”Star
Wars” dan Masyarakat Ekonomi ASEAN
A Prasetyantoko ; Ekonom pada Universitas Katolik Indonesia
Atma Jaya, Jakarta
|
KOMPAS,
04 Januari 2016
Gegap gempita Star Wars episode 7 yang diputar
perdana di bioskop, Desember lalu, telah menutupi realitas kehadiran
Masyarakat Ekonomi ASEAN. Meski demikian, ada pelajaran menarik dari serial
film tersebut. Majalah The Economist edisi
Natal 2015 mengulas perekonomian dari perspektif Star Wars.
Mengutip studi Zachary
Feinstein, ahli rekayasa keuangan dari Universitas Washington di St Louis,
Amerika Serikat, perekonomian dan sektor keuangan bagaikan suasana galaksi di
film Star Wars yang terus berseteru
menemukan keseimbangan baru dalam alam semesta (force).
Merujuk pada tulisan
itu, Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) bisa juga dimaknai sebagai fenomena
membangun planet ekonomi sebuah galaksi. Sementara planet lain, khususnya
Eropa dan AS, tengah bergulat dengan krisis, zona ekonomi ASEAN mulai
berlaku. Inilah momentum penting dalam galaksi perekonomian global.
Kini MEA bukan lagi
sekadar jargon atau cita-cita, melainkan realitas. Sejak diberlakukan pada 31
Desember 2015, secara resmi kawasan ini bebas dalam lalu lintas barang, jasa,
modal, investasi, dan tenaga kerja. Pertanyaan tentang kesiapan, apalagi
ketidaksetujuan, tak lagi relevan. Sejarah telah bergulir dan tidak bisa
diputar kembali. Faktanya, Indonesia adalah pelopor ASEAN dan kemudian MEA.
Sebagai kawasan
ekonomi baru, kunci pokoknya adalah mengintegrasikan mata rantai pasokan dari
setiap negara guna mendorong kinerja kawasan. MEA akan menjadi kekuatan
penting dengan besaran ekonomi sekitar 2,5 triliun dollar AS dan volume
perdagangan intrakawasan sekitar 1 triliun dollar AS. Bank Pembangunan Asia
(ADB) meyakini, dengan penataan yang baik, relasi ekonomi antarnegara dalam
MEA akan merevitalisasi ekonomi dari gejala pelambatan global. Dengan kata
lain, MEA bisa menjadi counter-cycle
dari kelesuan global.
MEA akan meningkatkan
arus ekspor dan investasi langsung antarnegara sehingga kinerja perekonomian
di setiap negara akan meningkat, di samping sebagai kesatuan ekonomi.
Syaratnya, tiap negara harus mampu mendefinisikan keunikan posisi
masing-masing di setiap mata rantai nilai industri, baik dari sisi ekspor,
impor, maupun investasi.
Studi gabungan ADB dan
Organisasi Buruh Internasional (ILO) mengalkulasi tambahan lapangan kerja
baru akibat integrasi ekonomi pada 2025 mencapai 14 juta lapangan kerja,
sementara ekonomi kawasan akan tumbuh sekitar 7 persen. Dalam studi ini
disebutkan, Indonesia hanya akan menikmati tambahan 1,9 juta lapangan kerja
baru atau 13 persen dari total tambahan tenaga kerja akibat MEA. Salah satu
penyebabnya, sistem pendidikan di Indonesia tak mampu menghasilkan tenaga
terampil. Ada kesenjangan lulusan dengan kebutuhan di lapangan.
Kekuatan perekonomian
Indonesia sekaligus menjadi kelemahan. Kekuatan kita ada pada sumber daya
manusia sebagai negara terbesar dengan sekitar 240 juta penduduk atau lebih
dari sepertiga total penduduk ASEAN. Kita memiliki bonus demografi karena
sebagian besar penduduk berusia produktif dan siap menjadi penyedia tenaga
kerja dalam mata rantai regional. Namun, faktanya, tenaga kerja kita tidak
kompetitif dan tenaga kerja asing berpotensi masuk ke berbagai sektor
industri di Tanah Air.
Forum Ekonomi Dunia
setiap tahun melakukan survei tentang daya saing global. Dalam laporan The Global Competitiveness Report
2015-2016, kualitas pendidikan kita terbelakang dibandingkan dengan dua negara
sejajar di ASEAN, yaitu Malaysia dan Thailand. Dari 140 negara yang disurvei,
posisi Indonesia dalam hal pendidikan tinggi dan pelatihan tenaga kerja ada
di peringkat ke-65, sementara Thailand ke-56 dan Malaysia ke-36. Dalam
kualitas sistem pendidikan, Indonesia di posisi ke-41, sementara Malaysia
ke-4. Adapun dalam kualitas manajemen sekolah, kita berada di peringkat ke-49
dan Malaysia ke-6.
Harus diakui, sistem
pendidikan kita masih belum terintegrasi dengan sektor dunia usaha. Sistem
pendidikan formal dalam beberapa hal justru membuat lulusan semakin terasing
dari dunia kerja. Seseorang yang lulus dari perguruan tinggi berekspektasi
menduduki posisi manajemen di sebuah perusahaan. Padahal, kualifikasinya tak
mencukupi.
Akibatnya, di beberapa
sektor industri domestik, seperti perbankan dan teknologi informasi, terjadi
kelangkaan sumber daya. Perpindahan tenaga kerja dari satu perusahaan ke
perusahaan lain pun tak terelakkan. Dengan MEA, kedua sektor akan mendapatkan
pasokan tenaga kerja dari luar Indonesia. Apalagi, tingkat gaji kedua sektor
itu termasuk tertinggi di kawasan ASEAN. Konsekuensinya, di beberapa sektor
tertentu akan ada tenaga kerja asing yang masuk.
Sebenarnya tenaga
kerja asing yang masuk ke beberapa sektor akan membuat perkembangan sektor
ekonomi menjadi semakin tinggi sehingga masih tetap menguntungkan. Justru
itulah esensi dari integrasi ekonomi. Kita tidak mungkin menang di semua hal,
begitu juga tak mungkin kalah di semua lini. Sektor otomotif menjadi salah
satu andalan kita. Apalagi jika industri komponen juga ditumbuhkan dengan
baik, pasti MEA akan memberi efek pengganda positif yang luas.
Belajar dari serial Star Wars, tak ada pemenang tunggal
yang permanen. Konstelasi terus berubah secara dinamis. Untuk itu, kuncinya
adalah menyatukan kekuatan domestik. Jangan lagi sibuk dengan kontestasi
antarkita saja. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar