir ke
permukaan bukan Islam yang memecah belah, melainkan Islam yang membangun
harmoni, baik antarsesama muslim maupun dengan umat agama-agama yang lain.
Para ulama NU berkumpul di Pesantren Al-Anwar, Sarang,
Rembang, mengukuhkan kembali komitmen NU untuk menjaga Pancasila dan NKRI.
Menurut para ulama NU, hadirnya NU pada hakikatnya untuk
menjaga Indonesia.
Paham keagamaan yang sejuk dan transformatif ini menjadi
ciri khas dari moderasi Islam yang umurnya sudah berabad-abad dan akan selalu
bertahan karena itulah watak Islam Nusantara yang berkemajuan.
Namun, perkembangan mutakhir, khususnya apa yang terjadi
pada pilkada DKI ini, seakan mengetuk nalar dan hati nurani kita semua bahwa
negeri ini sedang menghadapi ancaman radikalisme dan konservatisme.
Kapitalisasi agama merupakan fenomena global yang tidak
dielakkan.
Akan tetapi, setiap negara harus mempunyai strategi untuk
menghadapinya.
Mesir pascarevolusi telah mengagendakan proyek pembaruan
wacana keagamaan (tajdid al-khithab al-diny).
Kita tahu bahwa angin revolusi telah menaikkan Ikhwanul
Muslimin ke panggung politik.
Hal tersebut ditandai juga dengan kuat arus kapitalisasi
agama, yang juga dijadikan sebagai komoditas politik. Konsekuensinya, muncul
paham keagamaan yang sangat ekstrem.
Maka pemerintah Mesir mempunyai inisiatif untuk
mengarusutamakan paham keagamaan yang mampu membangun solidaritas kebangsaan
dan kemanusiaan.
Langkah itu diambil dengan kebijakan yang sangat serius
untuk melahirkan juru dakwah yang mumpuni.
Selama ini Ikhwanul Muslimin kerap menggunakan masjid
sebagai wadah kapitalisasi dan politisasi agama.
Maka dari itu, Kementerian Urusan Wakaf bersama al-Azhar
berupaya memberikan sertifikat bagi para juru dakwah sehingga ceramah-ceramah
keagamaan di masjid tidak berisi provokasi dan agitasi.
Kondisi yang terjadi di negeri ini tidak serumit Mesir.
Kita masih mempunyai NU dan Muhammadiyah yang terus
melahirkan pikiran-pikiran keagamaan yang kritis dan konstruktif, serta
memperkuat wawasan kebangsaan kita.
Akan tetapi, apa yang terjadi selama pilkada DKI harus
menjadi pelajaran berharga bahwa kita sedang menghadapi ancaman serius.
Semua pihak harus sadar dan waspada agar tidak melihat fenomena
kapitalisasi agama sebagai taken for granted.
Sebagaimana dikatakan para ulama NU di Sarang, Rembang,
negara-negara Timur Tengah sudah berada dalam ambang kehancuran karena mereka
menggunakan agama untuk menebarkan kebencian dan kecurigaan.
Kita tidak boleh lengah dan harus bersatu padu untuk
menghadirkan wajah agama yang humanis, toleran, dan damai.
Saya percaya dengan apa yang disampaikan KH Mustofa Bisri
bahwa mayoritas muslim di negeri ini moderat dan hanya sedikit yang radikal
dan ekstrem.
Pemerintah harus tegas menindak pihak-pihak yang terbukti
menebarkan ujaran kebencian dan politisasi isu SARA.
Kelompok-kelompok moderat harus lebih lantang lagi
bersuara agar gaung moderasi Islam terus menggema. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar