Populisme
di Era Teknologi Informasi
Yuddy Chrisnandi ; Guru Besar Pascasarjana Universitas Nasional;
Menpan dan RB 2014-2016
|
KOMPAS, 20 Maret 2017
Ketika 45 tahun lalu Alfin Toffler menerbitkan karyanya,
Future Shock (1970), banyak orang tersentak dan tersadarkan: bahwa kita
sebenarnya sedang menjalani perubahan besar, perubahan yang ditarik oleh
lokomotif kemajuan high technology.
Faktanya saat ini kita sedang menjalani perubahan itu
bersama gelombang revolusi ketiga umat manusia, yaitu terciptanya masyarakat
informasi. Setiap gelombang peradaban manusia akan menghapus tren gelombang
sebelumnya. Contohnya revolusi industri yang berlangsung 300-an tahun yang
menghapus era ribuan tahun masyarakat agraris, demikian pula tren industrialisasi
akan digantikan era masyarakat informasi. Setiap gelombang peradaban akan
berpengaruh besar pada struktur maupun tatanan masyarakat, termasuk tatanan
politik.
Semakin global
Hari ini kita menyaksikan dunia semakin mengglobal, bahkan
dunia dan informasi di dalamnya dapat kita akses melalui gadget di tangan
kita. Teknologi juga telah menyeimbangkan informasi antarkomunal dalam
masyarakat.
Era sebelumnya dikenal dengan asymmetric information
karena info hanya bisa diakses kalangan tertentu. Namun, di era borderless
media dengan teknologi seperti sekarang, semua info dapat dengan mudah
tersebar. Semua orang bisa mengakses informasi, dan media informasi (termasuk
media sosial) saat ini berperan penting sebagai to lead public perception.
Demikian pula dengan apa yang kita lihat pada fenomena
kepemimpinan politik global, sebagian menemukan penjelasannya juga pada
kemampuan mereka mengapitalisasi keterbukaan informasi demi mendukung posisi
politik mereka. Kemudian, tesis ini diperkuat ketika variabel yang lain hadir
melengkapinya, yaitu kebangkitan kelas menengah, kelas yang dikenal sebagai
motor perubahan.
Saya menduga peristiwa kemenangan Donald Trump, Rodrigo
Duterte, dicalonkannya Francois Fillon sebagai presiden Perancis dari kubu
konservatif Partai Republik, serta keluarnya Inggris dari Uni Eropa adalah
tanda-tanda keinginan masyarakat untuk keluar dari kemapanan demi suatu
perubahan. Mungkin bagi banyak orang ini adalah anomali, siapa yang menduga
Trump yang kata-katanya rasis dan menimbulkan banyak kontroversi serta
Duterte yang juga sepola bisa menang? Bahkan, pengamat politik pun salah
memprediksi. Mengapa demikian?
Hal ini karena mulai berubahnya struktur sosial masyarakat
di semua negara yang mendorong munculnya kelas menengah baru. Tahun 1970 dari
penduduk Bumi sekitar 3,6 miliar orang, 30 persen kelas menengah dan 60
persen lainnya kelompok miskin. Saat ini jumlah penduduk Bumi 7,2 miliar
orang, dengan jumlah kelas menengah meningkat mencapai 60 persen dan kelompok
miskin turun jadi 30 persen. Karena itu, keterbukaan informasi dan
kebangkitan kelas menengah penting untuk kita catat.Apa dampaknya terhadap
politik dan pemerintahan?
Pertama, masyarakat akan lebih mudah dipengaruhi isu
positioning. Kelas menengah ini kelompok rawan. Mereka otonom, mandiri, tidak
bisa dikendalikan oleh penguasa, sangat kritis, bahkan memiliki kecenderungan
sebagai leader gerakan massa. Fenomena gerakan sosial di banyak negara telah
membuktikannya. Demikian juga kita di Indonesia dalam tiga kali gelombang
perubahan (1945, 1966, dan 1998). Kelas menengah selalu merasa insecure
sehingga sangat mudah diprovokasi, diarahkan, dan diajak melakukan gerakan
sosial.
Lihat yang terjadi di Korea Selatan saat protes meminta
presiden turun, gerakan perlawanan publik atas aksi makar yang dilakukan
sekelompok tentara di Turki, atau di Malaysia walaupun belum masif. Saya kira
tinggal menunggu momen saja gerakan bersih-bersih di Malaysia yang dikomandoi
kelas menengah akan meledak. Itu semua terjadi sangat cepat karena diprovokasi
melalui media sosial teknologi.
Kedua, runtuhnya basis ideologi. Kelas menengah tak
memiliki bentuk ideologi communal base. Mereka hanya bersatu pada sebuah
tren. Artinya trenlah yang mengeruk suara dan orang-orang yang leading dalam
dunia politik yang sebelumnya telah sangat berkembang di dunia bisnis adalah
orang-orang yang bisa membuat tren.
Oleh karena itu, kekuatan kapital yang berada di belakang
tren amat terasa dalam menentukan pendapat publik melalui media televisi,
radio, surat kabar, dan bahkan perkembangan terbaru belakangan ini yang juga
terasa bagi kita di Indonesia adalah media sosial. Media sosial melalui cyber
army berpotensi mengarahkan pandangan publik, dan ini mengundang bahaya
apabila masyarakat terlebih kelas menengahmenerima dan ikut hanyut dalam arus
informasi tanpa menyeleksinya secara kritis.
Informasi ”bias”
Ketiga,karena informasi bisa diakses semua orang dengan
cepat, hal ini menciptakan sebuah ”bias”, yaitu sebuah informasi yang tidak
terverifikasi, tetapi dipercaya masyarakat. Contohnya banyak, seperti
bermunculannya akun-akun anonim atau yang memakai beragam nama dengan tujuan
memengaruhi wacana publik. Namun, untuk tujuan yang konstruktif dari
penyebaran informasi dengan ”nilai luhur”, hal ini sebuah kekuatan. Mengapa
demikian? Sebab, kita bisa menjual produk apa pun di masyarakat sepanjang
kita dapat meyakinkan masyarakat melalui media teknologi informasi.
Contohnya adalah kemenangan Trump. Siapa yang memprediksi
kemenangan Trump seperti yang tadi saya katakan? Pengamat politik pun tidak
menduga Trump akan menang dan Hillary Clinton—yang didukung Barack
Obama—justru kalah. Rakyat AS terbelah pendapatnya atas calon presiden dari
Partai Republik ini, tetapibisa menang? Itulah kekuatan pemanfaatan ”bias”.
Trump dilihat sebagai sosok yang bisa menentang kemapanan Partai Demokrat
selama masa dua kali masa pemerintahan Obama serta membawa angin perubahan
atas merosotnya perekonomian AS, isu imigran dan terorisme, serta komitmennya
untuk mengembalikan supremasi AS sebagai kekuatan ekonomi dan politik dunia.
Figur Trump melalui kekuatan medianya di-”bias”-kan sebagai ”Make American
Great Again” yang dikontraskan dengan semboyan Hillary Clinton, ”Stronger
Together”.
Hillary Clinton pun menerapkan bias ini saat menjadi
Menteri Luar Negeri AS ketika ia menggunakan e-mail pribadi untuk urusan
pemerintahan yang oleh UU Federal dilarang. Kenyataannya, hal ini tak
terlihat atau terbukti sebagai korupsi kebijakan atau setidak-tidaknya
skandal. Meski sudah dibuka oleh Direktur FBI James Comey, kasus ini tak
sampai menyeret Hillary ke pengadilan. Mengapa?
Sebab, masyarakat bisa diyakinkan oleh ”bias” bahwa
Clinton tak melakukannya walaupun sebagian lain juga terkena ”bias” dengan
percaya skandal itu dan akhirnya meninggalkan Hillary di hari-hari terakhir
pemilihan.
Hal-hal yang telah saya terangkan di atas terkait dengan
menyatunya masyarakat dalam arus besar informasi dan kemampuan pemilik
kapital mengarahkan wacana publik, termasuk di dalamnya kelas menengah,
membuat kapitalisasi informasi demikian berharga sekarang.
Kapital ini penting dan kapital yang ditanamkan dalam
berbagai sektor, termasuk sektor media, tak terbantahkan telah menjadi tren
pembentuk opini masyarakat. Saya kira kita semua mafhum, banyak tokoh politik
dunia juga tampil lewat dukungan resources kapital besar melalui pembentukan
opini media.
Namun, satu hal yang harus kita garis bawahi adalah
pembentukan opini masyarakat juga harus diterima secara kritis. Masyarakat
harus pandai menyeleksi dan menilai sesuatu informasi tanpa harus dipengaruhi
opininya oleh media. Masyarakat harus kritis, apalagi era keterbukaan
informasi saat ini telah memberikan pembanding informasi yang cukup untuk
membangun kemandirian opini masyarakat. Populisme politik harus selaras
dengan sikap kritis dan keingintahuan menggali informasi yang lebih dalam
guna menemukan kebenaran setiap informasi yang kita terima. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar