Era
Baru Perpajakan
Yustinus Prastowo ; Direktur Eksekutif CITA
(Center for Indonesia Taxation
Analysis)
|
KOMPAS, 07 Maret 2017
Tiga
puluh tahun silam Charles Adams, sejarawan pajak ternama, menyarikan perilaku
wajib pajak sepanjang sejarah peradaban dalam tiga kelompok: fight, fraud,
dan flight. Jika terdapat ruang untuk diskusi, wajib pajak akan mencoba
menegosiasikan kewajiban pajaknya dengan otoritas. Namun, apabila ruang
negosiasi tertutup—entah karena sistem, regulasi, atau petugasnya—wajib pajak
cenderung berbuat curang untuk menghemat pajak. Pilihan terakhir, ketika
berbuat curang pun tidak bisa, mereka akan memindahkan obyek pajak ke negara
lain. Lugasnya, pajak adalah permainan informasi, perihal ”siapa melakukan
apa”.
Apa
yang ditengarai Charles Adams rasanya tidak berlebihan dan bahkan menemukan
konteksnya hari-hari ini. Apa yang sedang dirumuskan oleh negara-negara maju
dan berkembang di Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD)
serta G-20 adalah tanggapan atas keprihatinan mendalam karena praktik
penghindaran pajak agresif.
Tak
sekadar berlindung di negara suaka pajak (tax haven) yang kerap disebut rezim
kerahasiaan, perusahaan-perusahaan multinasional berlaku lancung dengan
merancang skema penghindaran pajak supercanggih yang pada akhirnya menggerus
hak negara, dan juga rakyatnya, akan pendapatan pajak. Gejala global yang
merisaukan itu disebut stateless income (penghasilan tak bertuan) untuk
menandai betapa sulitnya menentukan hak dan cara memajaki.
Pertukaran
informasi otomatis
Diawali
tahun 2000 dengan Tax Information Exchange Agreements (TIEA), proyek
menangkal penghindaran pajak agresif dimulai. Namun, sepanjang 2000-2012,
banyaknya negara yang terlibat dalam perjanjian bilateral untuk bertukar informasi
keuangan bukannya menyurutkan penghindaran, melainkan justru menyebabkan
penghindaran pajak membiak dan merajalela. Salah satu penyebabnya adalah
skema pertukaran on request (atas permintaan) yang pasif dan rawan ditelikung
oleh negara mitra.
Maka,
kegusaran dan kegeraman Amerika Serikat dapat dimaklumi ketika pada 2010
mengumumkan proyek unilateral Foreign Account Tax Compliance Act (FATCA),
yang mewajibkan seluruh institusi keuangan di mana pun melaporkan data
keuangan warga negara Amerika Serikat. Akhirnya OECD mengikuti jejak Amerika
Serikat dan menyatakan perang terhadap penggerusan basis pajak dan
penggeseran laba perusahaan multinasional. Tahun 2013, mereka mengeluarkan
inisiatif base erosion and profit shifting (BEPS) action plan, yang roh utamanya
adalah memperkuat regulasi, meningkatkan kapasitas administrasi, dan
mempererat kerja sama.
Gayung
bersambut, 15 rencana aksi yang dirintis oleh OECD dan didukung G-20,
mencakup ekonomi digital, transfer pricing, dan terutama pertukaran informasi
otomatis (automatic exchange of information/AEOI), diminati lebih dari 100
negara. Mayoritas negara-negara dunia, termasuk negara suaka pajak, setuju
bahwa praktik penghindaran pajak telah amat merugikan dan membahayakan bagi
negara-negara dan warganya.
Tentu
saja ini menjadi penanda dimulainya era baru perpajakan, yang meninggalkan
rezim kerahasiaan menuju rezim keterbukaan. Lebih dari itu, luasnya
partisipan aktif atas inisiatif global ini menandai babak baru kerja sama
perpajakan yang saling menguntungkan.
Khusus
Indonesia, menurut penelusuran Tax Justice Network (2010), tak kurang dari
331 miliar dollar AS (setara dengan Rp 4.500 triliun) harta warganya disimpan
di negara suaka pajak dan ada sekitar Rp 1.000 triliun aliran dana haram ke
luar negeri selama kurun waktu 2011-2014. Di tengah tekanan perekonomian
global, fakta ketimpangan yang menganga, dan masih lemahnya sistem
perpajakan, pemerintah pada akhirnya memilih jalan tengah melalui program
amnesti pajak.
Program
ini diharapkan mampu memulangkan dana ke Tanah Air, memperluas basis pajak,
menambah penerimaan jangka pendek, dan menjembatani lahirnya sistem
perpajakan baru. Salah satu faktor kunci kesuksesan amnesti pajak adalah
partisipasi Indonesia dalam program pertukaran informasi otomatis pada 2018
sehingga tidak menyediakan pilihan bagi wajib pajak selain jujur dan patuh.
AEOI
memiliki beberapa kelebihan ketimbang TIEA dan inisiatif lainnya, yaitu pada
standar pelaporan tunggal (common reporting standard) dan sifatnya yang
otomatis, bukan atas permintaan. Negara sumber harus aktif, secara sistematis
dan periodik menyampaikan data keuangan ke negara tempat nasabah terdaftar.
Kelebihan lain, inisiatif global ini diikuti mayoritas negara dunia.
Meski
akan terus disempurnakan dan akan mencakup informasi tentang dividen, bunga,
royalti, gaji, pensiun, perubahan kewarganegaraan, restitusi pajak, dan
lainnya, di tahap awal ini yang bisa dipertukarkan adalah data keuangan
berupa identitas nasabah, lembaga keuangan penyimpan dan nomor rekening,
serta informasi keuangan berupa nilai simpanan, bunga, dan pendapatan
lainnya.
Efektivitas
AEOI
Hubungan
antara program amnesti pajak dan AEOI amat erat. AEOI sering disebut sebagai
jembatan menuju reformasi perpajakan yang menyeluruh karena membuka kunci
kebuntuan akses data dan mandeknya proses politik selama ini. Hingga awal
Maret 2017 atau akhir periode III, sebanyak 695.857 wajib pajak
berpartisipasi. Jumlah yang masih jauh di bawah ideal bagi perluasan basis
pajak yang signifikan. Sedangkan Rp 4.434 triliun harta dideklarasikan dan
uang tebusan yang diraih Rp 105 triliun.
Pencapaian
deklarasi harta dan uang tebusan dinilai cukup berhasil dan termasuk yang
terbaik di dunia. Hanya saja, repatriasi yang menjadi tujuan utama program
ini justru seret. Baru sekitar Rp 143 triliun komitmen repatriasi, jauh di
bawah target Rp 1.000 triliun.
Rendahnya
pencapaian repatriasi berdampak pada kecilnya tambahan likuiditas baru meski
deklarasi harta yang cukup besar diharapkan mampu menjadi daya ungkit bagi
perekonomian. Komposisi harta yang dilaporkan juga perlu dicermati karena
didominasi harta yang sudah dipajaki, tetapi belum dilaporkan. Saat melirik
data amnesti, terbabar dua hal.
Pertama,
ini wajah lemahnya sistem administrasi perpajakan kita karena sangat besar
harta domestik yang selama ini tak dilaporkan dan tidak terjangkau.
Kedua,
problem ketimpangan juga terkonfirmasi karena 2,5 persen peserta amnesti
pajak mencerminkan 60 persen kepemilikan harta. Ini menjadi pekerjaan rumah
untuk mengoptimalkan fungsi pajak sebagai instrumen yang efektif dalam
meredistribusi kekayaan dan pendapatan. Keseluruhan fakta pencapaian amnesti
pajak ini menantang pemerintah untuk segera menyiapkan strategi jitu agar
penerimaan pajak pasca amnesti pajak naik secara signifikan.
Sungguh
tantangan yang dihadapi tidaklah mudah. Efektivitas AEOI sebagai senjata baru
akan diuji oleh beberapa tantangan. Mengingat sifatnya resiprokal, bahwa
Indonesia dapat memperoleh data hanya jika kita dapat memberikan data, maka
revisi Undang-Undang Perpajakan, Undang-Undang Perbankan, dan Undang-Undang
Pasar Modal niscaya harus dilakukan. Namun, mencermati agenda politik dan
prioritas DPR, kita ragu seluruh revisi UU dapat diselesaikan tepat waktu
dengan hasil yang baik.
Dalam
pacuan waktu, rencana pemerintah untuk menerbitkan peraturan pemerintah
pengganti undang-undang (perppu) layak diapresiasi dan didukung penuh. Perppu
yang secara efektif mengubah pasal-pasal yang menghambat implementasi AEOI,
sekaligus meletakkan dasar baru bagi pembangunan infrastruktur yang memadai.
Secara paralel, langkah ini harus disertai perbaikan infrastruktur lembaga
keuangan agar mendukung program pertukaran informasi, antara lain sistem
berbasis teknologi informasi yang terintegrasi dan implementasi single
identification number.
Tak
kalah penting, sisi lain dari tuntutan transparansi adalah akuntabilitas.
Harus ada jaminan bagi masyarakat bahwa privasinya dijamin, terlebih jika
mereka sudah taat pajak. Sistem akuntabilitas yang berintegritas tinggi harus
dibangun dan segala bentuk penyimpangan serta penyalahgunaan data harus
dihukum berat, demi merawat kepercayaan publik. Kekhawatiran ini tentu saja
beralasan dan dapat dimaklumi.
Di
tengah upaya mereformasi diri agar menjadi institusi yang kredibel,
Direktorat Jenderal Pajak masih digerogoti perilaku oknum pegawainya yang
menyalahgunakan kewenangan. Meski demikian, kita percaya bahwa sebagian besar
pegawai pajak adalah para reformis yang berintegritas dan berdedikasi tinggi.
Memasuki
era baru perpajakan, dibutuhkan perubahan paradigma seluruh elemen bangsa,
termasuk para pejabat negara, pegawai pajak, pegawai sektor keuangan, penegak
hukum, dan masyarakat wajib pajak. Sebagai inisiatif global, AEOI juga
menuntut perubahan corak keterbukaan domestik agar penggalian potensi pajak
lebih optimal dan perbankan dalam negeri tidak justru menjadi tempat
persembunyian baru bagi wajib pajak dalam negeri. Era keterbukaan ini adalah
cara efektif meningkatkan penerimaan pajak dengan menegakkan prinsip ability
to pay, yakni yang lebih mampu membayar lebih besar. Meminjam Thomas Piketty,
sistem perpajakan harus mampu mendeteksi siapa memiliki apa (who own what?)
sebagai basis pemajakan yang adil.
Kini,
tak ada lagi opsi untuk berkelana dan mencari suaka bagi penghindaran pajak.
Selagi masih ada waktu, mari bersiap dengan memanfaatkan amnesti pajak dan
berbenah seraya mengakrabi slogan ”jika jujur, jangan takut hancur; kalau
patuh, tak perlu rikuh”. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar